Indonesia Rising: The Reposition of Asia’s Third Giant
Indonesia Rising: The Reposition of Asia’s Third Giant
Editor: Anthony Reid
Penerbit: ISEAS Publishing, Singapura, 2012, xxiv + 198 halaman
Dengan pertumbuhan ekonomi 6,4% per tahun, Indonesia me nempati peringkat ke16 du nia. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (GDP) cuma sekitar 24%. Negara yang menjadi anggota G20 ini adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Semua itu, menurut Hassan Wirajuda, menunjukkan bahwa Indonesia akan terus bergerak ke level positif dan menjadi salah satu raksasa di Asia.
Tapi, Bahtiar Effendi punya pandangan berbeda. Maraknya kasus korupsi yang makin mengganas, para politisi yang lebih mementingkan partainya masingmasing, serta intoleransi beragama yang memprihatinkan belakangan ini membuat pengamat politik ini bersikap realistis bukan putus asa. Kondisi saat ini, kata Bahtiar, hanya berbeda dengan kondisi sebelum reformasi. Bukan berubah.
Dua pendapat yang berbeda kutub itu mengemuka dalam acara peluncuran buku Indonesia Rising: the Repositioning of Asia’s Third Giant di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu pekan lalu. Buku ini, yang menjadi bagian dari Indonesia Update Series terbitan College of Asia and the Pacific, Australian National University (ANU), berisi 10 tulisan mengenai kondisi Indonesia terkini. Penulisnya delapan pakar Indonesianis dan dua ilmuwan dalam negeri: Rizal Sukma dan Chatib Basri.
Peluncuran ini dihadiri oleh 150an orang dari beragam profesi, dari akademisi, peneliti senior, hingga diplomat asing dan Indonesia. Selain pidato yang disampaikan Hassan Wirajuda, peluncuran bu ku terbitan ISEAS Publishing ini juga diisi dengan diskusi tentang Indonesia Update di bidang politik dan ekonomi. Prof. Anthony Reid, editor sekaligus salah satu penulis dalam buku ini, menyatakan beberapa indikasi menyebabkan para penulis buku ini yakin bahwa Indonesia sedang bangkit. “Itu fakta yang tidak bisa kita tolak,” ujar Indonesianis asal Australia ini.
Hal yang lebih netral disampaikan oleh Rizal Sukma. Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) ini menyatakan, apa yang sudah dilalui dan dilakukan oleh Indonesia sedikit banyak membuat negara ini percaya diri untuk bergaul di tingkat global. “Untuk memantapkan itu, Indonesia harusnya mau mereposisi beberapa sikapnya terhadap beberapa hal,” katanya.
Yang pertama adalah mereposisi sikapnya mengenai Asia Timur. Kawasan Asia Tenggara, menurut Rizal, terlalu kecil buat Indonesia; tapi dunia global terlalu besar bagi negeri ini. Jadi, kata dia, jalan terbaik adalah menguatkan posisi Indonesia di kawasan Asia Timur. Yang juga harus dilihat adalah bagaimana peran Indonesia dalam perkembangan politik di Timur Tengah.
Tapi, penulis lainnya dari Indonesia, Chatib Basri, melayangkan pandangan yang juga optimistis seperti ditampakkan Hassan Wirajuda. Ia mencoba menguatkan pandangan para pakar yang melihat kondisi positif yang dialami Indonesia terkini. Pendapat itu dituangkannya lewat tulisan bertajuk “Indonesia’s Role in The World Economy: Sitting on the Fence”.
Indonesia, katanya, jelas memiliki potensi besar untuk memainkan peran dalam ekonomi regional dan global. Potensi itu baru akan bermakna bila negeri ini sanggup mengatasi hambatanhambatan dalam proses reformasi perdagangan. Untuk mengatasinya, Indonesia membutuhkan reformasi ekonomi menyeluruh. Dengan menandatangani berbagai kesepakatan dagang inter nasional, Indonesia tidak bi sa lagi mundur ke belakang lalu kembali menerapkan kebijakan proteksionis.
Bagaimanapun, semua tentu terpulang kepada bangsa ini. Dalam era liberalisasi yang kompetitif seperti sekarang ini, Indonesia mau tak mau mesti menyepakati lebih banyak lagi perjanjian perdagangan. Semua tergantung pada kemampuan bangsa ini meningkatkan daya saingnya.
Oleh: Bernadetta Febriana
Editor: Anthony Reid
Penerbit: ISEAS Publishing, Singapura, 2012, xxiv + 198 halaman
Dengan pertumbuhan ekonomi 6,4% per tahun, Indonesia me nempati peringkat ke16 du nia. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (GDP) cuma sekitar 24%. Negara yang menjadi anggota G20 ini adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Semua itu, menurut Hassan Wirajuda, menunjukkan bahwa Indonesia akan terus bergerak ke level positif dan menjadi salah satu raksasa di Asia.
Tapi, Bahtiar Effendi punya pandangan berbeda. Maraknya kasus korupsi yang makin mengganas, para politisi yang lebih mementingkan partainya masingmasing, serta intoleransi beragama yang memprihatinkan belakangan ini membuat pengamat politik ini bersikap realistis bukan putus asa. Kondisi saat ini, kata Bahtiar, hanya berbeda dengan kondisi sebelum reformasi. Bukan berubah.
Dua pendapat yang berbeda kutub itu mengemuka dalam acara peluncuran buku Indonesia Rising: the Repositioning of Asia’s Third Giant di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu pekan lalu. Buku ini, yang menjadi bagian dari Indonesia Update Series terbitan College of Asia and the Pacific, Australian National University (ANU), berisi 10 tulisan mengenai kondisi Indonesia terkini. Penulisnya delapan pakar Indonesianis dan dua ilmuwan dalam negeri: Rizal Sukma dan Chatib Basri.
Peluncuran ini dihadiri oleh 150an orang dari beragam profesi, dari akademisi, peneliti senior, hingga diplomat asing dan Indonesia. Selain pidato yang disampaikan Hassan Wirajuda, peluncuran bu ku terbitan ISEAS Publishing ini juga diisi dengan diskusi tentang Indonesia Update di bidang politik dan ekonomi. Prof. Anthony Reid, editor sekaligus salah satu penulis dalam buku ini, menyatakan beberapa indikasi menyebabkan para penulis buku ini yakin bahwa Indonesia sedang bangkit. “Itu fakta yang tidak bisa kita tolak,” ujar Indonesianis asal Australia ini.
Hal yang lebih netral disampaikan oleh Rizal Sukma. Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) ini menyatakan, apa yang sudah dilalui dan dilakukan oleh Indonesia sedikit banyak membuat negara ini percaya diri untuk bergaul di tingkat global. “Untuk memantapkan itu, Indonesia harusnya mau mereposisi beberapa sikapnya terhadap beberapa hal,” katanya.
Yang pertama adalah mereposisi sikapnya mengenai Asia Timur. Kawasan Asia Tenggara, menurut Rizal, terlalu kecil buat Indonesia; tapi dunia global terlalu besar bagi negeri ini. Jadi, kata dia, jalan terbaik adalah menguatkan posisi Indonesia di kawasan Asia Timur. Yang juga harus dilihat adalah bagaimana peran Indonesia dalam perkembangan politik di Timur Tengah.
Tapi, penulis lainnya dari Indonesia, Chatib Basri, melayangkan pandangan yang juga optimistis seperti ditampakkan Hassan Wirajuda. Ia mencoba menguatkan pandangan para pakar yang melihat kondisi positif yang dialami Indonesia terkini. Pendapat itu dituangkannya lewat tulisan bertajuk “Indonesia’s Role in The World Economy: Sitting on the Fence”.
Indonesia, katanya, jelas memiliki potensi besar untuk memainkan peran dalam ekonomi regional dan global. Potensi itu baru akan bermakna bila negeri ini sanggup mengatasi hambatanhambatan dalam proses reformasi perdagangan. Untuk mengatasinya, Indonesia membutuhkan reformasi ekonomi menyeluruh. Dengan menandatangani berbagai kesepakatan dagang inter nasional, Indonesia tidak bi sa lagi mundur ke belakang lalu kembali menerapkan kebijakan proteksionis.
Bagaimanapun, semua tentu terpulang kepada bangsa ini. Dalam era liberalisasi yang kompetitif seperti sekarang ini, Indonesia mau tak mau mesti menyepakati lebih banyak lagi perjanjian perdagangan. Semua tergantung pada kemampuan bangsa ini meningkatkan daya saingnya.
Oleh: Bernadetta Febriana