Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Dialog Peradaban Untuk Toleransi dan Perdamaian

Judul: Dialog Peradaban Untuk Toleransi dan Perdamaian
Penyunting: The Wahid Institute dan Soka Gakkai Indonesia
Penerbit: Gramedia, 2010
Tebal: 337 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong

Sejatinya, perkenalan mereka telah "terjalin" selama puluhan tahun. Gus Dur mengenalnya lewat buku dialog Ikeda dengan sejarawan Arnold J. Toynbee yang terbit sekitar tahun 1975. Sedangkan Daisaku Ikeda "mengenal" Abdurrahman Wahid sebagai tokoh moderat dari organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.

Perkenalan secara fisik mereka baru berlangsung pada 2002, ketika Gus Dur pergi ke Jepang untuk menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Soka, Tokyo. Sejak itulah, terjalin hubungan dan percakapan cukup intens di antara dua tokoh yang mewakili budaya dan peradaban masing-masing itu.

Menarik, karena Ikeda yang memang gemar berdialog dengan banyak tokoh dunia itu ternyata merekam seluruh percakapannya dengan Gus Dur. Dalam dialog ini, tampak jelas bahwa Ikeda mewakili pemikiran dan tradisi penganut Buddha Nichiren. Di lain pihak, Gus Dur mewakili tradisi Islam moderat Indonesia. Mereka bicara panjang lebar tentang titik-titik persamaan di antara kedua tradisi dengan praktek ajaran yang berbeda itu.

Sejatinya, percakapan dua tokoh itu bukan sekadar dialog peradaban, melainkan juga menyinggung perspektif yang jauh lebih luas. Mereka bicara tentang seni, sastra, sejarah, simbol kebudayaan, bahkan pemikiran filsafati. Tentu tak terhindarkan, mereka juga bicara ihwal pribadi dan pengalaman masing-masing.

Lebih dari itu, tercermin pula dialog keagamaan yang mendalam. Terutama dalam kerangka perdamaian umat manusia. Sebagaimana dirumuskan filsuf eksistensialis Jerman, Martin Buber, dialog keagamaan baru mungkin dilakukan bila ada saling keterbukaan jiwa dan pikiran serta hubungan perasaan yang mendalam. Dan itulah yang dilakukan kedua tokoh ini: sama-sama membuka diri dan pikiran mereka untuk saling memahami.

Tengok saja. Di tengah dialog mereka, Gus Dur bertutur tentang riwayat Nabi Muhammad SAW dan mengutip ayat Al-Quran yang menjelaskan hal itu. Dalam tanggapannya, Ikeda tampak sekali berusaha memahami riwayat sang Nabi beserta ajarannya. Demikian pula sebaliknya, ketika Ikeda membeberkan kisah Buddha Sakyamuni, Gus Dur mencoba terus menggali ajaran pembawa agama Buddha itu.

Dari yang mereka kisahkan, orang dapat menemukan adanya titik-titik persamaan pengalaman Nabi Muhammad dan Buddha Sakyamuni. Keduanya sama-sama melakukan perenungan mendalam terhadap langit, bumi, dan seisinya. Perenungan mendalam terhadap hakikat kehidupan. Pada akhir proses perenungan itu, kalau Nabi Muhammad kemudian menerima wahyu selama lebih dari 20 tahun, Buddha kemudian sampai pada titik pencerahan.

Dalam tataran hakikat beragama, Gus Dur dan Ikeda sama-sama menyepakati sejumlah hal. Satu di antaranya, Islam dan Buddha merupakan agama yang terbuka bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang perbedaan suku, ras, warna kulit, ataupun status di masyarakat. Dalam praktek kehidupan beragama pun, baik Islam maupun Buddha sama-sama melarang pembedaan perlakuan terhadap penganut agama lain.

Dalam dialog mereka yang panjang ini, segera terlihat bahwa Ikeda dan Gus Dur sama-sama memiliki perbendaharaan yang teramat luas. Ikeda mengetahui banyak tentang Islam, peradaban dan sejarahnya. Gus Dur pun tak kalah banyak memahami Buddha dengan berbagai aspeknya. Dengan demikian, dialog lintas agama dan peradaban ini terasa sangat berisi.

Seperti diungkapkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sambutannya, buku ini memberi banyak perspektif baru tentang aspek kesamaan di antara kedua agama yang sangat penting untuk membangun perdamaian global. Dengan mengutamakan aspek kesamaan, tumbuh sikap saling menenggang dan hormat-menghormati antarpemeluk agama.

Terlebih untuk bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan agama. Tampaknya bangsa ini harus banyak belajar dari dialog yang dilakukan Ikeda dengan Gus Dur ini. Bukan apa-apa, belakangan semangat toleransi pada banyak elemen masyarakat tampak kian memudar. Tanpa toleransi dan sikap saling menghormati, niscaya perdamaian tak akan pernah bisa terwujud.

Erwin Y. Salim