Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Bertumbuh Melawan Arus

Menyelusuri perjalanan hidup Soedarpo Sastrosatomo dalam buku ini, seperti dikatakan Dr. Taufik Abdullah, "Terasa sekali denyut napas sejarah kontemporer Indonesia." Sejak zaman penjajahan Belanda, hingga meletusnya revolusi nasional, Soedarpo seperti "terdorong" untuk selalu "berkayuh" di arus gelombang sejarah itu; baik sebagai saksi maupun pelaku.

Putra Mas Sadeli Sastrosatomo, pria asal Klaten, Jawa Tengah, ini lahir di Pangkalansusu, Sumatera Utara, pada 30 Juni, 81 tahun lalu. Di sanalah, ketika itu, sang ayah bekerja sebagai mantri candu - pegawai negeri yang ditugasi mengawasi peredaran dan penjualan opium. Ketika sang ayah meninggal, Soedarpo baru berusia sembilan tahun.

Ibundanya, Rd. Ngt. Sarminah, kemudian memboyong Soedarpo dan kedelapan anaknya yang lain pulang ke kampung halaman mereka, Ngupit, desa dengan perkebunan tembakau di dekat Klaten. Sarminah berusaha membesarkan anak-anak itu dengan membuka warung. Hasilnya: kesembilan anak itu berhasil mengenyam pendidikan yang cukup.

Buku ini dimulai dari masa kecil Soedarpo di Sumatera Utara, tentang kuli dan candu, "menjadi Jawa" di Klaten, jadi kurir politik di zaman revolusi kemerdekaan -dan kemudian menjadi pengikut setia Sutan Sjahrir. Tapi, pada akhirnya, Soedarpo "berlabuh" sebagai orang partikelir, pengusaha yang memiliki armada niaga, sehingga dia dijuluki "Raja Kapal dari Indonesia".

Rintisan kariernya dimulai dari tingkat keagenan kapal, sampai kemudian berhasil memiliki saham International Shipping and Transport Agencies (ISTA) dari Amerika Serikat, pada 1953. Dari bisnis pelayaran, Soedarpo kemudian melebarkan sayapnya ke keagenan berbagai keperluan perkantoran, dari kertas sampai mesin ketik dan komputer.

Pada 1964, ia mendirikan Samudera Indonesia, yang kemudian disusul Soedarpo Corporation. Lalu zaman pun berubah, dari era Soekarno ke Soeharto. Perubahan ini, ternyata, berpengaruh pada pemekaran Samudera Indonesia dan Soedarpo Corporation. Munculnya pelaku bisnis baru, yang melekat pada kekuasaan dan fenomena monopoli, membuat kedua perusahaan itu nyaris terjegal.

Tapi, Soedarpo tanggap mengantisipasi perubahan. Ia melihat, pelayaran angkutan konvensional tersisih oleh munculnya sistem peti kemas. Struktur Samudera Indonesia pun diubah, dengan mengadopsi "kontainerisasi" dan komputerisasi. Terjadi semacam peremajaan. Memasuki abad ke-21, Samudera Indonesia dan Soedarpo Corporation sudah siap memasuki era globalisasi.

Soedarpo menempatkan pusat usahanya yang pertama di Singapura, negara yang mempunyai peraturan sangat efektif untuk berbisnis. Dari sana ia melebarkan sayap ke negara Asia lainnya, seperti Jepang dan India. Tapi, menyimak sukses Soedarpo tak akan lengkap tanpa menyebut nama Minarsih, putri RAA Muharram Wiranatakoesoema, Bupati Bandung yang beristrikan perempuan Minang.

Minarsih -biasa dipanggil Mien Soedarpo- bukan saja hadir sebagai istri dalam kehidupan Soedarpo, melainkan juga teman berbagi pendapat dan pendorong yang tegar bagi semangat bisnisnya. Kini, putri sulung mereka, Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto, memegang tongkat estafet mengendalikan bisnis Samudera Indonesia Group. Dua putri Soedarpo yang lain, dr. Ratna Djuwita dan Chandraleika, memilih jalan kariernya sendiri.

Buku ini ditulis wartawan senior, H.Rosihan Anwar, dengan gaya bahasa yang hidup dan ritme "staccato" -tangkas dan ringkas. Sayang, masih terdapat banyak kesalahan cetak yang, rupanya, tak sempat masuk lampiran ralat. Rosihan tak hanya menulis, melainkan juga melakukan riset sendiri. Kemudian barulah ia mengetik dengan... mesin tulis -bukan komputer.

Bagi generasi mendatang, kisah hidup kakek enam cucu yang pada 1999 terpilih sebagai tokoh dalam "Maritime Asia Hall of Fame" di Singapura ini sangat berharga untuk disimak. Tentang bagaimana seorang pengusaha Indonesia tumbuh dan bangkit tanpa melekatkan diri pada kekuasaan, walaupun hal itu bisa sangat mudah dilakukan seorang Soedarpo.

Toeti Kakiailatu