Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Sartono Kartodirjo Indonesia Historiography

Judul: Indonesia Historiography
Penulis: Sartono Kartodirjo
Penerbit: Kanisius, 2001
Buku bekas (cukup)
Stok Kosong
 

Dalam setiap peradaban yang mengenal budaya sejarah, melekat budaya penulisan sejarah, atau historiografi, yang memberikan identitas dan makna masyarakat pendukungnya. Masyarakat tradisional membangun identitasnya dalam bentuk mitologi, sedangkan masyarakat modern lewat pengertian bangsa, atau negara bangsa. Karena itu, setiap generasi menulis sejarah menurut zamannya.

Kelahiran bangsa dan negara bangsa Indonesia setelah Perang Dunia II menuntut identitas baru, dan karenanya menuntut penulisan sejarah baru, yaitu sejarah nasional. Demikian menurut sejarawan terkemuka negeri ini, Sartono Kartodirdjo, dalam karya terbarunya, Indonesian Historiography, yang diterbitkan dalam rangka ulang tahunnya yang ke-80 -15 Februari 2001.

Buku ini berisi kumpulan karangan Sartono, yang menjelaskan persoalan penulisan sejarah Indonesia dan sejarah nasional sebagai simbol identitas nasional bangsa Indonesia. Untuk memahami pentingnya sejarah nasional itu, Sartono mengajak pembaca mengidentifikasi tiga fase, atau tipologi, perkembangan historiografi Indonesia.

Ketiga fase -atau tipologi- itu adalah historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi Indonesia baru (modern). Setiap fase menggambarkan ciri, identitas, dan simbol masyarakat serta zamannya, sebagaimana tercermin dari pandangan dunia atau visi, perspektif, misi, dan tujuan sejarah yang termuat dalam karya- karya penulisan sejarahnya.

Jauh sebelum sejarah kolonial dan sejarah Indonesia modern dikenal, masyarakat di Kepulauan Nusantara telah mengenal karya-karya penulisan sejarah yang bersifat lokal, seperti yang termuat dalam jenis karya hikayat, silsilah, tambo, kronik, dan babad, serta yang sejenis. Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawi, Silsilah Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Kronik Kutai, dan Kronik Wajo, misalnya, merupakan beberapa dari karya tulis yang bercorak sejarah lokal di dunia Melayu, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, yang oleh Sartono Kartodirdjo dikategorikan sebagai karya historiografi tradisional (halaman 12).

Sesuai dengan zeilgeist (jiwa zaman) yang menguasai peradaban masyarakat tradisional, karya-karya ini antara lain memiliki ciri: (a) dikuasai oleh pandangan dunia kosmologis dan kosmogoni, serta pandangan sejarah siklis, sehingga unsur-unsur mitis, magis, legendaris, dan historis sering terpadu dalam penggambaran sejarahnya; dan (b) banyak dikuasai visi sejarah yang bersifat loko- sentris, etnisentris, dan raja-sentris atau istana-sentris, yang sekaligus menjadi kelemahan sejarah tradisional.

Berbeda dengan historiografi tradisional, historiografi kolonial muncul sebagai produk masa kolonial di Indonesia, yaitu pada masa daerah Indonesia menjadi wilayah pemerintahan kolonial Belanda, atau pada waktu Indonesia menjadi perpanjangan wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda di Eropa. Secara temporal, periode ini mencakup abad ke-18 dan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.

Ciri pokok historiografi kolonial yang terkemuka, antara lain, karya-karya sejarah itu pada hakikatnya lebih banyak dikuasai oleh pandangan dunia kolonialisme dan imperialisme Barat dan visi sejarah Eropasentrisme dan Nederlandosentrisme. Pandangan sejarah ini menganggap Eropa atau Nederland sebagai pusat dinamika sejarah dunia, sementara Indonesia hanyalah perpanjangan wilayah dan gerak kekuasaan bangsa Eropa (Belanda) di luar Benua Eropa.

Akibatnya, segala peristiwa sejarah yang terjadi di Indonesia ditempatkan pada wawasan kacamata Eropa atau Belanda, sehingga bangsa itu pulalah yang menjadi aktor utama proses sejarah di Indonesia. Sementara itu, masyarakat Indonesia dipandang sebagai pemain pembantu belaka. Melalui perspektif ini bisa dimengerti mengapa sejarawan kolonial Belanda, atau Barat, pada waktu itu banyak menyorot sejarah petualangan, pelancongan, dan pelayaran untuk menemukan dan mengeksploitasi Indonesia, serta bagaimana mereka menjadi pedagang yang kemudian berhasil mendirikan imperium beserta hegemoni ekonomi dan politiknya di tanah koloni mereka.

Sangat ironis bila buku sejarah yang berisi petualangan bangsa Belanda di Indonesia semacam itu disebut sebagai"sejarah Indonesia''. Semestinya buku-buku semacam itu lebih tepat disebut"sejarah orang Belanda di Timur'', atau"sejarah orang Belanda di tanah perantauan''. Sebagai contoh, sejarawan kolonial Belanda F.W. Stapel bersama temannya telah menulis buku sejarah yang monumental pada masa kolonial, berjudul Geschiedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda), yang dapat dipandang sebagai karya penulisan sejarah yang salah judulnya dan benar isinya.

Buku yang menjadi buku teks sejarah kolonial itu diterbitkan dalam lima jilid. Dan dari kelima jilid tersebut, jilid 2, 3, dan 4 lebih banyak berisi sejarah VOC di Indonesia -ketimbang sejarah masyarakat pribumi. Sedangkan orang pribumi dalam buku itu lebih banyak ditempatkan sebagai pelengkap, atau sebagai golongan yang mereaksi terhadap kekuasaan kolonial Belanda, yang dinyatakan dalam istilah"pemberontak'' atau"perusuh''.

Ungkapan bahwa setiap generasi bangsa menulis sejarahnya sendiri pada masa kemerdekaan benar-benar terjadi. Para intelektual Indonesia pascarevolusi juga merasa perlu menulis kembali sejarah yang sesuai dengan iklim Indonesia baru yang telah merdeka dan bebas dari ikatan kolonialisme dan imperialisme. Sebagai anak bangsa, para intelektual Indonesia pada waktu itu memandang historiografi kolonial warisan Belanda telah usang, sementara historiografi tradisional yang bersifat etnosentris dan lokosentris tidak cocok untuk dijadikan kerangka sejarah nasional (halaman 29). Karena itu, diperlukan dekonstruksi dan rekonstruksi sejarah Indonesia baru sebagai sejarah nasional.

Menurut penulis buku ini, yang juga mendapat julukan sebagai"empu'' sejarah Indonesia, sejarah nasional disusun atas landasan: (1) pandangan Indonesia-sentrisme, yang maksudnya didasarkan pada pandangan yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai pelaku utama dalam proses kehidupan sejarah di Indonesia; (2) cakupan substansi yang komprehensif, yang berarti meliputi segala dimensi kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun kebudayaan; (3) disajikan dalam bentuk yang lebih bersifat deskriptif-analitis daripada deskriptif-naratif; (4) cakupan temporal yang menyeluruh dari masa prasejarah hingga masa kini; (5) periodisasi yang disusun atas dasar paradigma proses integrasi bangsa Indonesia; dan (6) penulisan sejarah nasional harus bebas dari bias sejarah nasional yang berkobar-kobar (halaman 33-34).

Melalui beberapa fase penyelenggaraan seminar nasional tentang sejarah Indonesia pada 1957 dan 1970, cita-cita mewujudkan penulisan sejarah nasional Indonesia yang ditulis oleh sejarawan Indonesia dapat dicapai pada 1970-an. Sebuah tim penulisan sejarah yang dipimpin"sang empu sejarah'' sendiri pada sekitar tahun 1975/1976 berhasil menyusun buku yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia yang terbit dalam enam jilid. Ini dapat dipandang sebagai tonggak penting, sebab baru kali inilah sejarah nasional Indonesia disusun oleh sejarawan Indonesia melalui pendekatan sejarah modern.

Buku yang semula dipandang sebagai buku babon sejarah nasional Indonesia itu kemudian dijadikan acuan bagi penulisan buku teks untuk sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas, yang masing-masing diterbitkan dalam tiga jilid. Sekalipun demikian, hasil itu sesungguhnya belumlah final, melainkan hal yang harus secara berkelanjutan disempurnakan dan dikembangkan sesuai dengan kemajuan penelitian dan tuntutan perkembangan kajian.

Djoko Suryo
Guru besar sejarah Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta