Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masa Depan Islam, Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Peradaban dengan Barat

Masa Depan Islam, Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Peradaban dengan Barat
Penulis: John L. Esposito
Penerbit: Mizan, Bandung, Desember 2010, 343 halaman

Survei di Eropa yang dilakukan Pew Global Project pada 2006 menunjukkan, sebanyak 87% warga Belanda berpendapat, "Islam condong pada kekerasan." Di Prancis, warga yang setuju dengan pendapat itu mencapai 87%, sedangkan di Inggris mencapai 63%. Jajak pendapat sejenis oleh Washington Post/ABC News pada tahun yang sama juga menyimpulkan, hampir separuh penduduk Amerika berpandangan negatif tentang Islam.

Padahal, kesimpulan polling Gallup yang dipublikasikan pada 2008, dengan sampel 35 negara berpenduduk mayoritas muslim, sudah sangat jelas. Disebutkan bahwa 93% muslim di dunia atau sekitar 1,2 milyar orang meyakini, terorisme atau menewaskan orang yang tak berdosa bertentangan dengan ajaran Islam.

Mengapa masih terjadi kesalahpahaman seperti itu? Jawabannya muncul di buku terbaru John L. Esposito ini. Ia mengulas kembali topik itu dalam kuliah umum berjudul "Multikulturalisme dan Identitas Baru di Dunia yang Berubah" di kampus Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Politik Universitas Indonesia, 8 Januari lalu.

Menurut Esposito, satu dari sekian sebab minimnya informasi yang benar tentang Islam adalah pembungkaman. Banyak media Barat sengaja memilih menyiarkan berita dengan fokus pada kekerasan yang dilakukan kaum muslim dan mengabaikan aspek toleransi dalam Islam. Kredo yang berlaku adalah no fights, no story.

Sekadar contoh, liputan tentang sekelompok kecil warga Palestina yang berpesta di jalan dan menyoraki tragedi WTC sebagai balasan atas politik Amerika di Timur Tengah. Peristiwa ini disiarkan berulang kali di berbagai stasiun TV besar. Sedangkan fakta bahwa sebanyak 358 pekerja muslim juga tewas pada tragedi WTC kurang disorot (halaman 59).

Kondisi itu diperparah dengan kenyataan bahwa para akademisi yang berpandangan negatif tentang Islam justru menempati posisi strategis di pemerintahan. Bernard Lewis, misalnya. Islamolog yang berpendapat "hukum Islam merendahkan wanita" itu menjadi penasihat urusan agama Islam dalam pemerintahan George W. Bush (halaman 53).

Bahkan, menurut Esposito, ketika majalah Time edisi Agustus 2010 menurunkan laporan utama berjudul "Is Amerika Islamophobic?", publik Amerika mulai mendiskusikan secara terbuka apakah mereka memang Islamofobia. "Sebelumnya, istilah Islamofobia tidak populer. Yang populer adalah istilah anti-Semit, yang biasanya berarti anti-Yahudi," katanya.

Di Eropa, menurut Esposito, Islam tidak hanya menghadapi pemberitaan negatif, melainkan juga persoalan perubahan komposisi penduduk. Pasalnya, pada saat ini perkembangan Islam di Eropa sangat pesat. Imigran dari negara-negara mayoritas muslim terus berdatangan dan mengenalkan Islam kepada warga lokal.

Sepanjang tahun 2010, misalnya, warga Inggris yang beralih memeluk Islam mencapai 5.200 orang. Mereka rata-rata berusia muda, yakni 27 tahun. Total, dalam 10 tahun, jumlah muslim di Eropa melonjak dari 12 juta menjadi 20 juta (halaman 53).

Lonjakan muslim di Eropa itu juga berdampak pada perubahan tata kota. Di Distrik Neukolln, Berlin, misalnya, yang berpenduduk sekitar 300.000 jiwa, sekitar 65% di antaranya adalah muslim. Konsentrasi muslim di satu distrik sampai-sampai memunculkan istilah muslim ghetto. Fenomena ghetto juga dapat dijumpai di kota Malmo (Swedia), kawasan luar Paris, Belanda, dan di beberapa kota di Inggris.

Esposito menjelaskan, ghetto-isasi muslim itu sebenarnya hal yang lumrah. Para imigran Katolik yang tiba di Amerika, termasuk keluarganya yang asal Italia, awalnya melakukan hal serupa. Namun, dalam hal ghetto-isasi muslim itu, persoalan muncul karena ghetto-ghetto muslim itu kerap dicurigai sebagai sarang berkembang biaknya pandangan Islam radikal.

Bagi warga asli Eropa, keberadaan imigran yang terus bertambah itu dan luasnya persepsi negatif tentang Islam membuat hal ini menjadi ancaman. Berbagai prediksi bahwa Eropa akan berubah menjadi "Eurabia" akibat gelombang imigran muslim kini sangat populer.

Selain isu imigran di Eropa, buku ini juga memuat sejumlah kritik mengenai dunia Islam. Kegagalan para pemimpin dunia Arab menunjukkan partisipasi signifikan dalam konflik Israel-Palestina, bahkan cenderung lebih akomodatif pada kepentingan Amerika, membuat mayoritas muslim makin meyakini Islam sebagai ideologi politik alternatif (halaman 138).

Demonstrasi dan kemarahan warga Arab atas invasi Israel ke Gaza pada 2008, dengan demikian, sebenarnya tidak hanya ditujukan kepada Israel-Amerika, melainkan juga mencerminkan kemarahan terhadap para pemimpin mereka sendiri. Karena itu, tantangan Islam di Barat sebenarnya memiliki dua sisi.

Bagi Barat, tantangannya adalah lepas dari prasangka Islamofobia dan memandang Islam lebih objektif. Sedangkan bagi dunia Islam, terutama di Arab, tantangan terbesar masih berkisar pada soal perubahan sosial dan politik. Yakni bagaimana sistem sosial dan politik di negara-negara mayoritas muslim bisa memajukan warga negara, sebagaimana diinginkan Islam itu sendiri.

Basfin Siregar