Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Membuka Pintu Langit: Momentum Mengevaluasi Perilaku

Judul: Membuka Pintu Langit: Momentum Mengevaluasi Perilaku
Penulis: A. Mustofa Bisri
Penerbit: Kompas
Tebal: 216 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong
Sebagai seorang kiai, Gus Mus, begitu A. Mustofa Bisri akrab dipanggil, cukup dikenal dan dijadikan sebagai teladan. Sebagai seorang budayawan, namanya tak perlu diragukan lagi. Sebagai seorang penulis, tulisan-tulisannya bernas, mengajak mengintrospeksi diri, tanpa harus menyalah-nyalahkan orang lain. Piawai dan jenaka, begitulah buah karya tulis yang lahir dari pikiran-pikirannya.

Di kalangan budayawan Indonesia, Gus Mus termasuk makhluk langka: budayawan yang lahir dari dunia pesantren, menjadi kiai dan berkhidmad di pesantren, tapi tetap berhubungan dengan dunia luar. Ia melihat dan mengkritisi persoalan dengan kacamata pesantren: santun dan selalu mengajak berkaca diri!

Tugas seorang cendekiawan, menurut Soedjatmoko, adalah bagaikan seseorang yang mengingatkan orang lain dengan menggunakan kerikil-kerikil kecil. Ia mengingatkan seseorang atau suatu lembaga dengan cara melempar kerikil-kerikil kecil itu. Kerikil yang berasal dari batu kali itu, jika dilempar, akan terasa, tapi tidak benar-benar menyakiti. Itulah yang terlihat --dan terasa-- dari karya Gus Mus yang terdiri dari lima bab dan 50 item, dari "Bahasa Geram" sampai "Syukuran Idul Fitri", ini.

Tatkala menyoroti dakwah yang dilakukan sebagian umat Islam yang memakai jubah atau gamis, dan berlaku kasar lagi keras dalam aktivitasnya ''memerangi'' kemaksiatan, Gus Mus menulis, ''... kita tidak bisa mengerti bila ada umat Nabi Muhammad SAW berlaku kasar, keras, dan kejam. Ataukah mereka tidak mengenal pemimpin agung mereka yang berbudi, lemah-lembut dan menyenangkan; atau mereka punya panutan lain dengan doktrin lain'' (halaman 13).

Ketika menyoal perilaku jamaah haji yang hendak mabrur sendiri tanpa mau menyadari bahwa orang lain juga punya keinginan untuk sampai pada derajat haji mabrur, Gus Mus melukiskannya dengan amat piawai, ''Lihatlah mereka yang berebut mencium Hajar Aswad. Apakah sebenarnya yang mendorong mereka begitu bersemangat? Apakah mereka ingin mencari rida Allah atau untuk menyenangkan diri sendiri? Kalau untuk mencari rida Allah, mengapa tega menyikut hamba-hamba-Nya yang lain yang notabene saudara mereka sendiri? Tak ada ietsaar, semangat mendahulukan saudaranya sama sekali --sesuatu yang mirip dengan kehidupan umumnya kaum muslimin. Tak peduli dengan --apalagi mendahulukan saudaranya'' (halaman 17).

Gus Mus juga menyoroti tentang pers Indonesia seputar penamaan kiai khos di kalangan umat nahdliyyin. ''Agaknya, pers menyadari benar kekuatan dan kekuasaannya dalam membentuk opini masyarakat atau publik ini. Tetapi anehnya, kok sepertinya tidak menyadari begitu pentingnya peran pers dalam mendukung kepentingan masyarakat banyak: mencerdaskan dan menyuguhkan informasi yang jernih. Ini tampak dari belum adanya upaya yang serius dari kalangan pers untuk mendidik atau mendorong wartawan-wartawannya guna menjaga akurasi dan obyektivitas berita."

"Dalam contoh informasi tentang kiai tadi, misalnya, sudah pernahkah kalangan pers melakukan studi yang agak cermat tentang kiai-kiai yang mereka sebut kiai-kiai khos tersebut? Bahkan, bertanya kepada orang yang tahu dari kalangan kiai tentang istilah kiai khos itu juga sepertinya tidak merasa perlu'' (halaman 49).

Kritik Gus Mus tandas, bernas, dan berasa jenakanya. Ia melempar kerikil-kerikil kecil, terkena sasarannya, tapi tidak sampai menyakiti. Ia mencubit seseorang untuk mengingatkan perilaku yang salah yang sedang dijalaninya.

Herry Mohammad