Jual Buku Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek
Penulis: Abhisam D.M., Hasriadi Ary, Miranda Harlan
Penerbit: Kata-kata, 2011
Tebal: 171 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: WA 085225918312
Akankan sejarah runtuhnya keunggulan komoditas utama Indonesia terulang? Pertanyaan ini ditujukan pada kretek, rokok asli Indonesia. Secara historis, kretek dapat bercermin pada komoditas lain, seperti minyak kelapa, gula, garam, dan jamu. Pada masa lalu, komoditas seperti kopra, gula, garam, dan jamu menjadi karya asli masyarakat yang menjadi sumber hidup pekonomian jutaan orang.
Penerbit: Kata-kata, 2011
Tebal: 171 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: WA 085225918312
Akankan sejarah runtuhnya keunggulan komoditas utama Indonesia terulang? Pertanyaan ini ditujukan pada kretek, rokok asli Indonesia. Secara historis, kretek dapat bercermin pada komoditas lain, seperti minyak kelapa, gula, garam, dan jamu. Pada masa lalu, komoditas seperti kopra, gula, garam, dan jamu menjadi karya asli masyarakat yang menjadi sumber hidup pekonomian jutaan orang.
Namun satu per satu memudar dan tergilas oleh laju buldoser kepentingan global. Minyak kelapa dari kopra, misalnya, dibunuh oleh perang anti-kelapa yang massif dilakukan negara produsen minyak nabati yang lain. Penulis buku ini dengan gamblang mendeskripsikan bagaimana kampanye anti-minyak kelapa dilakukan dari berbagai lini.
Dengan dalih bahaya kolesterol, American Soy Association meminta pemerintah mengharuskan pemasangan label peringatan di setiap produk yang mengandung minyak kelapa. Agenda dagang di balik klaim kesehatan ampuh merasuki publik, otoritas kesehatan, dan pemegang kekuasaan. Padahal, selama ribuan tahun, minyak kelapa dikonsumsi tanpa bukti efek bahaya yang berlebihan. Kini komoditas minyak kelapa digeser kelapa sawit dan minyak nabati lainnya.
Dengan modus yang lain, industri gula juga terpuruk melalui pembebasan tata niaga pertanian, salah satunya seperti dilesakkan Dana Moneter Internasional (IMF). Akibatnya, pasar gula dalam negeri dibanjiri gula impor perusahaan-perusahaan multinasional. Kasus pada industri garam yang diberangus dengan dalih garam beryodium lebih menyerupai kemalangan yang menimpa minyak kelapa.
Aktor utamnya adalah Akzo Nobel, perusahaan multinasional dengan 18 unit usaha bidang kesehatan, cat, dan kimia yang beroperasi di 80 negara. Akzo Nobel memproduksi garam beryodium sejak 1918. Empat pabriknya di Eropa dan Australia memiliki kapasitas produksi garam 2 juta ton per tahun. Dengan alasan demi kesehatan, Akzo Nobel, yang menggandeng Unicef, rajin berkampanye tentang fungsi garam beryodium.
Kampanye itu benar dan baik. Tapi membiarkan produsen garam dalam negeri tanpa bantuan modal, riset, dan kelembagaan untuk memproduksi garam beryodium sama saja dengan menaruh kelinci di sarang ular piton. Kini menjadi ironis, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia ini terpaksa mengimpor garam.
Meski belum benar-benar luluh, jamu juga sedang digempur produk-produk perusahaan farmasi modern. Industri berbahan baku tanaman obat tradisional ini telah menjadi bagian dari budaya kesehatan masyarakat. Namun, belakangan ini, khasiat jamu terus dibenturkan dan dipandang sebelah mata oleh sistem farmasi modern. Tidak adanya dukungan riset, sistem, standardisasi, dan pasar produk jamu membuat obat tradisional ini makin tersisih digempur produk farmasi modern, yang notabene hasil produksi perusahaan-perusahaan multinasional asing.
Selain jamu, komoditas genuine dan warisan budaya Indonesia yang kini makin tersudut adalah rokok kretek. Nama kretek sendiri diambil dari bunyi kretek-kretek yang muncul dari racikan cengkeh dengan tembakau yang tersulut bara. Setelah hampir seabad berjaya, ramuan yang awalnya dipakai untuk meredakan sesak di dada Hadji Djamhari itu kini --atas nama kesehatan paru-paru dan jantung-- harus dijauhi.
Di buku ini, penulis dengan jeli melemparkan fakta perjalanan tersingkirnya beberapa komoditas nasional sebelum masuk ke kretek. Buku ini juga akan menolong pembaca memahami konfigurasi dan konspirasi perusahaan multinasional memenangi pasar secara ekonomis. Pola, visi, dan misinya sederhana, yakni demi motif keuntungan dan dominasi pasar semata. Namun, untuk menjalankan ambisinya, strategi membunuh itu dibungkus dalam purwarupa dalih ilmiah.
Dogma kesehatan begitu kental, sehingga banyak orang tidak jernih lagi melihat apa yang sesungguhnya terjadi di balik persaingan rokok putih dengan rokok kretek, pencaplokan dua raksasa kretek, dan membanjirnya obat berhenti merokok. Buku dengan prolog dari Noe "Letto" dan epilog dari Mohamad Sobary ini mengajak pembaca untuk berpikir lebih keras bahwa pertarungan dan konspirasi global sungguh nyata.
G.A. Guritno