Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Strategi-strategi untuk Bertahan: Perlindungan Pembela HAM di Kolombia, Indonesia, dan Zimbabwe

Strategi-strategi untuk Bertahan: Perlindungan Pembela HAM di Kolombia, Indonesia, dan Zimbabwe
Penulis: Matthew Easton
Penerbit: Front Line, Dublin, Irlandia, 2010, viii + 79 halaman

Tidak lama setelah aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir wafat, istri almarhum, Suciwati, menerima kiriman paket di rumahnya. Isinya kepala ayam dan tulisan berbunyi: "Awas!!! Jangan libatkan TNI dalam kematian Munir. Mau menyusul seperti ini?!"

Ancaman itu masih terhitung "sopan" karena tidak melibatkan anggota keluarga. Yang dialami Ingrid Vergara, aktivis HAM asal Kolombia, lebih parah. Sebuah mobil membuntuti putrinya yang baru berusia 14 tahun, Cendy, ketika berjalan ke sekolah. Dua pria di mobil itu lalu berbicara kepada siswa lain, yang kemudian mendekati Cendy dan berkata, "Orang-orang di mobil itu berpesan agar kaubilang kepada ibumu untuk tutup mulut kalau masih ingin melihat tahun baru," katanya.

Bagi aktivis pembela HAM, kisah seperti itu memang bukan hal baru. Persoalannya, bagaimana bertahan menghadapi ancaman seperti itu? Langkah keamanan apa yang harus disiapkan? Bisakah risiko terhadap keselamatan keluarga diminialkan? Jawaban atas pertanyaan itu bisa ditemukan dalam buku Strategi-strategi untuk Bertahan: Perlindungan Pembela HAM di Kolombia, Indonesia, dan Zimbabwe. Buku ini diluncurkan Komnas HAM pada Kamis 9 Desember lalu.

Buku terbitan Front Line, sebuah organisasi HAM asal Dublin, Irlandia, itu disusun berdasarkan puluhan wawancara dan lokakarya yang melibatkan para aktivis di tiga negara tersebut. Kesimpulannya, walau tidak ada prosedur yang menjamin aktivis HAM bisa tetap aman, kemungkinan bertahan --atau lolos dari maut-- bisa ditingkatkan dengan menyiapkan berbagai langkah antisipasi. Misalnya perencanaan keamanan, baik terhadap diri sendiri maupun keluarga, serta koordinasi dan advokasi yang cepat. Bila perlu, kesigapan untuk pindah ke luar negeri ketika bahaya makin serius.

Contohnya adalah ketika Mukoko, aktivis HAM asal Zimbabwe, diculik sejumlah orang tak dikenal. Hanya dalam hitungan jam, rincian mengenai penculikan itu --kapan, di mana, kendaraan yang digunakan-- telah tersebar ke luar negeri. Kantor-kantor pengacara dan media segera mendapatkan kabar itu dan memulai kampanye internasional.

Tekanan itu akhirnya membuat para penculik Mukoko membebaskannya sekitar dua pekan kemudian. Setelah bebas, Mukoko bercerita, kampanye yang massif dan cepat membuat sikap para penculiknya agak berubah. "Salah satu dari mereka berkomentar, 'Organisasi kamu luar biasa rapi kerjanya', dan ia tersenyum," katanya.

Tapi, untunglah, situasi HAM di Indonesia pada saat ini tidak separah di Kolombia atau di Zimbabwe. Sehingga kecil kemungkinan penggiat HAM di Indonesia harus lari ke luar negeri untuk bertahan hidup. Sistem hukum di Indonesia juga mulai memberikan jaminan bagi aktivis HAM. Misalnya lewat Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tidak mengherankan bila Indonesia oleh buku ini dikategorikan sebagai negara transisi (menuju demokrasi), sedangkan dua sisanya adalah negara konflik (Kolombia) dan otoritarian (Zimbabwe).

Walau UU Perlindungan Saksi dan Korban pun sebenarnya masih harus direvisi, setidaknya beleid ini membuat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak memberikan perlindungan secara fisik (berupa penempatan di rumah aman dengan petugas) atau hukum kepada pihak-pihak yang merasa jiwanya terancam. "Kewenangan kami adalah memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi atau korban di semua proses peradilan pidana," kata Abdul Haris Semendawai, Ketua LPSK, yang juga menghadiri acara peluncuran bukut itu.

Namun ada juga catatan. Pembunuhan dan intimidasi terhadap wartawan masih saja terjadi, terutama yang melaporkan kasus-kasus korupsi. Pembunuhan terhadap wartawan Radar Bali, Anak Agung Narendra Prabangsa, yang menulis dugaan korupsi di kantor Depdiknas setempat, adalah catatan hitam dalam sejarah HAM di Indonesia pasca-reformasi.

Selain itu, polisi --pihak yang seharusnya menegakkan hukum-- ternyata justru masih tetap menjadi isu utama. Wakil Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, memberi catatan singkat bahwa setiap tahun mereka menerima 4.000-5.000 laporan terkait pelanggaran HAM. Ironisnya, salah satu "terlapor" paling banyak adalah polisi. ''Ini memprihatinkan. Sepanjang tahun 2010 ini, kami menerima sekitar 1.000 laporan kasus HAM yang melibatkan polisi," katanya.

Basfin Siregar