Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Retail Rules: Melihat Keunggulan dan Potensi Bisnis Ritel Makanan di Masa Depan

Meshvara Kanjaya punya perumpamaan unik soal bisnis retail. Menurut dia, organisasi bisnis retail itu mirip dengan tentara. Kok, bisa? Alasannya, dalam bisnis retail dibutuhkan kedisiplinan tingkat tinggi dan peran sentral seorang pemimpin. "Dalam retail, pemimpin itu sangat menentukan keberhasilan bisnis," katanya pada saat peluncuran buku ini, beberapa waktu lalu.

Retail Rules adalah karya bersama Meshvara dengan Yongky Susilo. Keduanya sama-sama bersentuhan lekat dengan bisnis retail, walau di jalur berbeda. Meshvara adalah praktisi retail yang malang melintang di sejumlah perusahaan retail besar dan kini menjabat sebagai Merchandising & Marketing Director Matahari Food Business. Sedangkan Yongky adalah Retailer Service Director The Nielsen Indonesia yang telah meneliti retail selama 16 tahun terakhir.

Pada dasarnya, buku ini hendak menggambarkan evolusi bisnis retail di Indonesia, mulai kemunculan, pertumbuhan, perubahan yang terjadi, hingga masa depan bisnis ini. Bergerak dengan alur lurus, mereka memulai pembahasan dengan awal mula retail modern di Indonesia dan diakhiri dengan uraian perihal format retail masa depan.

Di Indonesia, retail modern mulai berdiri pada 1970-an. Ketika itu, Gelael membuka toko pertamanya di Jalan Faletehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam waktu yang tidak terpaut lama, di daerah itu pula, Hero membuka gerai pertamanya. Bob Sadino juga membuka KemChick di wilayah Kemang, Jakarta Selatan.

Pada mulanya, tidak mudah menjalankan bisnis retail ini karena masyarakat belum terbiasa berbelanja dengan format swalayan. Perbedaan pengemasan barang antara supermarket dan pasar tradisional juga menjadi kendala. Di pasar tradisional, misalnya, konsumen bisa memilih ayam hidup, lalu disembelih di hadapan mereka. Sedangkan di pasar swalayan, ayam dijual sudah dalam keadaan mati dan terpotong-potong.

Perbedaan yang sekarang terasa sepele itu ternyata dulu menjadi masalah. Menurut Meshvara dan Yongky, butuh waktu untuk menanamkan persepsi di benak konsumen pada waktu itu bahwa daging ayam yang dijual di pasar swalayan pun berasal dari ayam hidup, bukan bangkai.

Ada juga kisah lucu. Sampai satu dekade sejak kemunculannya yang pertama, supermarket selalu ditempatkan di lantai paling atas pusat perbelanjaan, bersebelahan dengan bioskop. Alasannya, supermarket dipercaya sebagai penarik arus konsumen, sehingga mereka yang mengunjungi swalayan diharuskan melewati seluruh lantai dan melihat seluruh toko di pusat perbelanjaan itu.

Pada 1980-an hingga pertengahan 1990-an, ekspansi retail di Indonesia berlangsung signifikan. Ini terutama disebabkan kebijakan pemerintah yang memberi kemudahan fasilitas bagi perusahaan yang ingin go public. Setelah itu, bisnis retail di Indonesia berkembang dengan pelbagai macam format: toko diskon, superstore, hypermarket, minimarket, dan sebagainya. Tidak semua format itu sukses bertahan. Mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri akhirnya tumbang.

Hal lain yang terjadi adalah masuknya para peretail asing dengan modal besar serta mulai mengakuisisi retail lokal dan melakukan ekspansi secara agresif. Jumlah penduduk Indonesia yang besar menjadi sasaran gurih bagi para peretail asing. Perusahaan retail asing yang pertama kali masuk ke Indonesia adalah Makro pada 1992. Sekarang sejumlah perusahaan asing, seperti Carrefour, Circle K, dan 7-Eleven, menyaingi retail asli Indonesia, seperti Indomaret, Alfamart, dan Hero.

Lalu, bagaimana format retail masa depan? Menurut buku ini, tumbuhnya konsumen muda dengan karakteristik baru akan sangat berpengaruh terhadap bisnis ini. Terbiasa dengan teknologi digital, menyukai segala yang instan, dan suka mencoba pengalaman baru. Itulah sifat-sifat konsumen muda yang jumlahnya meningkat secara signifikan di dunia.

Haris Firdaus