Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Harifin A. Tumpa, Pemukul Palu dari Delta Sungai Walanae

Siang itu, 27 Okober 2005, bertepatan dengan bulan Ramadan. Pimpinan Mahkamah Agung (MA) yang sedang menggelar rapat tim promosi dan mutasi (TPM) langsung bubar. Hal ini berkait dengan informasi dari Hulwani, sekretaris Ketua MA, yang menyampaikan bahwa ada anggota KPK datang dan akan menggeledah ruangan yang ada di MA. "Waktu itu rasana palu godam benar-benar memukul kami dengan sangat dahstyat," Harifin mengenang.

Namun, pimpinan MA mahfum, karena khawatir publik akan punya persepsi lain bahwa MA menyembunyikan sesuatu. Maka, tim penyidik KPK dibiarkan menggeledah tiga ruang kerja hakim. Penggeledahan itu berkait dengan kasusnya staf MA, Pono dan kawan-kawan, yang kedapatan menerima uang sebanyak Rp 5 milyar dari Harini Wijoso, pengacara Probosutedjo. Uang itu kabarnya disiapkan untuk majelis kasasi perkara yang diketuai Bagir Manan, dan beranggotakan Parman Suparman dan Usman Karim.

Itulah sepenggal drama yang mencoreng citra MA yang belum terungkap di berbagai media, terangkum dalam buku biografi Harifin A. Tumpa, Pemukul Palu dari Delta Sungai Walanae, yang didiluncurkan pada 29 Februari lalu, di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta.

Buku itu sekaligus catatan dalam memasuki masa pensiun mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa. "Cerita itu sengaja saya ungkapkan kembali untuk meluruskan apa yang terjadi di MA. Karena barangkali belum pernah terjadi di lembaga peradilan mana pun, gedung pengadilan digeledah," kata Harifin Tumpak kepada Gatra.

Buku yang terangkum dalam empat episode tersebut diterbitkan oleh Dunia Pustaka, setebal 551 halaman, itu mengupas perjalanan hidup Harifin dari masa kecil, masa remaja, hingga mempersunting Herawati Sikki, istrinya yang memberikan dua anak dan enam cucu. Buku ini juga merekam awal karier Harifin sejak menjadi pegawai negeri calon hakim di Pengadilan Tinggi Makassar, pada 1963 dengan golongan II A, hingga mencapai puncak karier sebagai Ketua MA.

Buku yang ditulis oleh Nurhadi, kepala biro hukum dan humas MA ini, mengungkap sosok Harifin yang sederhana, penuh tantangan, dan minimnya fasilitas yang didapat oleh seorang ketua MA. "Jabatan Ketua MA tidak begitu saja menghampirinya, berbagai rintangan dan strategi harus dia jalani," kata Nurhadi.

Selain buku itu, Harifin juga menerbitkan dua buku lain berjudul Menuju Peradilan yang Agung, yang berisi kumpulan tulisan sejak melakukan pelatihan hakim dan buku berjudul Menguak Roh Keadilan dalam Putusan Hakim Perdata. Di buku terakhir ini, Harifin mencoba menganalisis putusan-putusan hakim yang dibingkai dalam roh keadilan.

Dalam biografi tersebut, pembaca juga bisa mengikuti pemikiran Harifin dalam penerapan nilai keadilan dalam praktek peradilan. "Dalam buku itu saya mencoba uraikan bagaimana hakim bisa memadukan antara hukum dan keadilan," tutur pria kelahiran Soppeng, 23 Februari 1942, ini.

Dia menilai, hukum dan keadilan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena merupakan amanat UUD 1945. Dan keadilan merupakan rohnya hukum, sedangkan hukum itu landasannya keadilan. "Terkadang hakim hanya berusaha menegakkan hukum, tetapi jika hakim hanya menegakkan keadilan tanpa landasannyaa, akan terjadi tindakan tak semena-mena," katanya.

Peraih gelar doktor hukum dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini resmi menjadi Hakim Agung sejak 14 September 2004, melalui jalur karier. Dia sebelumnya menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Kariernya sebagai hakim dimulai sejak 1969 di Pengadilan Negeri (PN) Takalar, dan sebelumnya, sejak 1963, menjadi calon hakim di Pengadilan Tinggi Makassar.

Setelah malang-melintang di dunia pengadilan, pada 2001 Harifin dipercaya sebagai Wakil Ketua PT Palembang. Hanya setahun, sejak 2002-2003 ia kembali menjadi Ketua PN Palu dan Makassar. Rupanya, setelah diangkat menjadi Hakim Agung, Harifin dipercaya menjadi Ketua Muda Perdata MA, hingga terpilih sebagai Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial pada 2008.

Sebelum pensiun, Harifin sempat mengetuk palu, penolakan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh mantan ketua KPK Antasari Azhar, dalam kasus pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnain.

Apa yang dilakukannya setelah memasuki masa pensiun? ''Saya tetap mengabdi kepada masyarakat, dengan tetap mengajar,'' ujarnya dengan menyungging senyum.

Anthony Djafar