Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rihlah Ilmiah Wan Mohd. Nor Wan Daud dari Neomodernisme Ke Islamisasi Ilmu Kontemporer

Rihlah Ilmiah Wan Mohd. Nor Wan Daud dari Neomodernisme Ke Islamisasi Ilmu Kontemporer
Editor dan pewawancara: Dr. Adian Husaini
Penerbit: Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM), bekerja sama dengan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Jakarta, 2012, 474 + viii halaman

Menimba ilmu --juga pengalaman-- dari cendekiawan punya nilai tersendiri. Cendekiawan yang punya nama di berbagai negara tentulah pengalamannya juga mendunia. Dalam konteks inilah kita memahami buku terbaru tentang Wan Mohd. Nor Wan Daud, cendekiawan asal Tanah Merah, Negeri Kelantan, Malaysia.

Buku yang digagas dan dieditori Adian Husaini ini menggali kisah hidup dan perjalanan intelektual yang berlabuh di hilir pemikiran sebagai ajang pengabdian yang ditekuninya. Wan Mohd. Nor Wan Daud adalah guru besar bidang pemikiran pendidikan Islam, yang juga seorang penyair. Ia murid Fazlur Rahman ketika menimba ilmu untuk S-3 di The University of Chicago, Amerika Serikat. Dari Indonesia, Ahmad Syafii Maarif dan Nurcholish Madjid (almarhum) adalah dua nama yang sempat menjadi murid Fazlur Rahman.

Menamatkan S-3 pada 1986, dua tahun kemudian, bersama Syed Muhammad Naquib al-Attas, ia ikut mendirikan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Kini Wan Mohd. Nor mengepalai Center for Advanced Studies on Islam di Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM). Perjalanan intelektual sang tokoh tergali secara detail dalam buku ini. Dilengkapi dokumen-dokumen penunjang, juga foto-foto dalam berbagai aktivitas, baik di Malaysia maupun di luar Malaysia.

Sebagai cendekiawan, Wan Mohd. Nor telah menulis sedikitnya 16 buku, dari filsafat, bahasa, sampai puisi. Buku dan makalah yang lahir dari buah pikirannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Turki, Jepang, Persia, Rusia, Bosnia, Arab, dan Makedonia.

Dalam perjalanan intelektualnya, Wan Mohd. Nor berguru secara formal kepada Fazlur Rahman, cendekiawan asal Pakistan yang menggagas penerjemahan Al-Quran secara hermeneutika. Hermeneutika sendiri bisa didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran atas suatu naskah. Tumbuh dan berkembang dalam tradisi Barat yang sekuler setelah abad ke-16 untuk mengkritisi Bibel.

Ketika metode mengkritisi Bibel diterapkan dalam menafsirkan Al-Quran, di situlah muncul persoalan. Al-Quran adalah kalam Ilahi. Maka, ada hal-hal yang sudah terang benderang, ada hal-hal yang masih samar, bahkan ada yang hanya bisa diterima dengan keimanan penuh. Dari sini saja ada metode tersendiri untuk memahami dan mengimaninya. Karena itu, ketika filsafat hermeneutika diterapkan untuk menafsirkan Al-Quran, bisa terjadi penyimpangan yang jauh dari maksud ayat-ayat suci itu.

Di sisi lain, Al-Attas, yang menjadi guru informal Wan Mohd. Nor, adalah penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan. Lalu, ke mana sang murid berkiblat? Kepada Fazlur Rahman, Wan Mohd. Nor sangat menghormatinya. Tapi ia berbeda dari sang guru, bahkan berada di garda depan dalam mengkritisi filsafat hermeneutika. Sang murid bersepakat dengan guru informalnya, Al-Attas: mengembangkan konsep-konsep tentang Islamisasi ilmu pengetahuan.

Islamisasi ilmu berkaitan dengan bagaimana seseorang menyikapi suatu ilmu dengan sudut pandang nilai-nilai agama dan menjaga adab (etika) hubungan antara guru dan murid. Dan itulah yang sedang dilakoni Wan Mohd. Nor: mengkritisi pemikiran sang guru, tapi tetap menghormatinya.

Nilai-nilai itulah yang mesti dihidupkan para penuntut ilmu, agar keberkahannya tidak lenyap ditelan kecongkakan yang mungkin mendera.

Herry Mohammad