Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Membebaskan yang Tertindas

Judul: Membebaskan yang Tertindas
Penulis: Farid Esack
Penerbit: Mizan, 2000
Tebal: 358 halaman
Kondisi: Bagus (buku bekas)
Terjual Jakarta


Afrika Selatan adalah salah satu negara yang dihuni oleh masyarakat multiagama. Ada Kristen, Islam, Hindu, Yahudi, dan agama-agama tradisional Afrika. Bagi warga Afrika Selatan, agama memainkan peran utama dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai unsur penting, tak mengherankan bila banyak orang mengaitkan agama dengan kebebasan.

Studi yang dilakukan Farid Esack pada 1997, dengan judul Qur'an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, ini membahas pengalaman umat Islam Afrika Selatan memperjuangkan penegakan kebenaran dan keadilan. Khususnya pada masa rezim apartheid.

Karya Esack ini mendobrak klaim kebenaran eksklusif satu agama dan menggunakan kunci-kunci hermeneutika -yang juga pernah ditawarkan Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun sebagai perangkat pembebasan dan cara memahami Al-Quran bagi umat Islam. Esack mencatat bahwa pada 1980, masyarakat agama di Afrika Selatan terpecah menjadi dua kelompok dalam mengekspresikan praktek keagamaannya: akomodasionis dan liberasionis.

Kelompok teologi akomodasi berusaha membuka jalan dan mengesahkan status quo, serta mendukung penguasa dan memberkahi ketidakadilan. Adapun kelompok teologi liberal berupaya mewujudkan keadilan, membebaskan penindasan, dan menghendaki kemerdekaan bagi semua orang. Dan tampaknya, Esack masuk kelompok liberasionis.

Ini bisa dilihat dari pemikiran-pemikiran yang ditawarkannya, yang dirujukkan pada gagasan para pemikir Islam radikal dan liberal, seperti Asghar Ali Engineer, Amina Wadud-Muhsin, Hassan Hanafi, Abdullahi Al-Na'im, dan Fatima Mernissi. Karena itu, wajar bila dalam beberapa babnya -dari tujuh bab buku- Esack mengangkat tema teologi pluralisme keagamaan dan pembebasan dalam kerangka praktis liberatif.

Di kalangan muslim Afrika Selatan, wacana pluralisme agama berlangsung dalam perjuangan pembebasan yang kongkret. Bagi Esack, pembicaraan soal pembebasan pada masa-masa apartheid di Afrika Selatan membuat makna pembebasan menjadi sangat transparan dan jelas: bebas dari segala bentuk rasisme dan eksploitasi ekonomi.

Teologi pembebasan, menurut Esack, adalah sesuatu yang bekerja ke arah pembebasan agama dari struktur serta ide politik, sosial, dan religius yang tunduk dan patuh tanpa sikap kritis dan pembebasan masyarakat dari ketidakadilan dan eksploitasi ras, gender, kelas, dan agama. Teologi pembebasan berupaya mencapai tujuannya melalui suatu proses yang bebas dan partisipatif.

Menurut doktor bidang tafsir Al-Quran ini, teologi pembebasan Islam diilhami oleh Al-Quran dan uswah hasanah perjuangan para nabi (halaman 120). Melalui karyanya ini, Esack sebenarnya ingin mencapai empat tujuan penting. Pertama, ia ingin memperlihatkan kemungkinan bahwa orang-orang yang beriman kepada Al-Quran bisa hidup bersama orang-orang lain agama dalam konteks kekinian, dan bekerja sama dengan mereka untuk membangun masyarakat yang lebih humanis.

Kedua, ia mau mengedepankan gagasan hermeneutika Al-Quran sebagai masukan untuk mengembangkan pluralisme teologi dalam Islam. Ketiga, ia ingin mengkaji ulang bagaimana Al-Quran mendefinisikan golongan yang satu dan golongan lain, atau yang beriman dan tidak beriman, Islam dan non-Islam, untuk dapat membuka jalan bagi kebenaran dan keadilan orang lain dalam teologi pluralisme demi pembebasan.

Dan keempat, Esack berusaha menggali hubungan antara eksklusivisme keagamaan dan sebentuk konservatisme politik yang mendukung apartheid di satu pihak, dan inklusivisme keagamaan dan sebentuk politik progresif -yang mendukung pembebasan- di pihak lain (halaman 38). Pengalaman penting dalam studi masyarakat multiagama yang ditulis dan dibagi-bagikan tokoh senior World Conference on Religion and Peace ini bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat dunia. Masyarakat Indonesia pun, agaknya, bisa bercermin pada kasus pembebasan di Afrika Selatan ini.

Oleh: Idris Thaha