Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia

Judul: Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia
Editor: Eric Sasono
Penerbit: Rumah Film, 2011
Tebal: 374 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312

Sampai Agustus 2010, dari tujuh gugus pulau besar di Indonesia, Papua adalah satu-satunya pulau yang tak punya bioskop. Padahal, di Jawa terdapat 121 bioskop, 48 di antaranya di Jakarta. Data yang bersumber dari publikasi majalah Delta Film No. 4 Tahun I, 31 Agustus 2010, itu ditampilkan dalam bentuk tabel informatif di buku ini.

Tabel itu muncul di Bab V, halaman 316, dalam pembahasan mengenai subsektor ekshibisi yang mengetengahkan bioskop sebagai faktor utama dalam pemasaran film. Variabel yang digunakan adalah "Keadaan Bioskop di Indonesia Tahun 2010" untuk memetakan ketimpangan persebaran bioskop berdasarkan provinsi di Indonesia. Berdasarkan tabel tersebut, diketahui jumlah bioskop di Indonesia pada saat itu mencapai 160.

Dalam kurun waktu yang berdekatan dengan itu, Badan Perimbangan Perfilman Nasional menyebutkan, jumlah bioskop di Indonesia mencapai 157, sedangkan Gabungan Pengusaha Bisokop Indonesia menyebut 146 bioskop dan Direktorat Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (sekarang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) mensinyalir ada 167 bioskop.

Meski selisih jumlah itu tidak terlalu banyak, simpang siurnya data soal jumlah bioskop tersebut adalah contoh sederhana tentang lemahnya tradisi pencatatan atau arsip untuk mendukung penelitian seputar pemetaan industri film di Indonesia.

Beranjak dari kondisi semacam itu, yang dilakukan Perkumpulan Rumah Film, bekerja sama dengan Yayasan Tifa, dalam menerbitkan buku Menjegal Film Indonesia ini patut disambut dengan hangat. Buku ini merupakan hasil penelitian dengan metodologi analisis deskriptif.

Selama delapan bulan, Eric Sasono, Ekky Imanjaya, Hikmat Darmawan, dan Ifan Adriansyah Ismail mengumpulkan dan menganalisis sumber data primer berupa kebijakan di bidang perfilman dari masa ke masa dan melakukan wawancara dengan para pelaku perfilman Indonesia. Juga menelusuri data sekunder, berupa literatur, dari terbitan media massa hingga buku serta kajian-kajian tentang perfilman Indonesia dan dunia.

Buku yang diluncurkan pada 20 Desember 2011 ini disebut editornya, Eric Sasono, sebagai upaya pemetaan tahap awal atas persoalan ekonomi politik dalam industri film Indonesia. Fokusnya ada pada tiga subsektor, yakni produksi, distribusi, dan ekshibisi. Masing-masing subsektor diidentifikasi berdasarkan variabel-variabel turunan yang identifikatif dan dilengkapi dengan tabel-tabel yang informatif.

Tiga subsektor itu ditelusuri melewati beberapa fase penting dalam sejarah film Indonesia. Sebagian besar dimulai dari era Orde Baru. Fase-fase tersebut, antara lain, fase bebas atau era AMPAI (American Motion Picture Association of Indonesia), fase tata niaga (1967-1985), fase transisi (1985-1991), fase status quo/monopoli (dimulai pada 1992), dan fase "kiwari" dengan rentang tahun yang berbeda-beda pada masing-masing subsektor.

Selain menampilkan kembali data sejarah dari berbagai sumber pelaku film dan literatur, di buku ini tim peneliti memberi sumbangan menarik dalam menganalisis data kontemporer, dan banyak di antaranya lantas dituangkan dalam wujud tabel. Terutama tabel-tabel yang menghiasi subsektor produksi.

Misalnya tabel Nomor 21 tentang "Pola Pendanaan Film Indonesia" (halaman 149) dan tabel Nomor 27 tentang "Studio Pasca-Produksi Luar Negeri yang Dipakai Sineas Indonesia 1998-2009". Meski ada juga tabel yang isinya terasa kurang utuh lantaran variabelnya tidak dilengkapi dengan indikator, misalnya tabel Nomor 26 tentang "Pengembangan Produk Film di Indonesia (1998-2010) dan Tingkat Risiko" (halaman 176).

Tabel sebagai anasir paling "visual" dalam buku ini (untuk membedakannya dari paparan teks deskriptif dan analitis serta di antara kenyataan tiadanya foto ilustrasi sebagai pemanis) kian mempermudah pembaca dalam membaca peta "awal" menuju jawaban permulaan atas pertanyaan: apa, siapa, kapan, mengapa, dan bagaimana menjegal film Indonesia?

Bambang Sulistiyo