Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pak Harto: The Untold Stories

Judul: Pak Harto: The Untold Stories
Penulis: Mahpudi, Bakarudin, Dwitri Waluyo, Donna Sita Indria, Anita Dewi Ambarsari
Penerbit: Gramedia, 2011
Tebal: 609 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong

Ada dua sisi dari setiap cerita. Paling tidak itulah apa yang ingin ditujukkan oleh Siti Hardiyanti Rukmana yang lebih dikenal sebagai Mbak Tutut dalam buku barunya berjudul Pak Harto: The Untold Stories. Sebuah riwayat hidup dari ayahnya, Suharto.

Diterbitkan pada Juni 2011 untuk menandai ulang tahun yang ke-90 dari mantan presiden kita itu. Buku ini merupakan kumpulan cerita yang dituturkan oleh keluarga dan orang dekat Suharto, termasuk mantan pemimpin Negara jiran seperti Mahathir Mohamad, Lee Kuan Yew dan Fidel Ramos.

Isi buku yang ditampilkan oleh keluarga dan teman dekatnya banyak yang cenderung membuang catatan tinta hitam dari mantan penguasa Indonesia ini. Seperti penindasan rezim orde baru dan rekaman pelanggaran hak asasi orang miskin. Orde baru Suharto mungkin telah berakhir, tetapi dari sudut pandang historis dan sosiologis, kerusakan yang ditimbulkan masih berlanjut selama beberapa generasi.

Namun, dengan membaca buku ini, kita bisa mengetahui sisi lain sebuah cerita, terutama sisi positif yang ditampilkan oleh putri Suharto. Meskipun mungkin mengadung bias subyektif, buku ini merupakan bacaan berharga karena wawasan sejarah yang ditawarkan dari kisah penguasa Indonesia paling lama.

 “The Untold Stories” yang dijanjikan dalam judul buku menampilkan lebih dari 100 sumber yang berbagi cerita detail kesan dan hubungan pribadi mereka dengan dengan sang Jenderal Murah Senyum. Kisah-kisah itu dibagi kedalam 8 bab, tiap babnya meliputi sudut pandang dan periode yang berbeda dari kekuasaan sang mantan presiden.

Dalam bab pertama, “Ksatria Cemerlang”, Suharto digambarkan oleh sesama pemimpin pemerintahan yaitu Mahathir dan Lee sebagai seorang pemimpin kalem dan penuh pengertian yang menghormati koleganya tanpa membeda-bedakan.

Lee mengingat kembali pertemuan pertamanya yang kaku dengan Suharto, ketika Indonesia dan Singapura belum menjalin hubungan diplomatik. Perdana Menteri yang lama memimpin Singapura itu memuji Suharto sebagai pemimpin yang perkataan dan pernyataannya pragmatis. Bab ini disertai banyak foto Suharto muda yang belum keriput dan lebih langsing.

Bab kedua, “Bahu Membahu Demi Negara”, mengumpulkan kesan-kesan dari anggota kabinet mantan presiden, seperti mantan menteri Harmoko, Joop Ave, dan Hayono Isman, yang sudah bisa diduga menceritakan hal-hal positif mengenai gaya kepemimpinan Suharto.

Bab selanjutnya, “Kedua Tangan itu Selalu Terbuka”, dibuatkan bagian untuk lawan politik Suharto, tetapi yang tampak hanya cerita-cerita positif belaka.

Andi Mapetahang Fatwa, seorang aktivis yang dipenjara ole orde baru selama 18 tahun, mengatakan bahwa hukuman penjaranya adalah tanggung jawab kolektif orde dan bangsa dan tidak seharusnya menyalahkan Suharto sendirian.

Taufik Kiemas, ketua MPR dan suami mantan presiden Megawati, mengingat kembali pertemuan terakhirnya dengan Suharto. Dia mengatakan pesan terakhir Suharto adalah pertahankan Pancasila sebagai deologi NKRI.

Bagian paling menarik dari buku ini adalah catatan sejarah yang mengisahkan partisipasi Suharto dalam perjuangan kemerdekaan. Almarhum Des Alwi Abubakar, seorang ahli sejarah menguraikan cerita mengenai bagaimana Suharto menyelamatkan sesama mata-mata saat penjajahan Jepang dengan cara mendandaninya menjadi seorang perempuan.

Banyak hal favorit dari mantan presiden yang diberitahukan melalui buku ini, kebanyakan menunjukkan hubungan yang kuat dengan kebudayaan Jepang.

Sebagai sebuah riwayat hidup dari publik figure yang berpengaruh, buku ini merupakan sebuah dokumen dengan formula yang bagus. Kisah hidup Suharto diceritakan penuh warna, dengan variasi sumber, dari politisi, selebritis, santri, guru, dalang, bahkan tukang cukur.

Namun, berbicara mengenai gaya pemerintahannya, sumber-sumber ini membagi cerita mereka mengenai Suharto hanya berdasar apa yang mereka rasakan dan preferensi mereka terhadap pribadi Suharto. Perspektif cerita ini terlalu personal pada Suharto.

Pertanyaan yang tetap tersisa mungkin: Apakah sebenarnya peninggalan mantan presiden Suharto untuk Indonesia? Sebagaimana Mbak Tutut menulis dalam pengantar buku, hanya waktu yang akan mengatakannya.