Pembangunan Inklusif: Prospek dan Tantangan Indonesia
Pembangunan Inklusif: Prospek dan Tantangan Indonesia
Editor: A. Prasetyantoko, Setyo Budiantoro, dan Sugeng Bahagijo
Penerbit: LP3ES, Jakarta, Maret 2012, xviii + 456 halaman
Data CIA The World Factbook menyebutkan, pada 2010 dan 2011 produk domestik bruto (PDB) Indonesia ada pada kisaran 6,1%-6,4%. Jika diterjemahkan menjadi angka, persentase itu mencapai US$ 706,56 milyar. Karena itulah, Indonesia kemudian ditetapkan sebagai salah dari 15 negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
Ironi muncul ketika penetapan membanggakan itu dijabarkan lebih lanjut. Usai membahas puja-puji terkait Indonesia, situs yang sama kemudian mengungkapkan borok-borok ekonomi yang masih kental di Bumi Pertiwi ini. Situs dinas intelijen Amerika Serikat itu lantas mendaftar sederet kebobrokan: kemiskinan, pengangguran, buruknya infrastruktur, korupsi, kerumitan birokrasi, dan seterusnya.
Ironi itu ternyata telah lama diamati LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Pengamatan ini lalu menumbuhkan kegalauan tersendiri atas arah pembangunan dalam negeri. Dan, kegalauan itulah yang kemudian membuahkan buku ini.
Setidaknya ada 12 peneliti ekonomi yang menyumbangkan pemikirannya dan menuangkannya dalam 10 tulisan dalam buku ini. Melengkapi pemaparan mereka, disertakan hasil penelitian terhadap kelas menengah Indonesia yang digarap pakar ilmu-ilmu sosial dari Utrecht University, Monique Kremer.
Dalam pengantarnya, pakar ekonomi pertanian H.S. Dillon menyatakan, sejak pembangunan dimulai pada masa Orde Baru hingga sekarang, belum terjadi transformasi ekonomi yang sebenarnya. Pertumbuhan ekonomi makro disebutnya sebagai "deretan angka menghibur". Padahal, secara kasatmata, kemiskinan masih nyata terlihat. Apalah arti pertumbuhan ekonomi yang fantastis bila hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmatinya.
Pada bagian awal buku ini terungkap seputar paradoks ekonomi Indonesia. Tergambar jelas bagaimana hilangnya titik temu antara kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial. Paradoks yang dibedah adalah dari sisi sektor keuangan yang terkait dengan kebijakan moneter dan perbankan serta sisi sektor riil (ekonomi industri).
Ada bagian lain dari buku ini yang mengulik dan merekonstruksi ketimpangan ekonomi Indonesia. Dampak langsung paradoks yang dijabarkan tulisan sebelumnya dapat kita telusuri lebih mendalam di sini. Dilengkapi dengan grafik indeks Gini (salah satu variabel yang digunakan untuk mengukur timpang-tidaknya distribusi pengeluaran atau pendapatan antartingkat kelompok masyarakat), pemahaman pembaca pun menjadi semakin utuh.
Tak kalah menariknya adalah bagian yang khusus berbicara tentang pajak dan dana pembangunan. Satu adagium kuno menyebutkan bahwa hanya dua hal yang pasti dalam hidup ini, yakni kematian dan pajak. Sedemikian pentingnya pajak dalam mempengaruhi ekonomi makro dan mikro. Dilanjutkan dengan penyajian data terkait dengan aliran dana pembangunan: berapa uang masuk negara, berapa utang negara, hingga ke mana saja dana digunakan. Adanya dikotomi antara pembangunan ekonomi dan non-ekonomi juga dibeberkan dengan gamblang.
Khusus mengenai desentralisasi diberi titik tekan sebagai catatan umum. Berbagai dampak desentralisasi dan otonomi daerah berkaitan dengan pelayanan publik yang telah berjalan selama ini mendapat sorotan. Diberi catatan umum karena memang yang dipaparkan adalah masalah-masalah yang umum dihadapi daerah dalam menerapkan otonomi di wilayah desentralisasi pelayanan publik.
Buku ini patut mendapat apresiasi. Ia mampu dengan cerdas mengaitkan ide tulisan yang satu dengan yang lain. Kesinambungan dengan judul dan konsistensi tema nyata terlihat. Ketiga editor mampu menyusun porsi tulisan dengan pas, sehingga pembaca dapat memahami secara menyeluruh seluk-beluk pembangunan negeri ini dahulu, kini, dan esok.
Flora Libra Yanti Barus
Editor: A. Prasetyantoko, Setyo Budiantoro, dan Sugeng Bahagijo
Penerbit: LP3ES, Jakarta, Maret 2012, xviii + 456 halaman
Data CIA The World Factbook menyebutkan, pada 2010 dan 2011 produk domestik bruto (PDB) Indonesia ada pada kisaran 6,1%-6,4%. Jika diterjemahkan menjadi angka, persentase itu mencapai US$ 706,56 milyar. Karena itulah, Indonesia kemudian ditetapkan sebagai salah dari 15 negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
Ironi muncul ketika penetapan membanggakan itu dijabarkan lebih lanjut. Usai membahas puja-puji terkait Indonesia, situs yang sama kemudian mengungkapkan borok-borok ekonomi yang masih kental di Bumi Pertiwi ini. Situs dinas intelijen Amerika Serikat itu lantas mendaftar sederet kebobrokan: kemiskinan, pengangguran, buruknya infrastruktur, korupsi, kerumitan birokrasi, dan seterusnya.
Ironi itu ternyata telah lama diamati LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Pengamatan ini lalu menumbuhkan kegalauan tersendiri atas arah pembangunan dalam negeri. Dan, kegalauan itulah yang kemudian membuahkan buku ini.
Setidaknya ada 12 peneliti ekonomi yang menyumbangkan pemikirannya dan menuangkannya dalam 10 tulisan dalam buku ini. Melengkapi pemaparan mereka, disertakan hasil penelitian terhadap kelas menengah Indonesia yang digarap pakar ilmu-ilmu sosial dari Utrecht University, Monique Kremer.
Dalam pengantarnya, pakar ekonomi pertanian H.S. Dillon menyatakan, sejak pembangunan dimulai pada masa Orde Baru hingga sekarang, belum terjadi transformasi ekonomi yang sebenarnya. Pertumbuhan ekonomi makro disebutnya sebagai "deretan angka menghibur". Padahal, secara kasatmata, kemiskinan masih nyata terlihat. Apalah arti pertumbuhan ekonomi yang fantastis bila hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmatinya.
Dengan kesadaran itulah buku ini kemudian disusun. Para penulis menilai, kini tiba saatnya menerapkan "pembangunan inklusif" atau "pembangunan untuk semua". Dengan kata lain, pembangunan yang digalakkan selama ini sudah saatnya menyentuh tataran akar rumput. Bukan malah menjadikan rakyat kebanyakan sebagai tumbal atas nama pembangunan.
Pada bagian awal buku ini terungkap seputar paradoks ekonomi Indonesia. Tergambar jelas bagaimana hilangnya titik temu antara kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial. Paradoks yang dibedah adalah dari sisi sektor keuangan yang terkait dengan kebijakan moneter dan perbankan serta sisi sektor riil (ekonomi industri).
Ada bagian lain dari buku ini yang mengulik dan merekonstruksi ketimpangan ekonomi Indonesia. Dampak langsung paradoks yang dijabarkan tulisan sebelumnya dapat kita telusuri lebih mendalam di sini. Dilengkapi dengan grafik indeks Gini (salah satu variabel yang digunakan untuk mengukur timpang-tidaknya distribusi pengeluaran atau pendapatan antartingkat kelompok masyarakat), pemahaman pembaca pun menjadi semakin utuh.
Tak kalah menariknya adalah bagian yang khusus berbicara tentang pajak dan dana pembangunan. Satu adagium kuno menyebutkan bahwa hanya dua hal yang pasti dalam hidup ini, yakni kematian dan pajak. Sedemikian pentingnya pajak dalam mempengaruhi ekonomi makro dan mikro. Dilanjutkan dengan penyajian data terkait dengan aliran dana pembangunan: berapa uang masuk negara, berapa utang negara, hingga ke mana saja dana digunakan. Adanya dikotomi antara pembangunan ekonomi dan non-ekonomi juga dibeberkan dengan gamblang.
Khusus mengenai desentralisasi diberi titik tekan sebagai catatan umum. Berbagai dampak desentralisasi dan otonomi daerah berkaitan dengan pelayanan publik yang telah berjalan selama ini mendapat sorotan. Diberi catatan umum karena memang yang dipaparkan adalah masalah-masalah yang umum dihadapi daerah dalam menerapkan otonomi di wilayah desentralisasi pelayanan publik.
Buku ini patut mendapat apresiasi. Ia mampu dengan cerdas mengaitkan ide tulisan yang satu dengan yang lain. Kesinambungan dengan judul dan konsistensi tema nyata terlihat. Ketiga editor mampu menyusun porsi tulisan dengan pas, sehingga pembaca dapat memahami secara menyeluruh seluk-beluk pembangunan negeri ini dahulu, kini, dan esok.
Flora Libra Yanti Barus