Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Virus" Entrepreneurship Kyai

"Virus" Entrepreneurship Kyai
Penulis: Muhammad Ridlo Zarkasyi
Penerbit: Rene Book, Jakarta, November 2011, xxvi + 206 halaman

Siapa tak kenal Pondok Modern Darussalam di Ponorogo. Pesantren yang lebih dikenal dengan nama Pondok Gontor itu telah melahirkan sejumlah tokoh nasional. Sebut saja Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Demikian pula mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasim Muzadi. Lantas mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Hidayat Nurwahid.

Tak cuma itu. Diam-diam pesantren itu juga ikut mencetak pengusaha-pengusaha tangguh. Sebut saja nama Suhaili Kalla, adik mantan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla. Tersebut juga nama Herman Kamal, yang belakangan menjadi manajer operasional sekaligus penasihat hukum karaoke keluarga Inul Vista, milik penyanyi kondang Inul Daratista. Dan banyak lagi nama dari kalangan pengusaha menengah-kecil, terutama di bidang agrobisnis, dalam daftar alumni Gontor.

Kumpulan prinsip dan wejangan KH Imam Zarkasyi yang ada dalam buku ini, boleh jadi, merupakan roh pendorong para alumnus Gontor yang sukses itu. Wejangan yang lebih merupakan tuntunan moral-etika ini seolah memberi motivasi kepada para santri untuk hidup mandiri, kreatif, punya integritas, dan bermanfaat bagi orang lain. Seperti kata penerbitnya, wejangan itu telah menyebar bak virus kepada murid-murid sang kiai di seantero dunia.

Ada benang merah yang mengikat ke-11 bab yang tersaji dalam buku karya putra bungsu pendiri Pondok Gontor itu. Kiai Imam Zarkasyi semasa hidupnya mendidik dan memotivasi para santrinya untuk menjadi juru dakwah sekaligus pengusaha yang mandiri. Menjadi manusia bebas, kreatif, dan tak henti-hentinya berkarya.

Menarik, karena jauh sebelum banyak motivator masa kini bicara "jangan jadi pegawai", Kiai Imam sudah mewanti-wanti soal itu. Ia, misalnya, menyatakan bahwa cita-cita sebatas menjadi pegawai itu sama saja memupuk penyakit. Sebab yang paling berbahaya dengan menjadi pegawai adalah sikap mentalnya: merasa aman secara finansial, tapi membunuh inisiatif. "Niat belajar jangan untuk menjadi pegawai saja. Pintu rezeki itu bukan hanya jadi pegawai," ujarnya, seperti dicatat sang anak.

Untuk menjadi pengusaha, Kiai Imam juga mewariskan wejangan berupa tuntunan moral bagi saudagar. Ia mendorong agar para santrinya meluruskan niat dulu sebelum mengamalkan sesuatu, termasuk bila ingin berusaha. Niat mencari rezeki, menurut dia, adalah mencari alat untuk berdakwah. "Jika niat mencari rezeki itu untuk ibadah dan dakwah, maka pasti Allah akan memberi," katanya.

Ia mengajarkan kepada para santrinya untuk mengutamakan hidup sederhana dan jangan menjadikan kekayaan sebagai tujuan. Sederhana dalam pandangannya adalah menggunakan apa yang ada dengan tidak berlebihan. "Di balik kesederhanaan terdapat jiwa besar. Rahasia sukses pejuang adalah kesederhanaan. Rahasia kehancuran perjuangan adalah hidup bermewah-mewah," ujar sang kiai.

Pondok Modern Gontor didirikan tiga tokoh kakak-beradik yang dijuluki Trimurti. Mereka adalah KH Imam Zarkasyi sendiri dan dua kakaknya, KH Ahmad Sahal dan KH Zainuddin Fananie. Setelah menimba ilmu di sejumlah pesantren dan belajar kepada sejumlah kiai, Kiai Imam merantau ke Padangpanjang, Sumatera Barat, untuk mengenyam pendidikan guru. Sempat dipercaya menjadi direktur sekolah guru tersebut, ia akhirnya terpanggil untuk mengembangkan Pesantren Gontor bersama sang kakak.

Sepulang dari Padangpanjang, pada 1936 Kiai Imam dipercaya menjadi direktur pesantren warisan ayahnya, Kiai Santoso Anom Besari, itu. Sejak itu pula ia memperkenalkan pendidikan gaya baru yang diberi nama Kulliyatul Mualamin al-Islamiyah (KMI). Ia pun menulis sejumlah buku yang hingga kini masih digunakan di pesantren itu.

Penyusunan secara sistematis 11 bab buku ini amat membantu kita memahami prinsip hidup Kiai Imam yang memang terkenal zuhud itu. Isinya amat bermanfaat bukan saja sebagai pegangan hidup para santri, melainkan juga khalayak umum. Apalagi, di zaman "serba-benda" dan segala sesuatunya diukur dengan kebendaan seperti sekarang ini, wejangan Kiai Imam terasa seperti siraman air yang sungguh menyejukkan.

Erwin Y. Salim