Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keliling Indonesia Dari Era Bung Karno Sampai SBY

Keliling Indonesia Dari Era Bung Karno Sampai SBY
Penulis: Gerson Poyk
Penerbit: Penerbit Libri, Jakarta, 2010, 308 halaman

Senja nan membara. Itulah julukan yang pas buat Gerson Poyk. Meskipun usianya menjelang 80 tahun pada 16 Juni nanti, Gerson masih tetap menunjukkan spirit jurnalistik yang lebih. Sentuhan kemanusiaan menjadi pembeda utama esai-esainya dengan tulisan karya orang lain. Ia dengan lugas dan total berusaha menggali sisi-sisi humanistik atas beragam peristiwa yang dialaminya.

Di mata Gerson, sejumlah detail yang sering dilupakan orang justru menjadi kekuatan. Ketika meliput wisuda Para di Bandung, semua wartawan sibuk dengan pidato Bung Karno. Siapa sih pada waktu itu orang yang tidak butuh untaian kata-kata ideologis Presiden Soekarno, sang Panglima Besar Revolusi. Gerson justru tidak tertarik dan melihatnya sebagai hal biasa.

Laporan untuk Sinar Harapan, koran tempatnya bekerja, justru Gerson isi dengan atraksi terjun bebas para prajurit RPKAD dengan parasut dari balik ketinggian awan tebal. Ternyata hanya Gerson yang menyuguhkan laporan panjang terjun payung dengan foto-fotonya. Kejelian, cara berpikir, dan sejumlah kenakalan Gerson itulah yang akan kita tangkap jika menyimak lembar demi lembar buku yang diberi subjudul "Catatan Perjalanan Wartawan Nekat" ini.

Tapi, apakah kerja wartawan mesti nekat untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dan memenuhi hasrat publik akan berita yang berimbang dan berpihak pada kebenaran? Tidak juga. Jika jeli membaca 55 judul esai perjalanan Gerson, tampak sekali kekuatan Gerson. Ia tidak terlalu nekat juga. Julukan yang pas buat mantan guru kelahiran Ba'a, Rote, Nusa Tenggara Timur, ini adalah banyak akal.

Ketika nyali ciut untuk menuliskan kisah pengusaha barang elektronik di Jalan Kartini, Jakarta Pusat, yang rumahnya akan dirampas, Gerson tidak putus akal. Untuk melawan oknum jaksa dan polisi yang telah menjadi serigala bagi kaumnya, ia memilih cerita bersambung. Maka, diungkapkanlah ketidakadilan itu dalam cerita bersambung (cerber) berjudul Perjalanan ke Republik Nyai Roro Kidul.

Nama para tokoh pelaku pun ditulis terbalik. Bagi Gerson, hukum telah diputarbalikkan. Kliping cerber itu akhirnya ada di tangan seorang hakim. Terbongkarlah aksi para serigala itu, dan rumah pun kembali menjadi milik pengusaha itu. Kisah-kisah humanistik yang Gerson angkat dengan intonasi dan aksentuasi berbeda hampir tersaji di setiap esainya.

Satu lagi keisengan Gerson yang sulit hilang, yakni selalu tertarik pada wanita cantik di sela-sela reportasenya. Kekaguman dan pujiannya dilontarkan tanpa sungkan. Itulah intermeso khas Gerson. Membaca buku ini, pembaca tidak saja diantar untuk mengunjungi sejumlah tempat di Nusantara yang unik.

Seperti sebuah perjalanan di lorong sejarah, pembaca juga akan diajak naik mesin waktu. Dari moda ini, pembaca dapat menyaksikan Indonesia dari era presiden pertama hingga presiden yang kini berkuasa. Dari serentetan jejak historis yang terekam, kadang muncul sosok-sosok penting, setengah penting, dan tidak penting sama sekali.

Hal-hal brengsek tampaknya selalu muncul kapan pun dan di mana pun di sejumlah pelosok negeri ini. Gerson berhasil mengungkapkannya dengan kejernihan jurnalis sekaligus sastrawan. Muncul kekonyolan, persahabatan, paradoks, pengkhianatan, keterbelakangan, keberagaman, kemunafikan, dan ketulusan dari sosok-sosok pribadi yang ditulis Gerson. Itulah salah satu kekuatan buku ini.

Bagi yang akrab dengan karya-karya Gerson, esai-esai terbarunya ini bisa menjadi bingkai yang memberi konteks pada beberapa novel dan kumpulan cerpen sebelumnya.

G.A. Guritno