Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang

Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang
Penulis: Julius Pour
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010, 514 halaman

Selain Presiden Soekarno (beserta ajudannya: Mangil, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Subandrio, dan Panglima Angkatan Udara Omar Dani) terdapat pimpinan PKI Aidit dan Njoto serta empat orang yang tercatat sebagai komandan G30S (Untung, Latief, Supardjo, dan Heru Atmodjo). Di sisi lain, ada Jenderal Nasution, Soeharto, dan Sarwo Edhi.

Paling sedikit ada dua hal yang relatif baru dalam buku ini mengenai Soekarno dan Sarwo Edhi. Keterlibatan Soekarno dalam G30S yang dituduhkan secara langsung atau tidak langsung dalam versi sejarah Orde Baru dibantah melalui penuturan Mangil, ajudan presiden yang selalu di samping Bung Karno ketika peristiwa itu terjadi. Rute perjalanan Soekarno ke Istana tanggal 1 Oktober 1965 membuktikan bahwa sang presiden tidak mengetahui persis tentang gerakan tersebut.

Tidak benar bahwa Soekarno pernah diingatkan oleh Brigjen Sugandhi tentang bahaya PKI karena, menurut Mangil, Sugandhi tidak bertemu dengan presiden saat itu. Dan pernyataan tersebut lebih bernuansa sentimen pribadi karena usulan untuk membeli rumah yang ditempatinya ditolak oleh Soekarno.

Tanggal 10 Maret 1966, dalam perjalanan pulang ke Istana Bogor, rombongan Presiden Soekarno mampir di markas KKO Cilandak. Tujuannya bukan meminta perlindungan korps ini, seperti dituduhkan Jenderal Nasution, melainkan karena soal sepele: Soekarno kebelet mau buang air kecil dan mobil dibelokkan ke sana. Walaupun dalam kenyataan korps marinir yang dipimpin Jenderal Hartono memang mendukung Soekarno.

Tiga Aspek

Ada tiga aspek menyangkut Sarwo Edhi yang ingin digarisbawahi buku ini. Pertama, Sarwo adalah pejabat komandan RPKAD karena atasannya sedang mengikuti pendidikan. Namun secarik nota dari Panglima Kostrad Mayjen Soeharto bertulis tangan yang tergesa-gesa dibawa ke Cijantung telah mengubah perjalanan bangsa. Dalam hitungan detik, Sarwo Edhi tampil di pentas sejarah. Ia membebaskan RRI, mengamankan pangkalan Halim Perdanakusuma, dan selanjutnya menumpas G30S di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

Nuansa kedua yang ingin disampaikan adalah benih perpecahan Sarwo Edhi dan Soeharto yang sudah timbul sejak awal. Sarwo Edhi sangat berjasa dalam melumpuhkan kekuatan militer musuh yang berada di Lubang Buaya, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Namun, tak boleh ada matahari kembar. Mantan komandan RPKAD yang populer di kalangan angkatan 1966 itu kemudian dipinggirkan, diberi jabatan tinggi namun tidak strategis.

Menurut Julius Pour, benih ketidaksenangan ini sudah ada sejak 1 Oktober 1965, ketika Sarwo Edhi tanpa direncanakan naik helikopter bersama Sri Mulyono Herlambang ke Istana Bogor menemui Presiden Soekarno. Soeharto terkesan dilangkahi karena ia tidak memerintahkan hal itu.

Aspek ketiga, sebagai konsekuensi operasi militer pasca-G30S 1965, terjadi pembunuhan massal terbesar dalam sejarah Indonesia. Angka yang moderat menyebut 500.000 jiwa, sementara jumlah terendah dilaporkan Fact Finding Commission berjumlah 80.000 orang (Oei Tjoe Tat kelak menyatakan angka itu adalah 10 kali lipat) sampai tertinggi 3 juta korban, yang konon disampaikan Sarwo Edhi.

Pasukan RPKAD yang dipimpin Sarwo Edhi memasuki Semarang pada 19 Oktober 1965. Selanjutnya ke Magelang dan Yogyakarta. Karena pasukannya terbatas, Sarwo melatih kemiliteran para pemuda dua atau tiga hari, selanjutnya "mereka kami lepaskan untuk menumpas komunis sampai ke akar-akarnya." Sarwo tidak ragu-ragu mengeluarkan perintah tembak kepada mereka yang melawan, termasuk kepada penduduk yang memprotes penembakan.

Pembunuhan massal tahun 1965 itu telah digambarkan dalam buku Robert Cribb, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Mengenai Sarwo Edhi, selain dari sebuah artikel di majalah Prisma yang ditulis oleh Peter Kasenda, dua makalah pada seminar "The 1965-1966 Indonesian Killings Revisited" di Singapura 17-19 Juni 2009, berkaitan dengan Sarwo Edhi disampaikan oleh David Jenkins ("Fifteen Hundred Assasinations per Day: Three Aspects of the Mass Killing in Indonesia in 1965-1966") dan Douglas Kammen ("Sarwo Edhi's Travels in Java and Bali, October-December 1965"). David Jenkins, antara lain, menggunakan arsip Kedutaan Besar Australia di Jakarta, sedangkan Douglas Kammen memanfaatkan berita-berita di surat kabar pada masa itu.

Dr. Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI