Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Dahsyatnya Lobi Israel

Judul: Dahsyatnya Lobi Israel
Penulis: John J. Mearsheimer & Stephen M. Walt
Penerbit: Gramedia, 2010
Tebal: 752 halaman
Order: WA 085225918312

Ada sejumlah pertanyaan terkait dengan politik kawasan Timur Tengah. Antara lain, mengapa pergolakan di kawasan itu tak kunjung reda? Mengapa masalah "terorisme" yang bersumber dari kawasan itu terus-menerus menghantui dunia internasional? Mengapa Amerika Serikat begitu tak berdaya menghadapi rezim Israel?

Masih hangat dalam ingatan kita ketika Presiden Barack Obama melontarkan ide tentang perbatasan Palestina-Israel sebelum perang 1967 sebagai landasan utama perdamaian Timur Tengah. Visi Obama yang tergolong "berani" untuk berbeda pendapat dengan Israel itu cukup mengagetkan dunia, tapi mendapat respons positif dari masyarakat internasional.

Namun, apa yang terjadi kemudian? Hanya kurang dari 24 jam, setelah "dikuliahi" Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, Obama dipaksa menelan ludahnya sendiri. Obama menarik kembali visinya tentang perbatasan Palestina-Israel sebelum perang 1967. Mengapa begitu digdaya seorang PM Israel di depan seorang Presiden Amerika Serikat?

Amerika Serikat, kita tahu, adalah negara "adikuasa" dalam segala hal. Ekonomi, politik, militer, dan lain-lain. Hampir semua negara di dunia --dari Eropa sampai Cina dan Rusia-- dibuat bertekuk lutut di hadapannya. Namun Amerika justru dibuat tak berdaya oleh sebuah negara kecil bernama Israel. Sampai-sampai ada seloroh, bukan Israel yang menjadi "boneka" Amerika, melainkan sebaliknya, Amerika-lah yang menjadi "boneka" Israel.

Dua ilmuwan politik internasional asal Amerika, John J. Mearsheimer dari Universitas Chicago dan Prof. Stephen M. Walt dari Universitas Harvard, berusaha membongkar apa yang terjadi di balik kekuatan lobi Israel di Amerika. Lewat karyanya yang spektakuler ini, mereka berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Padahal, selama ini, "... lebih sulit bagi orang Amerika untuk berbicara secara terbuka soal lobi Israel" (halaman 16).

Cukup menarik apa yang ditulis Mearsheimer dan Walt. Antara lain karena mereka berhasil membuktikan secara akademis dan ilmiah tentang peran lobi Israel di pentas politik Amerika yang selama ini hanya dianggap sebagai mitos. Dalam menjalankan operasinya, menurut mereka, lobi Israel tak segan-segan mengorbankan kepentingan nasional Amerika dan (bahkan) negara Israel sendiri.

"Keakraban hubungan Amerika Serikat dengan Israel telah memudahkan Israel mencuri rahasia-rahasia Amerika, dan negara itu tidak ragu sedikit pun ketika melakukannya," tulis mereka (halaman 120). Israel, menurut mereka, juga melakukan kegiatan mata-mata yang ekstensif terhadap Amerika (halaman 119).

Tapi, apa sebenarnya yang melatarbelakangi hubungan istimewa antara Amerika Serikat dan Israel itu? Menurut dua penulis itu, ada beberapa hal. Antara lain, "Israel sering digambarkan sebagai sebuah negara yang lemah dan terkepung oleh musuh-musuh yang kuat, seperti Daud Yahudi yang dikepung oleh pasukan raksasa Goliath Arab" (halaman 127).

Kedua, "Solidaritas dengan Israel adalah sebuah ciri yang diterima oleh pandangan umum Amerika Serikat. Karena rakyat Amerika pro-Israel, Pemerintah Amerika Serikat juga pro-Israel. Dan karena orang Amerika sangat mendukung Israel dalam konfliknya dengan bangsa-bangsa Arab, kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah terfokus ke pembelaan Israel" (halaman 169). Dan ketiga, "Bagi berjuta-juta warga Amerika keturunan Yahudi, kritik terhadap Israel dianggap lebih buruk daripada menikah dengan orang tidak seiman" (halaman 193).

Jika Anda seorang calon (untuk suatu jabatan baik legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif) dan Anda memperoleh label pro-Israel dari AIPAC (American Israel Public Affairs Committee, lobi Israel terkuat di Amerika), dana akan mengalir dari para penyumbang di seluruh negeri (halaman 246). Bahkan, "Setiap kali ada penggalangan dana politik besar di negeri ini (Amerika Serikat), Anda akan menemukan warga Amerika keturunan Yahudi memainkan peran yang siginifikan" (halaman 258).

Menurut Walt dan Mearsheimer, selama tiga dasawarsa, AIPAC membantu banyak calon (pejabat publik) sukses memenangkan pemilihan mereka dan mendepak sejumlah orang yang dianggap tidak bersahabat dengan Israel (halaman 247).

Begitu dekatnya hubungan Amerika Serikat-Israel, sampai-sampai "tokoh-tokoh Yahudi Amerika sesungguhnya punya perasaan sangat mendalam bahwa kepentingan-kepentingan Amerika dan Israel adalah satu dan sama" (halaman 232). Tidak mengherankan jika dalam setiap konferensi perdamaian Palestina-Israel yang disponsori Amerika, delegasi Palestina sering mengajukan protes karena "berunding melawan dua tim Israel, tapi yang satu mengibarkan bendera Israel sedangkan yang lain mengibarkan bendera Amerika Serikat" (halaman 263).

Lalu, adakah keterkaitan lobi Israel dengan terorisme? Menurut kedua penulis, kedekatan para petinggi Amerika dengan terorisme justru menjadi sumber utama maraknya gerakan terorisme internasional. "Kebijakan mendukung Israel yang begitu besar ternyata membantu mengobarkan masalah terorisme" (halaman 22) serta "dukungan Amerika kepada Israel telah mengobarkan terorisme anti-Amerika (dan) akan mengharuskan mereka mengakui bahwa dukungan tanpa syarat kepada Israel sungguh menimbulkan kerugian yang tidak sedikit di pihak Amerika" (halaman 101).

Sebuah jajak pendapat majalah Newsweek yang dilakukan setelah serangan 11 September 2001 menemukan, 58% responden percaya bahwa dukungan Amerika kepada Israel merupakan penyebab Osama bin Laden memutuskan menyerang Amerika (halaman 171).

Buku ini menjadi sangat penting dan layak dibaca para peminat studi hubungan internasional, khususnya yang ingin mendalami kawasan Timur Tengah, termasuk kalangan media massa. Sebab, selain menjadi buku pertama yang mengkaji secara ilmiah dan akademis tentang sepak terjang lobi Israel di Amerika, buku ini juga berhasil mengurai benang kusut perpolitikan di kawasan itu.

Riza Sihbudi
Profesor riset LIPI dan mantan diplomat
Chat WhatsApp