Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah
Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah
Penyunting: Lukman Hakiem & Mohammad Noer
Penerbit: Republika, 2011
Tebal: 662 halaman
Stok Kosong
Terkisah, Belanda berhasil melumpuhkan pemerintahan di Yogyakarta lewat Agresi Militer II pada Desember 1948. Dwitunggal Soekarno-Hatta yang memimpin negeri dan sejumlah tokoh lainnya ditangkap. Belanda lalu melancarkan propaganda bahwa Republik Indonesia sudah mati.
Dari pedalaman Sumatera Barat, Sjafruddin Prawiranegara segera bertindak. Ia mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Perjuangannya selama lebih-kurang tujuh bulan berhasil membuktikan eksistensi Indonesia di mata dunia. Tapi bicara tentang sosok Sjafruddin sama dengan membincangkan tokoh kontroversial. Namanya mencuat bukan hanya sebagai Ketua PDRI.
Ia juga dikenal karena kebijakan moneter yang ditempuhnya pada saat menjabat sebagai Menteri Keuangan yang dikenal dengan "Gunting Sjafruddin". Kontroversi pada dirinya muncul setelah ia tampil sebagai Perdana Menteri Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia yang dicap sebagai gerakan separatis. Dalam konteks itulah buku ini dihadirkan.
Tak kurang dari 44 tokoh menuliskan pandangan dan analisisnya tentang kiprah sejarah Sjafruddin Prawiranegara. Terbagi dalam enam tema besar, tampak benar peran besar Pak Sjaf --begitu dahulu ia akrab disapa-- dalam lintasan sejarah Indonesia. Suatu peran yang boleh jadi hingga kini dilupakan atau hilang dari ingatan kolektif bangsa ini, karena ia selalu di pihak yang kalah dalam rentang sejarah Indonesia sejak 1958.
Tak bisa dimungkiri, memang, pada satu masa Pak Sjaf dan kawan-kawan dianggap sebagai duri dalam daging oleh penguasa, baik pada zaman Soekarno maupun era Soeharto. Di masa Orde Lama, Pak Sjaf dituding menghamparkan lembaran hitam dalam sejarah bangsa. Selama Orde Baru, ia masuk dalam kelompok yang kritis terhadap pemerintah.
Memang diakui, Pak Sjaf mendukung Dewan Perjuangan yang digerakkan sekelompok pemimpin militer. Dari situ kemudian terbentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan ia duduk sebagai perdana menterinya. Lewat PRRI, ia dicap memimpin gerakan separatis. Itulah noda hitam yang kemudian membuat nama dan perannya seperti "dilenyapkan" dari sejarah Indonesia.
Tapi, sebagaimana disepakati para tokoh dalam buku ini, PRRI yang dipimpin Pak Sjaf bukanlah gerakan separatis dan bukan pula pemberontak. Seperti analisis pakar kemiliteran Salim Said, PRRI merupakan ide alternatif terhadap gagasan Bung Karno. Para tokohnya mau melaksanakan Pancasila secara lebih benar. "Antara lain tercermin dalam tuntutan mereka supaya PKI dibubarkan," tulis dia (halaman 207).
Dengan istilah lain, A.M. Fatwa menyebut gagasan yang diusung PRRI melampaui zamannya. Diperlukan waktu hingga tujuh tahun untuk pembubaran PKI yang sedari awal ditolak oleh PRRI. Demikian pula gagasan tentang keterwakilan daerah, otonomi daerah, dan perimbangan keuangan pusat-daerah baru mulai terwujud setelah lebih dari 40 tahun kemudian.
Menurut catatan Adnan Buyung Nasution, keterlibatan Pak Sjaf dalam PRRI bukan untuk agresi militer melawan pemerintah pusat. Tidak pula gerakan separatis untuk memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia. Upayanya merupakan political pressure terhadap Bung Karno agar mendengarkan aspirasi daerah yang menginginkan kembalinya pemerintahan dwitunggal Soekarno-Hatta.
Setelah Orde Lama tumbang, nama Sjafruddin tetap tidak direhabilitasi. Ia tetap dipandang sebagai duri dalam daging karena sikapnya yang konsisten mengoreksi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pemerintah. Koreksinya yang paling kencang terhadap pemerintahan Soeharto adalah seputar maraknya korupsi dan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal.
Benarlah kata penulis kulit hitam Alexander Murray Palmer Haley, sejarah hanyalah milik mereka yang menang. Untuk yang kalah, seperti Sjafruddin, namanya hanya terdengar samar dan peran besarnya untuk negeri dipandang sebagai catatan kecil dalam buku sejarah. Sudah saatnya cap "pemimpin kelompok separatis" dan pemberontak terhadap kekuasaan yang sah pada diri Pak Sjaf dan PRRI dihilangkan dari ingatan kolektif bangsa ini.
Erwin Y. Salim
Penyunting: Lukman Hakiem & Mohammad Noer
Penerbit: Republika, 2011
Tebal: 662 halaman
Stok Kosong
Terkisah, Belanda berhasil melumpuhkan pemerintahan di Yogyakarta lewat Agresi Militer II pada Desember 1948. Dwitunggal Soekarno-Hatta yang memimpin negeri dan sejumlah tokoh lainnya ditangkap. Belanda lalu melancarkan propaganda bahwa Republik Indonesia sudah mati.
Dari pedalaman Sumatera Barat, Sjafruddin Prawiranegara segera bertindak. Ia mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Perjuangannya selama lebih-kurang tujuh bulan berhasil membuktikan eksistensi Indonesia di mata dunia. Tapi bicara tentang sosok Sjafruddin sama dengan membincangkan tokoh kontroversial. Namanya mencuat bukan hanya sebagai Ketua PDRI.
Ia juga dikenal karena kebijakan moneter yang ditempuhnya pada saat menjabat sebagai Menteri Keuangan yang dikenal dengan "Gunting Sjafruddin". Kontroversi pada dirinya muncul setelah ia tampil sebagai Perdana Menteri Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia yang dicap sebagai gerakan separatis. Dalam konteks itulah buku ini dihadirkan.
Tak kurang dari 44 tokoh menuliskan pandangan dan analisisnya tentang kiprah sejarah Sjafruddin Prawiranegara. Terbagi dalam enam tema besar, tampak benar peran besar Pak Sjaf --begitu dahulu ia akrab disapa-- dalam lintasan sejarah Indonesia. Suatu peran yang boleh jadi hingga kini dilupakan atau hilang dari ingatan kolektif bangsa ini, karena ia selalu di pihak yang kalah dalam rentang sejarah Indonesia sejak 1958.
Tak bisa dimungkiri, memang, pada satu masa Pak Sjaf dan kawan-kawan dianggap sebagai duri dalam daging oleh penguasa, baik pada zaman Soekarno maupun era Soeharto. Di masa Orde Lama, Pak Sjaf dituding menghamparkan lembaran hitam dalam sejarah bangsa. Selama Orde Baru, ia masuk dalam kelompok yang kritis terhadap pemerintah.
Memang diakui, Pak Sjaf mendukung Dewan Perjuangan yang digerakkan sekelompok pemimpin militer. Dari situ kemudian terbentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan ia duduk sebagai perdana menterinya. Lewat PRRI, ia dicap memimpin gerakan separatis. Itulah noda hitam yang kemudian membuat nama dan perannya seperti "dilenyapkan" dari sejarah Indonesia.
Tapi, sebagaimana disepakati para tokoh dalam buku ini, PRRI yang dipimpin Pak Sjaf bukanlah gerakan separatis dan bukan pula pemberontak. Seperti analisis pakar kemiliteran Salim Said, PRRI merupakan ide alternatif terhadap gagasan Bung Karno. Para tokohnya mau melaksanakan Pancasila secara lebih benar. "Antara lain tercermin dalam tuntutan mereka supaya PKI dibubarkan," tulis dia (halaman 207).
Dengan istilah lain, A.M. Fatwa menyebut gagasan yang diusung PRRI melampaui zamannya. Diperlukan waktu hingga tujuh tahun untuk pembubaran PKI yang sedari awal ditolak oleh PRRI. Demikian pula gagasan tentang keterwakilan daerah, otonomi daerah, dan perimbangan keuangan pusat-daerah baru mulai terwujud setelah lebih dari 40 tahun kemudian.
Menurut catatan Adnan Buyung Nasution, keterlibatan Pak Sjaf dalam PRRI bukan untuk agresi militer melawan pemerintah pusat. Tidak pula gerakan separatis untuk memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia. Upayanya merupakan political pressure terhadap Bung Karno agar mendengarkan aspirasi daerah yang menginginkan kembalinya pemerintahan dwitunggal Soekarno-Hatta.
Setelah Orde Lama tumbang, nama Sjafruddin tetap tidak direhabilitasi. Ia tetap dipandang sebagai duri dalam daging karena sikapnya yang konsisten mengoreksi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pemerintah. Koreksinya yang paling kencang terhadap pemerintahan Soeharto adalah seputar maraknya korupsi dan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal.
Benarlah kata penulis kulit hitam Alexander Murray Palmer Haley, sejarah hanyalah milik mereka yang menang. Untuk yang kalah, seperti Sjafruddin, namanya hanya terdengar samar dan peran besarnya untuk negeri dipandang sebagai catatan kecil dalam buku sejarah. Sudah saatnya cap "pemimpin kelompok separatis" dan pemberontak terhadap kekuasaan yang sah pada diri Pak Sjaf dan PRRI dihilangkan dari ingatan kolektif bangsa ini.
Erwin Y. Salim