Jual Buku Muslim Tanpa Masjid Kuntowijoyo
Judul: Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental
Penulis: Kuntowijoyo
Penerbit: Mizan, 2001
Tebal: 404 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosongPenulis: Kuntowijoyo
Penerbit: Mizan, 2001
Tebal: 404 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Sedikitnya dua ratus orang memadati Auditorium Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis siang pekan lalu. Dalam suasana tenang, Dr. Kuntowijoyo, 58 tahun, dengan tertatih- tatih berjalan ke depan. Dosen Fakultas Sastra UGM itu secara simbolis menerima karya terbarunya, Muslim Tanpa Masjid, dari Putut Widjanarko, Direktur Pelaksana Penerbit Mizan, Bandung.
Acara kemudian dilanjutkan dengan bedah buku. Dr. Damardjati Supadjar (dosen Filsafat UGM), Dr. Abdul Munir Mulkhan (dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogya), dan Bahtiar Effendi (dosen Program Pascasarjana, Universitas Indonesia), tampil sebagai pembicara. Ternyata, bukan hanya Yogya yang punya hajatan. Dua hari sebelumnya, Muslim Tanpa Masjid juga diluncurkan di Toko Buku Islam Insan, Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan.
Dalam acara tersebut, cendekiawan Nurcholish Madjid menyampaikan orasi tentang "Sejarah Bangsa Indonesia". Sebagai penulis, Kuntowijoyo punya kepentingan menjelaskan pendekatan yang dipakainya dalam membingkai esai-esai yang terhimpun dalam Muslim Tanpa Masjid tersebut. Dalam sambutan yang dibacakan istrinya, Susilaningsih, Kunto menilai bahwa selama ini masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran sejarah yang benar.
Kesadaran yang benar itu, dalam sambutan Kunto, adalah, "Dalam arti sejarah sebagai sebuah proses yang maju, bukan sejarah sebagai ceritera masa lalu." Apresiasi sejarah umat Islam, menurut Kunto, hanya berupa potret-potret. "Sejarah Nabi hanya dipahami sebagai sebuah kisah sukses pada waktu itu," tuturnya.
Hal serupa juga terjadi ketika melihat sejarah para wali, yang hanya dianggap sebagai kisah kekeramatan. Bagi Kunto, yang terpenting adalah bagaimana kita tetap menjadikan Nabi sebagai teladan utama, dan pada waktu yang sama tidak menolak ide kemajuan. "Umat Islam itu adalah makhluk yang berjalan dengan mata hati menghadap ke belakang, tetapi dengan mata fisik menghadap ke depan," katanya.
Dari cara penyikapan inilah Kunto menawarkan pendekatan strukturalisme transendental dalam membingkai esai-esai agama, budaya, dan politik dalam buku Muslim Tanpa Masjid yang tebalnya 404 halaman itu. Buku ini adalah kumpulan artikel yang pernah dimuat di media massa dan makalah-makalah penulis, dari 1994 sampai 2000.
Pendekatan strukturalisme transendental digunakan untuk memberi pemahaman kepada mereka yang berpikiran bahwa sejarah berjalan mundur. "Caranya adalah dengan memahami Islam zaman Nabi sebagai sebuah struktur yang sempurna, yang melampaui zamannya, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa depan," katanya.
Muslim Tanpa Masjid adalah karya keempat Kunto setelah ia terkena penyakit meningo enchepalitis (radang selaput otak kecil), 7 Januari 1992. Penyakit ini sempat mengantarkan Kunto menghuni Ruang Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogya, selama 35 hari, yang dilanjutkan menjalani rawat inap selama tiga bulan.
Penyakit ini kemudian mengakibatkan Kunto jadi "lamban", baik dalam gerakan fisik maupun berbicara. Syukurlah, kecermelangan otaknya - sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya- tetap terpelihara. Baru pada awal 1994 Kunto berkreasi kembali, menuangkan ide-idenya - baik puisi, cerpen, maupun esai- di atas bilah-bilah komputer, meski dengan dua jari.
Lahirlah kemudian kumpulan puisi Daun Makrifat Makrifat Daun, yang diterbitkan oleh Gema Insani Press pada 1995. Kumpulan tulisannya pasca- sakit adalah Identitas Politik umat Islam, yang diterbitkan Mizan pada 1997, dan Mengusir Matahari; fabel-fabel politik, yang diterbitkan Pustaka Hidayah pada 1999. Banyak orang merasa "iri" pada ide-ide yang dilontarkan Kunto. Kepada Gatra, Putut Widjanarko bahkan merasa "malu" pada apa yang telah diperbuat Kunto.
"Fisiknya belum pulih benar, mengetik dengan dua jari, tapi mampu menghasilkan karya-karya monumental," tutur Putut. Sayangnya, dalam acara bedah buku di UGM itu, para pembicara tak menyentuh strukturalisme transendental tadi. Ketiga pembicara "hanya" sebatas kagum pada ide-ide Kunto. Padahal, strukturalisme transendental tak berhenti pada teori, melainkan juga merupakan "perangkat" untuk mengkaji ulang sejarah umat Islam.
Herry Mohammad, dan Sawariyanto