Jual Buku Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan
Judul: Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan
Penulis: Marieke Bloembergen
Penerbit: Kompas-KITLV, 2011
Tebal: 583 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Wajah kepolisian negeri ini masih terus tercoreng banyak kasus. Di tengah keberhasilan menggulung antek-antek teroris, pengayom dan pelindung masyarakat itu tampak seperti tak berdaya menghadapi kasus kekerasan massal. Seperti yang belakangan terjadi di Cikeusik, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah. Upaya berbenah pun tercoreng dengan munculnya dugaan adanya makelar kasus dan rekening gendut para petingginya.
Sementara itu, dalam hiruk-pikuk semboyan yang diusungnya (pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat), justru muncul kasus-kasus yang terkesan menzalimi warga yang tak berdaya. Ada kasus Nenek Minah yang ditangkap karena dituduh mengambil tiga buah kakao. Ada juga kasus pemulung yang dipaksa mengaku sebagai pemilik ganja, dan banyak lagi.
Begitu buramnya wajah polisi mengingatkan kita pada masa penjajahan Belanda. Citra perlakuannya terhadap orang kecil tak banyak berubah dibandingkan dengan masa penjajahan dahulu. Pada salah satu hasil kajian Marieke Bloembergen dalam buku ini, kepolisian zaman kolonial juga terlibat dalam praktek-praktek pekerjaan kotor dan tragis seperti yang kerap muncul dalam pemberitaan media kini.
Bahwa semula pembentukannya dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan umum, citra polisi pada zaman penjajahan Belanda pun telah dipenuhi tindak kekerasan. Meski undang-undang pada masa itu melarang, dalam prakteknya polisi kerap menggunakan ancaman kekerasan sampai kekerasan itu sendiri untuk mendapat pengakuan seorang tersangka pelanggar hukum.
Peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda, ini mencatat aib itu dalam rekam jejak polisi kolonial. Dan itu merupakan bagian kecil dari sejarah hitam polisi Hindia Belanda. Yang lebih penting, Marieke membeberkan dalam perspektif yang luas riwayat polisi modern kolonial sejak reorganisasinya pada 1897 hingga 1942, bersamaan dengan pendudukan Jepang.
Dilihat dari latar belakangnya, kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai jawaban Pemerintah Belanda terhadap persoalan keamanan di negara koloni. Tapi, ironisnya, warga pribumi tidak dimintai masukan ketika lembaga ini dibentuk. Padahal, dalam pelaksanaannya, mereka justru memegang peran penting. Itu tercermin pada data yang menunjukkan, 96% anggota polisi adalah kalangan pribumi.
Bersamaan dengan itu, Marieke mendapati bahwa polisi modern kolonial juga lahir dari kepedulian dan ketakutan. Kepedulian dalam arti mereka berkehendak mendirikan negara polisi di negeri jajahan, menciptakan masyarakat yang aman dan tertib. Tapi, dalam kenyataannya, kepolisian pada waktu itu juga mendapat beban menjalankan tugas-tugas kotor negara kolonial dengan tindakan represif. Dengan demikian, upaya membangun negara polisi boleh dibilang gagal total.
Polisi modern kolonial juga disebut lahir dari ketakutan. Menurut lacakan Marieke, situasi keamanan sebelum reorganisasi polisi kolonial makin mencemaskan. Perampokan, perampasan, dan pembunuhan makin marak, terutama sejak akhir paruh pertama abad ke-19. Sedangkan polisi-polisi lokal seakan tidak berdaya.
Kondisi ini membuat para pendatang dari Eropa yang membanjiri dan menetap di Hindia Belanda merasa sangat tidak nyaman. Terlebih lagi, perlawanan pribumi dan petani terhadap otoritas kolonial bermunculan sejak 1870. Ini memunculkan perdebatan panjang di kementerian kolonial di Den Haag dan pemerintah kolonial di Batavia tentang masalah dalam kepolisian di negeri jajahan. Diperlukan waktu tak kurang dari 25 tahun sebelum akhirnya diputuskan untuk melakukan reorganisasi kepolisian kolonial pada 1897.
Walhasil, pemerintah kolonial pun membentuk organisasi kepolisian modern untuk menjaga keamanan sekaligus kepentingan mereka di Hindia Belanda. Demikian pula, politik etis yang kemudian melahirkan elite pribumi yang mendorong gerakan nasionalisme membuat pemerintah kolonial makin giat "memodernisasi" kepolisiannya. Dalam istilah Marieke, polisi modern kolonial menjalankan dua fungsi sekaligus. Selain menjaga keamanan, polisi juga berfungsi dengan segala cara mempertahankan status quo pemerintah jajahan.
Erwin Y. Salim
Penulis: Marieke Bloembergen
Penerbit: Kompas-KITLV, 2011
Tebal: 583 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Wajah kepolisian negeri ini masih terus tercoreng banyak kasus. Di tengah keberhasilan menggulung antek-antek teroris, pengayom dan pelindung masyarakat itu tampak seperti tak berdaya menghadapi kasus kekerasan massal. Seperti yang belakangan terjadi di Cikeusik, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah. Upaya berbenah pun tercoreng dengan munculnya dugaan adanya makelar kasus dan rekening gendut para petingginya.
Sementara itu, dalam hiruk-pikuk semboyan yang diusungnya (pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat), justru muncul kasus-kasus yang terkesan menzalimi warga yang tak berdaya. Ada kasus Nenek Minah yang ditangkap karena dituduh mengambil tiga buah kakao. Ada juga kasus pemulung yang dipaksa mengaku sebagai pemilik ganja, dan banyak lagi.
Begitu buramnya wajah polisi mengingatkan kita pada masa penjajahan Belanda. Citra perlakuannya terhadap orang kecil tak banyak berubah dibandingkan dengan masa penjajahan dahulu. Pada salah satu hasil kajian Marieke Bloembergen dalam buku ini, kepolisian zaman kolonial juga terlibat dalam praktek-praktek pekerjaan kotor dan tragis seperti yang kerap muncul dalam pemberitaan media kini.
Bahwa semula pembentukannya dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan umum, citra polisi pada zaman penjajahan Belanda pun telah dipenuhi tindak kekerasan. Meski undang-undang pada masa itu melarang, dalam prakteknya polisi kerap menggunakan ancaman kekerasan sampai kekerasan itu sendiri untuk mendapat pengakuan seorang tersangka pelanggar hukum.
Peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda, ini mencatat aib itu dalam rekam jejak polisi kolonial. Dan itu merupakan bagian kecil dari sejarah hitam polisi Hindia Belanda. Yang lebih penting, Marieke membeberkan dalam perspektif yang luas riwayat polisi modern kolonial sejak reorganisasinya pada 1897 hingga 1942, bersamaan dengan pendudukan Jepang.
Dilihat dari latar belakangnya, kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai jawaban Pemerintah Belanda terhadap persoalan keamanan di negara koloni. Tapi, ironisnya, warga pribumi tidak dimintai masukan ketika lembaga ini dibentuk. Padahal, dalam pelaksanaannya, mereka justru memegang peran penting. Itu tercermin pada data yang menunjukkan, 96% anggota polisi adalah kalangan pribumi.
Bersamaan dengan itu, Marieke mendapati bahwa polisi modern kolonial juga lahir dari kepedulian dan ketakutan. Kepedulian dalam arti mereka berkehendak mendirikan negara polisi di negeri jajahan, menciptakan masyarakat yang aman dan tertib. Tapi, dalam kenyataannya, kepolisian pada waktu itu juga mendapat beban menjalankan tugas-tugas kotor negara kolonial dengan tindakan represif. Dengan demikian, upaya membangun negara polisi boleh dibilang gagal total.
Polisi modern kolonial juga disebut lahir dari ketakutan. Menurut lacakan Marieke, situasi keamanan sebelum reorganisasi polisi kolonial makin mencemaskan. Perampokan, perampasan, dan pembunuhan makin marak, terutama sejak akhir paruh pertama abad ke-19. Sedangkan polisi-polisi lokal seakan tidak berdaya.
Kondisi ini membuat para pendatang dari Eropa yang membanjiri dan menetap di Hindia Belanda merasa sangat tidak nyaman. Terlebih lagi, perlawanan pribumi dan petani terhadap otoritas kolonial bermunculan sejak 1870. Ini memunculkan perdebatan panjang di kementerian kolonial di Den Haag dan pemerintah kolonial di Batavia tentang masalah dalam kepolisian di negeri jajahan. Diperlukan waktu tak kurang dari 25 tahun sebelum akhirnya diputuskan untuk melakukan reorganisasi kepolisian kolonial pada 1897.
Walhasil, pemerintah kolonial pun membentuk organisasi kepolisian modern untuk menjaga keamanan sekaligus kepentingan mereka di Hindia Belanda. Demikian pula, politik etis yang kemudian melahirkan elite pribumi yang mendorong gerakan nasionalisme membuat pemerintah kolonial makin giat "memodernisasi" kepolisiannya. Dalam istilah Marieke, polisi modern kolonial menjalankan dua fungsi sekaligus. Selain menjaga keamanan, polisi juga berfungsi dengan segala cara mempertahankan status quo pemerintah jajahan.
Erwin Y. Salim