Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku NU "Liberal": Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam

Judul: NU "Liberal": Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam
Penulis: Mujamil Qomar
Pengantar: Azyumardi Azra
Penerbit: Mizan, 2002
Tebal: 367 halaman
Sudah Terjual


Mitsuo Nakamura sempat terkecoh memahami Nahdlatul Ulama (NU). Ketika meneliti gerakan Muhammadiyah di Kota Gede, Yogyakarta, pada awal 1970-an, antropolog Jepang itu tak melihat NU sebagai subjek studi yang menawan. Laiknya persepsi umum pengamat Barat waktu itu, seperti Harry J. Benda dan Clifford Geertz, Nakamura memahami NU sebagai organisasi ulama kuno pedesaan yang cara beragamanya tradisional, intelektualitasnya sederhana, politiknya oportunistis, dan kulturnya sinkretis.

Begitu pula persepsi yang dikembangkan sarjana Indonesia periode itu. Adalah Deliar Noer yang disebut-sebut paling bertanggung jawab mematok dikotomi modernis-tradisionalis untuk memotret wajah Islam Indonesia. Dalam disertasinya (1963), Deliar memasukkan NU pada kotak "Islam tradisional" dengan berbagai karakter jumudnya, sedangkan pos "Islam modernis" sebagai ikon kemajuan ditempati Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Keterikatan pada tradisi dipahami sebagai jerat bagi kemajuan.

Pemahaman Nakamura berubah ketika menghadiri Muktamar NU di Semarang, 1979. Menjelang dasawarsa 1980 itu, ia menangkap geliat intelektualisme baru di kalangan muda NU, yang dimotori Abdurrahman Wahid dan Mahbub Djunaidi. Ekspresi politik NU tidak lagi oportunistis, tapi makin radikal: kritis pada status quo. Tradisionalisme NU justru menjadi media transmisi semangat radikal itu, karena makna generik tradisional adalah "kinerja transmisi antargenerasi". Maka Nakamura menyebut NU sebagai gerakan "tradisionalisme radikal".

Gerak intelektualisme NU yang makin liberal dan menjauh dari orbit tradisionalnya juga ditilik para sarjana selain Nakamura. Martin van Bruinessen (Belanda), Greg Barton (Australia), Andree Feillard (Prancis), Nurcholish Madjid, dan Azyumardi Azra juga mensinyalir gejala liberalisme itu yang bergulir hingga kini. Buku karya Mujamil Qomar ini menelusuri dinamika dan tipologi pemikiran liberal NU yang diperbincangkan para pengamat itu, pada kurun 1985-1999.

Kebanyakan studi tentang NU terkonsentrasi pada aspek politik dan sejarah. Buku yang berasal dari disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini lebih mendalami dimensi sosial keagamaan. Mujamil mengawali tulisannya dengan memaparkan tradisi awal pemikiran NU, yang merupakan kombinasi warisan pemikiran para pendiri utama: KH Hasyim Asy'ari (ahli hadis, kritis pada tarekat dan wali); KH Khalil Bangkalan (pendukung tarekat dan pelestari tradisi Wali Songo); KH Wahab Hasbullah (inisiator organisasi); dan KH Bisri Syansuri (kukuh berorientasi fikih).

Yang khas dalam cara berpikir NU adalah tradisi bermazhab. Ketika memecahkan problem sosial keagamaan, NU lebih dulu merujuk pada metode dan pendapat para imam mazhab, baru kemudian mencocokkan dengan Al-Quran. Di bidang fikih, NU merujuk pada mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal. Bidang tasawuf merujuk pada mazhab Al-Junaid dan Al-Ghazali. Bidang teologi mengacu pada mazhab ahlussunnah wal jamaah model Al-Asy'ari dan Al-Maturidi.

Mujamil menjadikan tradisi pemikiran NU awal itu sebagai pembanding untuk menelaah trend baru pemikiran NU. Sejak melakukan depolitisasi dengan cara keluar dari PPP dan kembali ke khitah 1926, pada 1984, energi NU lebih terkonsentrasi bagi pengembangan pendidikan dan sumber daya manusia. Suasana ini memberi ruang nyaman bagi pertumbuhan pemikiran liberal di NU. Pada bagian II buku ini, Mujamil menunjukkan maraknya halaqah, mudzkarah, atau forum bahsul masail NU yang melahirkan ide-ide progresif.

Konsep talfiq (bermazhab secara eklektik), yang sebelumnya dilarang, belakangan dibolehkan. Teologi ahlussunnah dikaji ulang. Logika kitab kuning --yang menghargai keragaman opini-- justru dipakai pijakan untuk studi kritis atas sejumlah kitab yang selama ini dikeramatkan. Ide pribumisasi Islam, toleransi antaragama, multikulturalisme, keadilan gender, posisi agama dalam negara bangsa, serta civil society meramaikan percaturan pemikiran NU kontemporer yang membuatnya tanggap --bukan gagap-- pada perubahan.

Pada bagian akhir, Mujamil menampilkan biografi intelektual sembilan cendekiawan NU yang dinilai mengusung ide-ide liberal: Achmad Siddiq, Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Said Agiel Siradj, Masdar F. Mas'udi, Sahal Mahfud, Muchit Muzadi, Tholchah Hasan, dan Sjehul Hadi Permono. Nama-nama tersebut menempati pos-pos strategis dalam kepengurusan PBNU dua dekade terakhir.

Asrori S. Karni