Jual Buku Pergulatan Muslim Komunis
Judul: Pergulatan Muslim Komunis
Penulis: Hasan Raid
Tim editor: M.Imam Azis, dkk.
Penerbit: LKPSM-Syarikat, 2001
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosongPenulis: Hasan Raid
Tim editor: M.Imam Azis, dkk.
Penerbit: LKPSM-Syarikat, 2001
Kondisi: Stok lama (bagus)
Beberapa karya historis pergumulan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) -termasuk juga buku-buku tentang komunisme- makin menjamur di belantara penerbitan Indonesia belakangan ini. Bahkan, para tokoh salah satu partai politik pemenang Pemilihan Umum 1955 ini mulai menerbitkan karya-karyanya sendiri, yang pada masa rezim Orde Baru dilarang beredar.
Lihat, misalnya, karya Pramoedya Ananta Toer dan Tan Malaka. Karena itulah, terbitnya buku otobiografi Hasan Raid ini tidak terlalu aneh pada era pasca-Soeharto. Yang menarik dari buku ini adalah pemaparannya yang tegas mengenai dua hal utama: pasang surut kehidupan dan perjuangan politik Hasan; dan semangat revolusioner dari perjalanan agama dan politik di Indonesia -yang berimplikasi pada tragedi kemanusiaan 1965-1966.
Melalui buku ini, Hasan menjawab masalah-masalah yang tersembunyi selama 32 tahun. Mantan Sekretaris Comite Seksi (CS) PKI Tanah Abang ini, misalnya, menyebutkan bahwa Supersemar, yang seharusnya hanya sebagai surat pelimpahan tugas pengamanan, dimanipulasi Soeharto menjadi surat pelimpahan kekuasaan. Bahkan, ia berani menyingkap keterlibatan Soeharto dalam pembunuhan para perwira tinggi TNI Angkatan Darat pada 1965.
Itulah sebabnya, menurut Hasan, peristiwa itu disebut dengan G-30- S/Soeharto -versi Soekarno adalah Gestok (Gerakan 1 Oktober)- bukan G-30-S/PKI. Bagi Hasan, PKI tidak terlibat dalam pemberontakan G-30- S. Indikator-indikatornya, antara lain, PKI masih diberi jaminan hak hadir dalam pentas politik oleh Presiden Soekarno hingga peristiwa berdarah itu meletus.
Soekarno juga tetap berpegang teguh pada prinsip persatuan berbasiskan Nasakom. Hingga akhir hayatnya, Soekarno tidak pernah merasa diberontaki oleh PKI. Karena alasan inilah, ia tidak mau membubarkan PKI (halaman 524). Sayang, data-data yang digunakan Hasan berasal dari teks pidato pembelaan Kolonel Latief di depan Mahkamah Militer Tinggi II Jawa Bagian Barat, buku The Communist Collapse in Indonesia (1970) karya Arnol Brackman, dan majalah- majalah pada masa-masa peristiwa itu.
Itu pun, bahan-bahan tersebut dibacanya setelah ia bebas dari tahanan politik pada 1978. Hasan hanya menyimpulkan bacaan itu, dan tidak terlibat langsung dalam permainan politik kelas tinggi tersebut. Jadi, alasan-alasan yang dikemukakan Hasan tampak mengulang buku-buku sebelumnya. Bahkan, boleh dikata tidak ada informasi baru. Pun, data-data ini pernah dibantah rezim Soeharto.
Melalui buku ini pula, Hasan ingin membantah pendapat orang yang menyebutkan bahwa PKI tidak sejalan dengan agama (Islam). Justru karena berpijak pada Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad, ia menempuh jalur PKI. Bagi Hasan, Al-Quran (Al-An'am: 145) jelas melarang pengisapan darah yang mengalir dalam tubuh kaum yang lain -yang biasanya antardua kelas yang berbeda dalam masyarakat. Untuk membebaskan pengisapan darah itu, PKI menempuh perjuangan kelas - sebuah konsep yang pernah ditawarkan Karl Marx.
Oleh Hasan, perjuangan kelas diidentikkan dengan semangat ajaran Al- Quran surat Al-Ra'du ayat 11. Dengan cara ini, "umat yang satu" - masyarakat tanpa kelas (masyarakat tauhidi)- akan terwujud (halaman 81). Interpretasi Hasan terhadap ajaran Islam ini sebenarnya pernah dilakukan pemikir liberal-muslim, semisal Asghar Ali Engineer dalam Islam State dan Islam and Liberation Theology, serta Ziaul Haque dalam Revelation & Revolution in Islam.
Buku yang terdiri dari tiga bab ini memang tidak terlalu panjang menjelaskan seluk-beluk peran elite dan pucuk pimpinan PKI di pentas politik Indonesia. Hasan juga "menyimpang" dari pakem penulisan sebuah buku otobiografi, dengan tidak menyertakan foto aktivitasnya dalam politik, yang justru "mendangkalkan" data-data yang dikemukakannya. Ia lebih banyak memaparkan sepak terjang kehidupannya dalam sel penjara -khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Sehingga, membaca buku ini bisa mengasyikkan karena terbuai oleh kisah-kisah masa lalu, tapi ya sebatas itu.
Idris Thaha
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia