Negeri Mafia Republik Koruptor: Menggugat DPR Reformasi
Judul: Negeri Mafia Republik Koruptor: Menggugat DPR Reformasi
Penulis : Benny K. Harman
Penerbit : Lamalera, Yogyakarta, Mei 2012, xviii + 535 halaman
Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu setuju.” Potongan lirik lagu Iwan Fals ini memang pas sekali menggambarkan citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) era sebelum reformasi. Bahkan lembaga itu sempat mendapat julukan 3D, kependekan dari duduk, diam, dan duit. DPR hanya menjadi institusi “penstempel” keinginan pemerintah yang menguasai “gurita” birokrasi.
Tampaknya lagu tersebut kini sudah usang. Setelah keruntuhan pemerintahan Soeharto, peran DPR menguat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Yang awalnya seolah berada di bawah pemerintah pusat, DPR pun disejajarkan dengan lembaga tinggi negara lainnya. Trias politica yang menyejajarkan posisi eksekutif, yudikatif, dan legislatif pun terwujud.
Menguatnya posisi DPR membawa implikasi politik, termasuk implikasi dalam hal pemberantasan korupsi. Berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen, DPR begitu powerful. Kewenangan yang dimiliki DPR bisa memperkuat atau memperlemah sebuah lembaga. Inilah yang dijadikan dasar oleh DPR dalam membuat produk-produk legislasi untuk sistem pemberantasan korupsi.
Dalam buku ini, Benny K. Harman menjelaskan pandangan DPR terhadap korupsi. Ada pergeseran pandangan terhadap korupsi. Pertama, korupsi tidak hanya dipandang telah merugikan negara, melainkan juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. Pandangan ini menggabungkan antara tindak pidana dan pelanggaran hak-hak sosial ekonomi.
Kedua, pandangan itu berdampak pada kategorisasi khusus tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Sebab korupsi begitu meluas dan bisa merusak sistem kenegaraan. Asumsi ini menjadi dasar bagi DPR untuk mengambil langkah-langkah dalam memberantas praktek dan tindak pidana korupsi.
Ironisnya, pandangan terhadap korupsi itu --yang juga dituangkan dalam undang-undang-- tidak menjadikan DPR bebas dari korupsi. KPK, yang merupakan produk legislasi DPR, memiliki catatan berdasarkan pelaku perkara yang ditangani dalam kurun waktu 2004-2010. Hasilnya sungguh mengejutkan. Anggota DPR adalah pelaku terbanyak kedua (43 perkara atau 18%) setelah pejabat eselon I, II, dan III (84 perkara atau 34%). Di balik penguatan kekuasaan DPR, ternyata ada penyimpangan kekuasaan (abuse of power).
Benny sebagai anggota DPR yang masih aktif melihat sistem politik multipartai dan kepentingan fraksi membatasi political will dalam memberantas korupsi. Koalisi yang tidak solid dianggap tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Saling sandera antarpartai berkasus pun kerap menghasilkan politik transaksional.
Di bagian tengah buku ini, Benny menjabarkan beberapa kasus yang menimpa anggota DPR, selain kasus-kasus yang menimpa pejabat negara non-DPR. Walau demikian, penjabaran itu tampaknya “hanya” menjadi semacam penghias atas penjelasannya tentang peran DPR dalam memberantas korupsi. Uraiannya tanpa menyajikan solusi reflektif bagi korupsi DPR itu sendiri.
Benny pun hanya berpesan normatif. Pertama, DPR sebagai lembaga negara harus mengacu pada posisi konstitusional dengan mengarahkan geraknya bagi tujuan-tujuan negara. Kedua, posisi sebagai wakil rakyat yang dicerminkan dengan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan kelompok.
Pesan normatif itu seolah-olah mengesampingkan fakta bahwa korupsi disebabkan oleh penyimpangan kekuasaan. Salah satunya adalah kekuasaan yang semakin menguat, seperti yang terjadi pada lembaga tempat ia bernaung: DPR.
Penulis : Benny K. Harman
Penerbit : Lamalera, Yogyakarta, Mei 2012, xviii + 535 halaman
Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu setuju.” Potongan lirik lagu Iwan Fals ini memang pas sekali menggambarkan citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) era sebelum reformasi. Bahkan lembaga itu sempat mendapat julukan 3D, kependekan dari duduk, diam, dan duit. DPR hanya menjadi institusi “penstempel” keinginan pemerintah yang menguasai “gurita” birokrasi.
Tampaknya lagu tersebut kini sudah usang. Setelah keruntuhan pemerintahan Soeharto, peran DPR menguat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Yang awalnya seolah berada di bawah pemerintah pusat, DPR pun disejajarkan dengan lembaga tinggi negara lainnya. Trias politica yang menyejajarkan posisi eksekutif, yudikatif, dan legislatif pun terwujud.
Menguatnya posisi DPR membawa implikasi politik, termasuk implikasi dalam hal pemberantasan korupsi. Berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen, DPR begitu powerful. Kewenangan yang dimiliki DPR bisa memperkuat atau memperlemah sebuah lembaga. Inilah yang dijadikan dasar oleh DPR dalam membuat produk-produk legislasi untuk sistem pemberantasan korupsi.
Dalam buku ini, Benny K. Harman menjelaskan pandangan DPR terhadap korupsi. Ada pergeseran pandangan terhadap korupsi. Pertama, korupsi tidak hanya dipandang telah merugikan negara, melainkan juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. Pandangan ini menggabungkan antara tindak pidana dan pelanggaran hak-hak sosial ekonomi.
Kedua, pandangan itu berdampak pada kategorisasi khusus tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Sebab korupsi begitu meluas dan bisa merusak sistem kenegaraan. Asumsi ini menjadi dasar bagi DPR untuk mengambil langkah-langkah dalam memberantas praktek dan tindak pidana korupsi.
Selanjutnya, DPR menuangkan pandangannya tentang korupsi melalui undang-undang. Hal ini memperluas cakupan masalah korupsi menjadi lebih dari sekadar tindak pidana. Kemudian DPR turut mendukung konvensi PBB yang menentang korupsi dan membuat produk legislasi untuk memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan tindak pidana korupsi menjadi instrumen utama pemberantasan korupsi.
Ironisnya, pandangan terhadap korupsi itu --yang juga dituangkan dalam undang-undang-- tidak menjadikan DPR bebas dari korupsi. KPK, yang merupakan produk legislasi DPR, memiliki catatan berdasarkan pelaku perkara yang ditangani dalam kurun waktu 2004-2010. Hasilnya sungguh mengejutkan. Anggota DPR adalah pelaku terbanyak kedua (43 perkara atau 18%) setelah pejabat eselon I, II, dan III (84 perkara atau 34%). Di balik penguatan kekuasaan DPR, ternyata ada penyimpangan kekuasaan (abuse of power).
Benny sebagai anggota DPR yang masih aktif melihat sistem politik multipartai dan kepentingan fraksi membatasi political will dalam memberantas korupsi. Koalisi yang tidak solid dianggap tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Saling sandera antarpartai berkasus pun kerap menghasilkan politik transaksional.
Di bagian tengah buku ini, Benny menjabarkan beberapa kasus yang menimpa anggota DPR, selain kasus-kasus yang menimpa pejabat negara non-DPR. Walau demikian, penjabaran itu tampaknya “hanya” menjadi semacam penghias atas penjelasannya tentang peran DPR dalam memberantas korupsi. Uraiannya tanpa menyajikan solusi reflektif bagi korupsi DPR itu sendiri.
Benny pun hanya berpesan normatif. Pertama, DPR sebagai lembaga negara harus mengacu pada posisi konstitusional dengan mengarahkan geraknya bagi tujuan-tujuan negara. Kedua, posisi sebagai wakil rakyat yang dicerminkan dengan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan kelompok.
Pesan normatif itu seolah-olah mengesampingkan fakta bahwa korupsi disebabkan oleh penyimpangan kekuasaan. Salah satunya adalah kekuasaan yang semakin menguat, seperti yang terjadi pada lembaga tempat ia bernaung: DPR.
Oleh: Taufiqurrohman