Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Empat Esai Etika Politik

Empat Esai Etika Politik
Penulis: F. Budi Hardiman, dkk.
Penerbit: srimulyani.net dan Komunitas Salihara, Februari 2011, xxiv+120 halaman

Dunia politik negeri ini diramaikan politisi yang berebut kekuasaan dan sumber daya ekonomi yang ditempuh lewat cara-cara koruptif. Partai politik menjadi lembaga pencetak politisi yang pandai mencari celah melakukan korupsi. DPR tidak lagi menjadi rumah rakyat, melainkan kumpulan bandit yang menggerogoti kekayaan negara.

Pentas demokrasi hanya berjalan di ranah prosedural untuk melegitimasi peralihan kepemimpinan yang korup ke kepemimpinan yang juga korup. Hubungan para politisi di lembaga legislatif tampak seperti hubungan "permusuhan" yang saling mengintai dan saling menjatuhkan.

Kita melihat politisi berbicara layaknya preman jalanan, dan itu bisa dilihat secara langsung oleh rakyat melalui televisi. Politisi tidak lagi menjadi teladan bagi rakyat yang telah memilihnya. Meski ada juga politisi santun, tapi jumlahnya (sangat) sedikit.

Substansi politik akhirnya berjalan pada tataran permukaan dan pencitraan. Rakyat, dalam sistem demokrasi yang kita anut, sejatinya adalah pemilik kedaulatan tertinggi yang diwakilkan oleh mereka yang duduk di lembaga legislatif. Kesejahteraan rakyat adalah panggung politk yang mesti diperjuangkan oleh para wakil rakyat di DPR.

Yang absen dari dunia politik kita adalah etika politik pada diri para politisi. Baik etika antarpolitisi maupun etika politisi dengan rakyat. Buku ini hadir untuk memberi pencerahan bagaimana seharusnya para politisi bersikap kepada rakyat. Bagus Takwin di pengantar buku ini cukup cerdik membawa kita masuk pada pemikiran etika politik yang membuat kita mendapat bekal pengetahuan untuk memahami menu utama yang ditulis para koleganya, sesama pemikir filsafat.

Ada empat filsuf politik --Juergen Habermas, Jacques Ranciere, Albert Camus, dan Emanuel Levinas-- yang pikirannya dipakai sebagai acuan untuk menjelaskan etika politik. Menyimak pemikiran empat tokoh itu, kita akan melihat betapa para politisi kita jauh dari idealitas yang dibangun para pemikir politik.

Budi Hardiman hadir dengan mengusung ide ruang publik ala Juergen Habermas. Ruang publik sejatinya menjadi ruang dialogis bagi anggota legislatif dan rakyat dan menjadi syarat bagi proses pendewasaan demokrasi. Kini kita melihat anggota DPR dan rakyat sangat jarang bertemu secara fisik di ruang publik.

Robertus Robert mengulas kesetaraan radikal Ranciere yang menohok kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang masih hidup dalam kondisi faksionalisme dan sektarianisme kelompok. Di tengah multikulturalisme purba dan tantangan bagi Indonesia di zaman kontemporer, kesetaraan radikal menjadi niscaya untuk diinternalisasikan pada jiwa politik masyarakat negeri ini.

Setyo Wibowo membawa kita menjelajahi pemikiran Camus tentang tindakan dan tanggung jawab politik. Tindakan yang mendasarkan pada kemanusiaan, bukan tindakan yang beralas pada nilai abstrak (agama dan ideologi), sehingga tindakan politik tidak bebas nilai. Wibowo mengulas novel Sampar karya Camus sebagai model tindakan politik yang bertolak dari nilai abstrak manusia.

Terakhir, Thomas Hidya Tjaya mengajak kita berpikir tentang wajah bersama Levinas. Baginya, pertemuan sejati antarmanusia adalah pertemuan wajah dengan wajah. Ini yang juga hilang dari para politisi kita, di mana mereka menemui konstituennya lewat poster, televisi, tulisan yang sarat kamuflase dan pencitraan.

Para politisi yang tak belajar etika politik akan menghadirkan pentas politik yang invalid (cacat). Ketika para politisi telah memiliki etika, politik sebagai cara untuk mencapai highest good (kebaikan utama) akan tercapai. Namun, skeptisisme muncul karena politik dan etika politik seolah berdiri di dua kutub berbeda. Ini yang membuat Bagus Takwin bertanya-tanya, dapatkah para politisi memiliki bekal etika sehingga politik tidak invalid?

Kendati begitu, secuil optimisme mesti ditumbuhkan di dada anak bangsa yang berniat menjadi politisi. Karena itu, agar politik berjalan normal, tidak invalid, diperlukan peran pemerintah, lembaga pendidikan, partai politik, dan masyarakat sendiri sebagai entitas yang melahirkan apa yang disebut politik.

Junaidi Abdul Munif
Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang