Segenggam Cinta dari Moskwa
Judul: Segenggam Cinta dari Moskwa
Penulis: M. Aji Surya
Penerbit: Kompas Media Nusantara, Jakarta, Mei 2012, xxiv + 248 halaman
Datanglah ke Kazan di Rusia Tengah, niscaya kita dapati sebuah komunitas dengan keramahan luar biasa. Terutama kepada para pelancong dari luar negeri. Tak hanya senyuman lebar, mereka bahkan tak sungkansungkan saweran untuk membantu para musafir. Dan jangan cobacoba menolak karena mereka punya sejuta alasan agar si pelancong
menerima sumbangan itu.
Kazan bukan lain ibu kota Republik Tatarstan, satu dari 83 subjek federal Federasi Rusia, dengan penduduk muslim terbesar di Rusia. Kota itu bukan hanya jadi pusat industri dan perdagangan, melainkan juga pusat budaya kaum Tatar, yang jumlahnya sekitar tujuh juta. Dan, cerita di atas merupakan salah satu pengalaman yang diungkap penulis buku ini saat berkunjung ke kota besar berpenduduk mayoritas muslim itu.
Cerita tentang kondisi Islam dan muslim di Rusia mengawali cerita pengalaman diplomat Indonesia yang mantan wartawan ini. Aji Surya memang pernah menjadi wartawan sebuah majalah nasional sebelum terjun menjadi diplomat. Menarik, karena catatan perjalanan ini digarap dengan gaya laporan feature seorang jurnalis. Dan, memang, buku ini berisi kumpulan tulisannya untuk sebuah media cetak di Jakarta yang mengambil tajuk sama: From Moscow With Love.
Banyak keunikan tentang Islam dan muslim Rusia terungkap di sini. Demikian pula keunikan masyarakat Rusia umumnya, yang rupanya belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari pengaruh represi rezim komunis. Semua cerita tentang keunikan itu, dengan objek berbeda, dikemas dalam 36 tulisan yang mengalir dan enak dibaca.
Terselip kelucuan-kelucuan dan ironi di balik sikap kaku dan disiplin yang diperlihatkan pihak keamanan negeri itu. Walaupun sejatinya, gambaran orang awam bahwa Rusia tetap negeri komunis yang bengis, kaku, menakutkan tidak seluruhnya benar dalam situasi sekarang. Kelucuan dan ironi itu terbersit lewat “Penguasa Itu Bernama Satpam” yang mengungkap betapa seorang satpam berkuasa melarang kendaraan seorang duta besar masuk area parkir bandar udara.
Dengan narasi yang terasa jenaka, membaca sejumlah tulisan Aji dalam buku ini kita juga seperti diajak menjelajahi sejarah Rusia. Tengok saja, misalnya, saat ia berkisah lewat “Negeri yang Hobi Menggeliat”. Begitu juga cerita tentang Khram Khrista Spasitelya alias Katedral Kristus Sang Penyelamat di Moskow. Ia tidak hanya mendeskripsikan keindahan bangunan dari abad ke19 itu, melainkan juga pasangsurutnya selama 70 tahun di bawah komunisme.
Diawali dengan cerita terkini seputar gereja yang disebutnya megah, berwibawa, dan amat terawat itu. Suasana dan tradisi Katolik Ortodoks masih hidup dan menghidupi katedral tersebut, dengan kewajiban bagi jemaat perempuannya mengenakan kerudung putih. Aji membeberkan secara singkat riwayat pembangunannya yang makan waktu lebih dari 40 tahun dan baru diresmikan peng gunaannya pada 26 Mei 1883.
Tapi, di balik kemegahan itu, katedral ini menyimpan kisah kelam. Hanya berselang sekitar 50 tahun setelah berdiri, gereja itu dilumatkan rezim komunis Uni Soviet. Malah, atas perintah Nikita Khrushchev, di lokasi itu pernah dibuat kolam renang terbuka paling besar di dunia. Dibangun kembali dengan swadaya masyarakat pada 1994, seratus persen sesuai dengan aslinya, Khram Khrista Spasitelya di resmikan penggunaannya kembali pada Agustus 2000.
Selain itu, dalam pengamatannya, sikap masyarakat Rusia masih belum sesuai dengan glastnost dan perestroika yang dicanangkan Mikhail Gorbachev dua dekade silam. Itu tampak jelas di sektor layanan karena banyak dari mereka masih bermental lama. Di era yang amat mementingkan layanan kepada pelanggan, mereka malah bersikap take it or leave it. “Sikap egepe seperti inilah yang sering dikeluhkan oleh pelanggan dan utamanya orang asing,” tulis dia.
Buku ini adalah karya kelima Aji Surya yang seluruhnya berkisah tentang Rusia. Sebelum ini, ia telah menulis “laporan” serupa: Vodka, Cinta, dan Bunga, Moskwa-Petersburg-Vladivostok, Seruling Diplomat, dan Panduan Hemat Keliling Rusia. Boleh jadi, setelah ini, masih akan ada lagi “karya jurnalistik” mengalir dari tangan diplomatjurnalis kelahiran Yoyakarta itu.
Erwin Y. Salim
Penulis: M. Aji Surya
Penerbit: Kompas Media Nusantara, Jakarta, Mei 2012, xxiv + 248 halaman
Datanglah ke Kazan di Rusia Tengah, niscaya kita dapati sebuah komunitas dengan keramahan luar biasa. Terutama kepada para pelancong dari luar negeri. Tak hanya senyuman lebar, mereka bahkan tak sungkansungkan saweran untuk membantu para musafir. Dan jangan cobacoba menolak karena mereka punya sejuta alasan agar si pelancong
menerima sumbangan itu.
Kazan bukan lain ibu kota Republik Tatarstan, satu dari 83 subjek federal Federasi Rusia, dengan penduduk muslim terbesar di Rusia. Kota itu bukan hanya jadi pusat industri dan perdagangan, melainkan juga pusat budaya kaum Tatar, yang jumlahnya sekitar tujuh juta. Dan, cerita di atas merupakan salah satu pengalaman yang diungkap penulis buku ini saat berkunjung ke kota besar berpenduduk mayoritas muslim itu.
Cerita tentang kondisi Islam dan muslim di Rusia mengawali cerita pengalaman diplomat Indonesia yang mantan wartawan ini. Aji Surya memang pernah menjadi wartawan sebuah majalah nasional sebelum terjun menjadi diplomat. Menarik, karena catatan perjalanan ini digarap dengan gaya laporan feature seorang jurnalis. Dan, memang, buku ini berisi kumpulan tulisannya untuk sebuah media cetak di Jakarta yang mengambil tajuk sama: From Moscow With Love.
Banyak keunikan tentang Islam dan muslim Rusia terungkap di sini. Demikian pula keunikan masyarakat Rusia umumnya, yang rupanya belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari pengaruh represi rezim komunis. Semua cerita tentang keunikan itu, dengan objek berbeda, dikemas dalam 36 tulisan yang mengalir dan enak dibaca.
Terselip kelucuan-kelucuan dan ironi di balik sikap kaku dan disiplin yang diperlihatkan pihak keamanan negeri itu. Walaupun sejatinya, gambaran orang awam bahwa Rusia tetap negeri komunis yang bengis, kaku, menakutkan tidak seluruhnya benar dalam situasi sekarang. Kelucuan dan ironi itu terbersit lewat “Penguasa Itu Bernama Satpam” yang mengungkap betapa seorang satpam berkuasa melarang kendaraan seorang duta besar masuk area parkir bandar udara.
Dengan narasi yang terasa jenaka, membaca sejumlah tulisan Aji dalam buku ini kita juga seperti diajak menjelajahi sejarah Rusia. Tengok saja, misalnya, saat ia berkisah lewat “Negeri yang Hobi Menggeliat”. Begitu juga cerita tentang Khram Khrista Spasitelya alias Katedral Kristus Sang Penyelamat di Moskow. Ia tidak hanya mendeskripsikan keindahan bangunan dari abad ke19 itu, melainkan juga pasangsurutnya selama 70 tahun di bawah komunisme.
Diawali dengan cerita terkini seputar gereja yang disebutnya megah, berwibawa, dan amat terawat itu. Suasana dan tradisi Katolik Ortodoks masih hidup dan menghidupi katedral tersebut, dengan kewajiban bagi jemaat perempuannya mengenakan kerudung putih. Aji membeberkan secara singkat riwayat pembangunannya yang makan waktu lebih dari 40 tahun dan baru diresmikan peng gunaannya pada 26 Mei 1883.
Tapi, di balik kemegahan itu, katedral ini menyimpan kisah kelam. Hanya berselang sekitar 50 tahun setelah berdiri, gereja itu dilumatkan rezim komunis Uni Soviet. Malah, atas perintah Nikita Khrushchev, di lokasi itu pernah dibuat kolam renang terbuka paling besar di dunia. Dibangun kembali dengan swadaya masyarakat pada 1994, seratus persen sesuai dengan aslinya, Khram Khrista Spasitelya di resmikan penggunaannya kembali pada Agustus 2000.
Selain itu, dalam pengamatannya, sikap masyarakat Rusia masih belum sesuai dengan glastnost dan perestroika yang dicanangkan Mikhail Gorbachev dua dekade silam. Itu tampak jelas di sektor layanan karena banyak dari mereka masih bermental lama. Di era yang amat mementingkan layanan kepada pelanggan, mereka malah bersikap take it or leave it. “Sikap egepe seperti inilah yang sering dikeluhkan oleh pelanggan dan utamanya orang asing,” tulis dia.
Buku ini adalah karya kelima Aji Surya yang seluruhnya berkisah tentang Rusia. Sebelum ini, ia telah menulis “laporan” serupa: Vodka, Cinta, dan Bunga, Moskwa-Petersburg-Vladivostok, Seruling Diplomat, dan Panduan Hemat Keliling Rusia. Boleh jadi, setelah ini, masih akan ada lagi “karya jurnalistik” mengalir dari tangan diplomatjurnalis kelahiran Yoyakarta itu.
Erwin Y. Salim