Abal-abal Produk Cina
Abal-abal Produk Cina
Penulis: Paul Midler
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta, Agustus 2010, 415 halaman
Sejumlah mainan anak bikinan Cina pernah bikin heboh beberapa negeri pada tahun lalu. Produk itu diperkirakan mengandung racun yang menyebabkan sejumlah anak terpaksa masuk rumah sakit karena muntah-muntah. Malah, di dalam negerinya sendiri, Cina pernah menghadapi kasus susu bermelamin yang menyebabkan penarikan besar-besaran produk itu di sejumlah negara.
Apa yang salah dengan produk Cina? Pada produk mainan itu ditemukan sejenis zat kimia untuk menambah kelenturan yang berbahaya bagi kesehatan. Teliti punya teliti, ternyata masalahnya adalah pada siklus produksi di sana yang pendek dan lemahnya pengawasan produk. Selain untuk alasan produksi massal, itu diperlukan untuk menekan harga.
Pabrikan Cina punya alasan untuk menepis tudingan miring soal produknya itu. Menurut mereka, kasus-kasus seperti itu tak dapat dihindari. Masalah seperti itu akan muncul seiring dengan peningkatan jumlah produksi. Setidaknya dalam kurun waktu yang tak terlalu lama. Jawaban seperti itu secara tersirat diungkapkan Paul Midler dalam buku yang aslinya berjudul Poorly Made In China ini.
Melihat Cina kini, kita jadi teringat ketika produk murah Jepang membanjiri negeri ini pada 1970-an dan memukul pasar barang sejenis bikinan Eropa dan Amerika. Dalam produk manufaktur, misalnya, produk bikinan Eropa dan Amerika terkenal dengan keawetannya. Jepang menyalipnya dengan cara memperpendek umur pakai hingga lima tahun saja, yang berarti menurunkan kualitas untuk menekan biaya produksi.
Boleh jadi, dengan meniru siasat Jepang, Cina melakukan hal serupa untuk merebut pasar bagi produk-produknya. Menurut pengamatan Midler, pabrik di Cina memang terbiasa membuat produk di bawah standar, dengan siklus produksi yang sangat pendek. Umur pakai produk itu pun lebih singkat dibandingkan dengan produk Jepang. Seperti dilakukan Jepang dahulu, mereka punya pasar sendiri untuk barang-barang yang berkualitas rendah itu.
Ada dua faktor lain yang sangat menentukan. Pertama adalah kemampuan pabrik-pabrik di Cina meniru produk apa pun dalam waktu singkat. Mereka hanya membutuhkan contoh produk luar, lalu sesegera itu pula mereka mampu membuat tiruannya. Kedua, negeri itu menyediakan sarana dan prasarana yang menyenangkan bagi para investor dan importir asing.
Dari pengalamannya selama beberapa tahun membantu perusahaan Amerika dan Eropa berkiprah di Cina, ia menyimpulkan, segala sesuatunya serba dipermudah. Hambatan masuk bagi orang asing yang mau berbisnis di sana dikurangi. Untuk berbisnis di Cina, tidak diperlukan surat izin ataupun sertifikat khusus. Pabrik Cina tidak mewajibkan tes atau kualifikasi. Bahkan para pedagang berdatangan hanya dengan visa turis yang dengan mudah diperpanjang.
Yang lebih menarik adalah peran dan dukungan pemerintah untuk membesarkan dunia industri dan perdagangannya. Pemerintah Cina, menurut Midler, benar-benar ikut berperan melanggengkan pasar barang palsu. Mereka tak peduli dengan masalah property rights dan memasarkan produk-produknya ke negara yang juga tak memasalahkan hak kekayaan intelektual.
Para pejabat Cina tahu persis, walaupun banyak yang menggugat pembajakan produk itu, konsumen tetap menyukai barang seperti itu. Mereka juga tahu persis, banyak importir senang berbisnis dengan berbagai kemudahan dan kenyamanan yang sudah dikondisikan. Malah Milder sampai pada kesimpulan, Cina adalah tempat paling aman di dunia bagi pebisnis asing.
Di luar cerita negatif yang terungkap, banyak hal dalam buku ini yang dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga oleh pemerintah dan pengambil kebijakan di negeri ini. Cina menempuh kebijakan yang sangat komprehensif untuk memajukan industri dan perdagangannya. Bahkan pemerintahnya amat memperhatikan hal yang detail untuk menarik dan membuat nyaman para pebisnis asing.
Erwin Y. Salim
Penulis: Paul Midler
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta, Agustus 2010, 415 halaman
Sejumlah mainan anak bikinan Cina pernah bikin heboh beberapa negeri pada tahun lalu. Produk itu diperkirakan mengandung racun yang menyebabkan sejumlah anak terpaksa masuk rumah sakit karena muntah-muntah. Malah, di dalam negerinya sendiri, Cina pernah menghadapi kasus susu bermelamin yang menyebabkan penarikan besar-besaran produk itu di sejumlah negara.
Apa yang salah dengan produk Cina? Pada produk mainan itu ditemukan sejenis zat kimia untuk menambah kelenturan yang berbahaya bagi kesehatan. Teliti punya teliti, ternyata masalahnya adalah pada siklus produksi di sana yang pendek dan lemahnya pengawasan produk. Selain untuk alasan produksi massal, itu diperlukan untuk menekan harga.
Pabrikan Cina punya alasan untuk menepis tudingan miring soal produknya itu. Menurut mereka, kasus-kasus seperti itu tak dapat dihindari. Masalah seperti itu akan muncul seiring dengan peningkatan jumlah produksi. Setidaknya dalam kurun waktu yang tak terlalu lama. Jawaban seperti itu secara tersirat diungkapkan Paul Midler dalam buku yang aslinya berjudul Poorly Made In China ini.
Melihat Cina kini, kita jadi teringat ketika produk murah Jepang membanjiri negeri ini pada 1970-an dan memukul pasar barang sejenis bikinan Eropa dan Amerika. Dalam produk manufaktur, misalnya, produk bikinan Eropa dan Amerika terkenal dengan keawetannya. Jepang menyalipnya dengan cara memperpendek umur pakai hingga lima tahun saja, yang berarti menurunkan kualitas untuk menekan biaya produksi.
Boleh jadi, dengan meniru siasat Jepang, Cina melakukan hal serupa untuk merebut pasar bagi produk-produknya. Menurut pengamatan Midler, pabrik di Cina memang terbiasa membuat produk di bawah standar, dengan siklus produksi yang sangat pendek. Umur pakai produk itu pun lebih singkat dibandingkan dengan produk Jepang. Seperti dilakukan Jepang dahulu, mereka punya pasar sendiri untuk barang-barang yang berkualitas rendah itu.
Lewat penjelajahan ke ratusan pabrik di Cina, Midler menemukan sejumlah hal di dunia manufaktur Cina yang menarik disimak. Bagi produsen asing, Cina selama ini punya daya tarik amat kuat sebagai tempat untuk berinvestasi. Menarik, menurut dia, bukan sekadar karena alasan klasik biaya tenaga kerja yang murah dan mudah. Sebab tenaga kerja yang murah pun tersedia di banyak negara lain.
Ada dua faktor lain yang sangat menentukan. Pertama adalah kemampuan pabrik-pabrik di Cina meniru produk apa pun dalam waktu singkat. Mereka hanya membutuhkan contoh produk luar, lalu sesegera itu pula mereka mampu membuat tiruannya. Kedua, negeri itu menyediakan sarana dan prasarana yang menyenangkan bagi para investor dan importir asing.
Dari pengalamannya selama beberapa tahun membantu perusahaan Amerika dan Eropa berkiprah di Cina, ia menyimpulkan, segala sesuatunya serba dipermudah. Hambatan masuk bagi orang asing yang mau berbisnis di sana dikurangi. Untuk berbisnis di Cina, tidak diperlukan surat izin ataupun sertifikat khusus. Pabrik Cina tidak mewajibkan tes atau kualifikasi. Bahkan para pedagang berdatangan hanya dengan visa turis yang dengan mudah diperpanjang.
Yang lebih menarik adalah peran dan dukungan pemerintah untuk membesarkan dunia industri dan perdagangannya. Pemerintah Cina, menurut Midler, benar-benar ikut berperan melanggengkan pasar barang palsu. Mereka tak peduli dengan masalah property rights dan memasarkan produk-produknya ke negara yang juga tak memasalahkan hak kekayaan intelektual.
Para pejabat Cina tahu persis, walaupun banyak yang menggugat pembajakan produk itu, konsumen tetap menyukai barang seperti itu. Mereka juga tahu persis, banyak importir senang berbisnis dengan berbagai kemudahan dan kenyamanan yang sudah dikondisikan. Malah Milder sampai pada kesimpulan, Cina adalah tempat paling aman di dunia bagi pebisnis asing.
Di luar cerita negatif yang terungkap, banyak hal dalam buku ini yang dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga oleh pemerintah dan pengambil kebijakan di negeri ini. Cina menempuh kebijakan yang sangat komprehensif untuk memajukan industri dan perdagangannya. Bahkan pemerintahnya amat memperhatikan hal yang detail untuk menarik dan membuat nyaman para pebisnis asing.
Erwin Y. Salim