Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut

Judul: Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut
Penulis: Daniel Perret
Penerbit: KPG, 2010
Tebal: 448 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong
Indonesia boleh dibilang "ladang" subur bagi para antropolog untuk melakukan kajian. Keberagaman kelompok etnis di negeri ini, dengan karakter masing-masing, selalu tampak seksi untuk penelitian etnologi ataupun etnografi. Bahkan tak jarang kajian terhadap satu kelompok etnis dilakukan lewat pendekatan berbeda oleh beberapa pakar. Termasuk telaah tentang akulturasi etnik Batak dan Melayu.

Selama ini, kajian terhadap etnis Batak dan Melayu yang mendiami sebagai wilayah di Sumatera Utara telah dilakukan belasan pakar dalam dan luar negeri. Daniel Perret termasuk satu dari sekian banyak antropolog yang memusatkan perhatian pada kelompok etnis ini. Lewat kajian selama empat tahun, ia menulis buku yang aslinya berbahasa Prancis ini.

Berbeda dari kajian-kajian yang pernah ada, di sini Perret menggunakan pendekatan sejarah untuk meneliti etnisitas dan identitas etnis Batak dan Melayu. Terutama di wilayah kajiannya yang mencakup wilayah timur laut Sumatera Utara. Ia, antara lain, mencoba menelusuri seberapa jauh kolonialisme memberi pengaruh terhadap identitas etnis di kawasan itu.

Menarik, karena dari penelusurannya, Perret menemukan jejak pengaruh besar pemerintah kolonial Belanda terhadap pola hubungan dan akulturasi dua kelompok penyandang budaya itu. Batak di satu pihak dan Melayu di pihak lain, dengan ciri khas bahasa, pakaian, dan adat istiadat masing-masing. Proses akulturasi itu berjalan seiring dengan pengembangan perkebunan-perkebunan di daerah pesisir timur, khususnya Deli sebagai lokasi utama penelitian.

Perret berpandangan, munculnya perkebunan-perkebunan itu membawa inovasi dalam hal ketenagakerjaan: sistem gaji dan migrasi semipermanen. Dahulu jaringan perdagangan hasil hutan didasarkan pada migrasi sementara. Setelah muncul perkebunan, para pekerja yang umumnya pendatang mulai menetap di tempat tinggal bersama. Belakangan, para pekerja perkebunan itu diisi orang Batak dari daerah pedalaman sisi utara Danau Toba, karena para pekebun kesulitan mendapatkan tenaga kerja murah.

Tenaga kerja tidak hanya didatangkan dari pedalaman sampai dataran tinggi, melainkan juga dari kawasan yang bedekatan di sisi selatan dan timur Danau Toba. Jalur kedatangan mereka lazimnya melalui Asahan. Diperkirakan, para pekerja ini mulai berada di Deli pada awal abad ke-19. Keberadaan mereka yang kemudian kian banyak mendahului para kuli Tionghoa yang didatangkan dari Semenanjung Melayu.

Ihwal istilah Batak sendiri sebenarnya terdapat dua pandangan yang berbeda. Ada pakar yang menyebut istilah itu sebagai ciptaan penjajah berdasarkan rujukan teks Belanda. Pakar lain meyakini, istilah itu asli berasal dari masyarakat setempat --setidaknya orang Karo dan Simalungun. Perret rupanya lebih berpegang pada pendapat pertama dan melihat istilah Batak berkonotasi merendahkan --sebutan orang luar bagi orang pedalaman yang beradat kasar.

Menurut Perret, seiring dengan proses Islamisasi pesisir timur Sumatera Utara, juga berlangsung proses akulturasi yang ditandai dengan pengambilan identitas Melayu. Proses seperti itu juga dialami orang-orang Batak yang bermigrasi ke pesisir sebagai pekerja perkebunan. Mereka mengadopsi identitas Melayu, antara lain dengan memeluk agama Islam, agar tidak lagi rendah atau direndahkan.

Proses Islamisasi itu juga meluas hingga ke dataran tinggi di utara Danau Toba yang dibawa para perantau di pesisir yang mengislamkan keluarganya. Perkembangan ini cukup mencemaskan pemerintah jajahan. Walhasil, mereka pun menempuh kebijakan yang menghalangi dakwah di daerah yang telah dikristenkan dan larangan mengangkat warga muslim sebagai pegawai pemerintah setempat.

Kecemasan pemerintah jajahan atas perkembangan Islam di pedalaman Sumatera Utara itu memang cukup beralasan. Terutama dalam kaitannya dengan pengalaman pahit dalam Perang Aceh. Pengaruh Aceh sebagai pusat penyebaran Islam yang terus bergerak masuk wilayah Batak dinilai mengancam kolonialisasi. Itu sebabnya, pemerintah jajahan merasa perlu mengintensifkan Kristenisasi di tanah Batak.

Lewat buku ini, Perret memperlihatkan betapa kepentingan luar turut memberi warna dan pengaruh besar pada proses akulturasi kelompok etnis Batak. Lebih dari itu, pembatasan wilayah dan penyebaran agama yang dilakukan penjajah menguatkan identitas kebatakan mereka pula.

Erwin Y. Salim