Pesan-pesan Islam: Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika Serikat
Pesan-pesan Islam: Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika Serikat
Penulis: Haji Agus Salim
Penerbit: Mizan, Bandung, Mei 2011, xxx + 389 halaman
Berkacamata bulat, berpeci, berkumis, dan berjanggut sekepalan yang memutih. Di usia tuanya, ia bertongkat. Hidupnya penuh kesederhanaan. Tapi pak tua itu, Haji Agus Salim, punya pemikiran yang tidak sederhana, seperti tertuang dalam buku karyanya ini. "Pemikirannya jauh melampaui zamannya," begitu komentar Buya Ahmad Syafii Maarif kepada Gatra tentang tokoh yang satu ini.
Buku Pesan-Pesan Islam ini berasal dari kuliah-kuliah yang diberikan Haji Agus Salim ketika menjadi dosen tamu di Cornell University, Amerika Serikat, dari Januari sampai Juni 1953, di usia 69 tahun. Ada 31 tema, dari rukun iman dan Islam sampai sejarah Nabi Muhammad SAW di Madinah. Haji Agus Salim memperkenalkan Islam kepada komunitas non-muslim yang pada waktu itu (juga sampai sekarang) masih salah paham terhadap ajaran Islam.
Tentu saja kuliah-kuliah di Cornell itu berbeda dari apa yang selalu didakwahkannya ketika berada di Tanah Air. Di Indonesia, ceramah yang dilakukan Haji Agus Salim lebih sebagai pendalaman, sedangkan di Amerika Serikat ia mengenalkan Islam sebagai agama yang ramah.
Nama Haji Agus Salim cukup dikenal sebagai tokoh nasional. Namanya sering disejajarkan dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Di era pemerintahan kolonial, Haji Agus Salim bersama H.O.S. Cokroaminoto dan Abdul Muis telah berusaha meningkatkan taraf hidup kaum bumiputra melalui program-program yang dicanangkan Sarekat Islam.
Tapi tidak semua orang tahu bahwa Haji Agus Salim, selain sebagai tokoh pergerakan, juga seorang cendekiawan dan pemikir. Sebagai cendekiawan dan pemikir, ia terlibat aktif membina pemahaman keagamaan para cendekiawan berpendidikan Barat sejak tahun 1925, yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Perannya sebagai cendekiawan dan pemikir inilah yang mengantarkannya diundang oleh Cornell University.
Salah satu tema yang dibahas Haji Agus Salim adalah "Al-Quran dan Kedudukan Wanita". Antara lain menyinggung soal poligami Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW berpoligami pasca-kematian Khadijah, di usianya yang sudah 51 tahun sampai wafatnya (usia 63 tahun). Motifnya macam-macam, antara lain untuk memuliakan kaum perempuan. Juga untuk menikahi perempuan ketika para sahabat tak kuasa menjadi suaminya.
Hal itu, menurut Haji Agus Salim, terjadi dalam pernikahan Nabi dengan anak Umar bin Khaththab, Hafsha. Sepeninggal suami Hafsha, Umar mendatangi para sahabanya, Abu Bakar dan Ustman, agar menikahi anak perempuannya itu. Tapi dua sahabat ini menolak. Penolakan dua sahabat itu, menurut Haji Agus Salim, lebih karena Hafsha adalah anak Umar yang punya sifat-sifat yang sama dengan ayahnya: garang dan keras kepala.
Lalu datanglah Umar kepada Nabi Muhammad SAW dan mengadukan perihal anak perempuannya itu. Mendengar keluhan itu, Nabi Muhammad SAW pun menikahi Hafsha. "Dan, Anda boleh yakin bahwa putri Umar itu banyak membuat onar dalam rumah tangga Nabi. Bahkan beberapa kali ia berhasil menghasut istri-istri lainnya untuk mengajukan tuntutan kepada Nabi Muhammad SAW," tulis Haji Agus Salim (halaman 304).
Haji Agus Salim sampai pada kesimpulan seperti itu setelah mendalami faktor keturunan dan merujuk pada surah Al-Ahzab (33) ayat 28. Inilah salah satu keberanian Haji Agus Salim dalam mengurai dan menyimpulkan sebuah peristiwa.
Akhirnya, meski kuliah-kuliah tokoh berjuluk "the grand old man" itu berlangsung 58 tahun lalu, baik tema maupun kajiannya tetap menarik dinikmati dan memberi inspirasi bagi pembacanya. Sebab cara pandang Hji Agus Salim telah melampaui zamannya. Bahkan, setelah setengah abad lebih, tetap saja tak tergoyahkan.
Herry Mohammad
Penulis: Haji Agus Salim
Penerbit: Mizan, Bandung, Mei 2011, xxx + 389 halaman
Berkacamata bulat, berpeci, berkumis, dan berjanggut sekepalan yang memutih. Di usia tuanya, ia bertongkat. Hidupnya penuh kesederhanaan. Tapi pak tua itu, Haji Agus Salim, punya pemikiran yang tidak sederhana, seperti tertuang dalam buku karyanya ini. "Pemikirannya jauh melampaui zamannya," begitu komentar Buya Ahmad Syafii Maarif kepada Gatra tentang tokoh yang satu ini.
Buku Pesan-Pesan Islam ini berasal dari kuliah-kuliah yang diberikan Haji Agus Salim ketika menjadi dosen tamu di Cornell University, Amerika Serikat, dari Januari sampai Juni 1953, di usia 69 tahun. Ada 31 tema, dari rukun iman dan Islam sampai sejarah Nabi Muhammad SAW di Madinah. Haji Agus Salim memperkenalkan Islam kepada komunitas non-muslim yang pada waktu itu (juga sampai sekarang) masih salah paham terhadap ajaran Islam.
Tentu saja kuliah-kuliah di Cornell itu berbeda dari apa yang selalu didakwahkannya ketika berada di Tanah Air. Di Indonesia, ceramah yang dilakukan Haji Agus Salim lebih sebagai pendalaman, sedangkan di Amerika Serikat ia mengenalkan Islam sebagai agama yang ramah.
Nama Haji Agus Salim cukup dikenal sebagai tokoh nasional. Namanya sering disejajarkan dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Di era pemerintahan kolonial, Haji Agus Salim bersama H.O.S. Cokroaminoto dan Abdul Muis telah berusaha meningkatkan taraf hidup kaum bumiputra melalui program-program yang dicanangkan Sarekat Islam.
Tapi tidak semua orang tahu bahwa Haji Agus Salim, selain sebagai tokoh pergerakan, juga seorang cendekiawan dan pemikir. Sebagai cendekiawan dan pemikir, ia terlibat aktif membina pemahaman keagamaan para cendekiawan berpendidikan Barat sejak tahun 1925, yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Perannya sebagai cendekiawan dan pemikir inilah yang mengantarkannya diundang oleh Cornell University.
Bagi kalangan yang telah mengenal tema-tema Islam, apa yang diutarakan Haji Agus Salim di Cornell University bukanlah sesuatu yang baru. Tapi, jika kita baca lebih lanjut, cara pandang dan mengupasnya itu yang terasa lain. Hal ini diakui Buya Ahmad Syafii Maarif. "Yang baru dan menantang adalah cara Salim menafsirkan beberapa sisi ajaran Islam yang dapat mengguncangkan tembok-tembok konservatisme," tulis Syafii dalam kata pengantarnya.
Salah satu tema yang dibahas Haji Agus Salim adalah "Al-Quran dan Kedudukan Wanita". Antara lain menyinggung soal poligami Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW berpoligami pasca-kematian Khadijah, di usianya yang sudah 51 tahun sampai wafatnya (usia 63 tahun). Motifnya macam-macam, antara lain untuk memuliakan kaum perempuan. Juga untuk menikahi perempuan ketika para sahabat tak kuasa menjadi suaminya.
Hal itu, menurut Haji Agus Salim, terjadi dalam pernikahan Nabi dengan anak Umar bin Khaththab, Hafsha. Sepeninggal suami Hafsha, Umar mendatangi para sahabanya, Abu Bakar dan Ustman, agar menikahi anak perempuannya itu. Tapi dua sahabat ini menolak. Penolakan dua sahabat itu, menurut Haji Agus Salim, lebih karena Hafsha adalah anak Umar yang punya sifat-sifat yang sama dengan ayahnya: garang dan keras kepala.
Lalu datanglah Umar kepada Nabi Muhammad SAW dan mengadukan perihal anak perempuannya itu. Mendengar keluhan itu, Nabi Muhammad SAW pun menikahi Hafsha. "Dan, Anda boleh yakin bahwa putri Umar itu banyak membuat onar dalam rumah tangga Nabi. Bahkan beberapa kali ia berhasil menghasut istri-istri lainnya untuk mengajukan tuntutan kepada Nabi Muhammad SAW," tulis Haji Agus Salim (halaman 304).
Haji Agus Salim sampai pada kesimpulan seperti itu setelah mendalami faktor keturunan dan merujuk pada surah Al-Ahzab (33) ayat 28. Inilah salah satu keberanian Haji Agus Salim dalam mengurai dan menyimpulkan sebuah peristiwa.
Akhirnya, meski kuliah-kuliah tokoh berjuluk "the grand old man" itu berlangsung 58 tahun lalu, baik tema maupun kajiannya tetap menarik dinikmati dan memberi inspirasi bagi pembacanya. Sebab cara pandang Hji Agus Salim telah melampaui zamannya. Bahkan, setelah setengah abad lebih, tetap saja tak tergoyahkan.
Herry Mohammad