Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Mangan Ora Mangan Kumpul dan Sugih Tanpa Banda Umar Kayam

Judul: Mangan Ora Mangan Kumpul
Penulis: Umar Kayam
Penerbit: Grafiti
Tebal: 458 Halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 100.000 (belum ongkir)
SMS/WA: 085225918312


Judul: Sugih Tanpa Banda
Penulis: Umar Kayam
Penerbit: Grafiti
Tebal: 428 Halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 80.000 (belum ongkir)
SMS/WA: 085225918312

Sugih Tanpa Banda, Mangan Ora Mangan Kumpul 2 adalah kumpulan sketsa 116 judul, masing-masing tak lebih dari tiga atau empat halaman. Pada mulanya, sketsa-sketsa itu merupakan kolom tetap yang muncul hari Selasa di harian Kedaulatan Rakyat. Muncul pertama kali pada hari Selasa, 12 Mei 1987, kolom Pak Kayam hingga saat ini sudah berusia tujuh tahun. Kolom yang muncul pertama hingga 30 Januari 1990 sudah dibukukan dengan judul Mangan Orang Mangan Kumpul, terbit 1990. Karena itu, buku ini merupakan kumpulan lanjutannya, yakni kolom yang muncul awal 1991 hingga awal 1994.

Sugih Tanpa Banda pada dasarnya juga potret keluarga Jawa. Di sana ada tokoh utama, yakni Pak Ageng, yang didudukkan sebagai the patriach, sang kepala suku. Ia seorang priayi. Pak Ageng itulah yang berkisah tentang keluarganya yang tak terus-menerus tinggal bersamanya, karena domisili mereka di Jakarta. Pak Ageng sendiri tinggal di Yogyakarta. Ia pergi dan pulang Jakarta-Yogya. Karenanya, sketsa-sketsa itu disajikan dengan sudut pandang priayi yang masih aktif bekerja, kenalannya sangat luas, pengetahuannya luas, bacaannya luas, pengamatannya tajam, dan cita rasanya terhadap kesenian serta berbagai jenis makanan sangat tinggi. Ia seorang pemikir bebas.

Pembantu rumah tangganya bernama Rigen, yang mengingatkan orang akan bekas Presiden Amerika Reagan; istrinya, Nansiyem, mengingatkan kepada bekas ibu negara Amerika, Nancy, yang sering menjadi bulan-bulanan Pelawak Johny Carson pada acara talk show di televisi Amerika. Ada tokoh lain, Beni Prakosa dan Tolo-tolo, anak-anak Rigen. Empat tokoh ini yang mengelilingi Pak Ageng setiap hari jika di Yogya. Tokoh lain yang banyak muncul juga yakni Joyoboyo. Ia seorang penjual ayam panggang dari Klaten. Kemudian, sesekali muncul tokoh Bu Ageng dan Gendut, yakni istri Pak Ageng dan putrinya. Sesudah itu, ada tokoh-tokoh lain, misalnya Profesor Lemahamba, Pak Prasojo, dan masih banyak lagi, yang muncul pada saat-saat tertentu.

Sketsa-sketsa dalam kumpulan itu memberikan kesan penuh canda dan meledek. Karenanya, Sapardi Djoko Damono, penyair "Mata Pisau", dalam pengantarnya menyebutnya glenyengan. Dan, memang seharusnyalah kita memahami kumpulan ini demikian.

Kalau orang menikmati glenyengan Pak Kayam, suasana serius pun lenyap. Salah satu contohnya begini: Pulang dari Jakarta, staf direktorat jenderal kementerian Ageng pada pacak baris di teras kelihatan pada sumringah wajah. Begitu saya turun dari jip Garuda Yaksa yang legendaris itu, saya dengar kor serempak, bagaikan kor gereja di Wina. ''Selamat Ageng'' (halaman 186). Yang dimaksudkan dengan "staf direktorat jenderal kementerian Ageng" adalah Mister Rigen, Nansiyem, Beni Prakosa, dan Tolo- tolo. Mereka, para pembantu rumah tangga itu, tampak bagaikan "staf direktorat jenderal" karena dilihat oleh Pak Ageng yang mendudukkan diri sebagai dirjen, yang sebenarnya bukan. Jip Garuda Yaksa adalah jip butut tahun 1972, dengan atap dari kanvas yang sudah sobek di sana-sini, dan memerlukan banyak bensin untuk menggerakkannya..

Tapi, oleh Pak Ageng toh disebut Garuda Yaksa, nama kereta kencana yang sering dinaiki raja di Surakarta. Dengan demikian, Pak Ageng telah mempermainkan dirinya sendiri sedemikian rupa, yang merangsang pembacanya untuk merefleksikan diri. Walaupun lelucon itu bernuansakan getir dan bahkan pahit, tetapi figur Pak Ageng malah tampak gagah. Ini anehnya. Yang lebih menarik lagi ini: Hati saya kok mak dheg melihat pemandangan begitu. Mungkin itu naluri pemegang kekuasaan (besar-kecil) di mana- mana setiap kali melihat rakyat bergerombol lebih dari dua orang. Curiga, jangan-jangan mereka mau menggoncang harmoninya jagat, yaitu sang pemegang kekuasaan sendiri (halaman 186).

Sangat terasa, kata-kata Pak Ageng yang ditujukan kepada dirinya sendiri, sebenarnya sebuah sindiran kepada situasi kita. Karena itu, glenyengan Pak Kayam memiliki gaung yang luas dan jauh, tanpa dikemukakan dengan ngotot atau ngoyo. Sentuhan itu bagaikan terjadi dengan sendirinya. Adapun sebabnya, karena glenyenyan itu ditulis tidak dengan tehnik mencari efek, melainkan menyentuhnya dari dalam, setelah Pak Kayam, sebelum berakting sebagai Pak Ageng, lebih dulu mengolah kesadarannya, mungkin bahkan dengan berlapis-lapis pertimbangan.

Itulah sebabnya, walaupun glenyengan ini ditulis dengan in- stan, langsung _ bahkan kadang-kadang saya melihat petugas dari Kedaulatan Rakyat menantikannya di luar sementara Pak Kayam menyelesaikan kolomnya _ bukan sekadar mengalir begitu saja. Pada saat persiapan menulis, dalam kediamannya, di benak dan dada Pak Kayam, seandainya saya punya stetoskop, akan terdengar suara perdebatan seru, bahkan gemuruh. Pak Kayam, yang berakt- ing sebagai Pak Ageng, berdialog dengan diri sendiri. Bukankah ini salah satu ciri terpenting kegiatan kecendekiaan?

Pak Ageng dan keluarganya, saya kira, bisa kita pandang sebagai model priayi masa kini. Seorang priayi seperti Pak Ageng dan keluarga priayi lainnya, tampaknya, sulit hidup tanpa pembantu rumah tangga. Tetapi, Rigen, Nansiyem, Beni Prakosa, dan Tolo-tolo, tidak dipandang sebagai subordinate atau bawahan; mereka itu didudukkan pertama-tama sebagai manusia yang memiliki aspirasi mereka sendiri. Dan aspirasi mereka diberikan tempat, sehingga mereka menjadi diri mereka sendiri.

Pak Ageng mencoba menciptakan suasana demokratis dalam kedudukannya sebagai priayi, yang mengayomi rakyatnya, bukan dalam arti memberinya pekerjaan dan makan saja, melainkan melindungi greget mereka dalam berproses menjadi manusia yang berwatak. Sungguh, di balik glenyengan itu, buku ini mem- berikan pupuk bagi kehidupan kita.

Bakti Soemanto
Dosen Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta