Jual Buku Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya
Judul: Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya
Penulis: Anthony Giddens
Penerbit: Ircisod, 2003
Tebal: 186 halaman
Stok Kosong
Penulis: Anthony Giddens
Penerbit: Ircisod, 2003
Tebal: 186 halaman
Stok Kosong
Istilah "jalan ketiga" bukanlah hal baru dalam dunia pemikiran. Istilah itu telah dipakai berbagai kelompok afiliasi dalam pelbagai determinisme: filsafat, sejarah, sosial, ekonomi, bahkan seni. Namun, secara umum dan populer, istilah ini telah dimunculkan pemikir dari haluan demokrat-sosialis untuk mengidentifikasi sebuah arah perubahan baru pasca-kapitalisme dan komunisme.
Dalam buku The Third Way and Its Critics, 2000, Giddens "menampung kembali" sebagian respons yang muncul dari para sosiolog dunia terhadap buku populernya, The Third Way, 1998. Karya itu sebenarnya lebih sebagai pamflet yang mengikat seluruh terminologi demokrasi-sosial yang saat itu telah menjadi agenda para pemimpin Uni-Eropa dalam menghadapi globalisasi dan segala pengaruh jahatnya serta efek kemiskinan di negara-negara selatan.
Para pemimpin Eropa dari partai kiri-tengah, seperti Tony Blair (Inggris), Gerhard Schroder (Jerman), Wim Kok (Belanda), dan Massimo D'Alema (Italia), mencoba merumuskan sebuah peran esensial pasar yang mereka katakan tak perlu dimusuhi, apalagi dikutuk, cukup diregulasi (self-regulating) agar kerangka kerja sosial dan institusional tetap berjalan.
Yang menarik, buku ini memuat peta cukup lengkap dari para pemikir neo-marxis. Kelompok ini secara umum melihat gagasan para pemimpin Eropa itu, juga Giddens, sebagai pemikiran yang tidak sepenuhnya otonom (kiri-tengah progresif). Ia sebuah roda yang bergerak mendekat ke kanan (pro-neo-liberalisme).
Para sosiolog seperti Navarro, Tuomioja, dan Ralf-Dahrendorf melihat perspektif jalan ketiga Blair-Giddens sebagai sebuah langkah yang tak sukses menopang ide besarnya dalam konteks keinggrisan. Terbukti, Inggris dan Amerika adalah negara industri yang paling banyak menghadapi masalah ketidakmerataan dan dihantui kriminalitas. Dengan sinis, Navarro berujar bahwa gagasan jalan ketiga mungkin sesuatu yang baru bagi Eropa Anglo-Saxon, tapi telah kuno bagi Eropa Kontinental.
Giddens membuat daftar ironi yang dimunculkan para pengkritiknya, yang menilai gagasannya hanya kerangka dasar neoliberalisme, khususnya berkenaan dengan pasar bebas. Kritik yang lainnya, jalan ketiga hanya menjadi problem politisi Anglo-Saxon yang kesejahteraan mereka di negara itu berkembang melemah. Kritik lainnya mengatakan, jalan ketiga ini tak mengusung agenda ekologis. Sekadar memberikan pengakuan.
Terhadap berbagai kritikan itu, Giddens tak beraksi berlebihan. Ia mengakui tumpang tindihnya gagasan jalan ketiga itu. Namun, jalan ketiga yang disebut menjadi alur pemikirannya sejak magnum opus Constitution of Society (1984) ini tumbuh secara tak terelakkan. Dalam buku ini, ia lebih suka menggunakan istilah ''memodernisasi gerakan kiri'' dan ''memodernisasi gerakan sosial-demokrasi'' sebagai revisi terhadap mazhab neo-marxisme yang tak kunjung aplikatif dalam melihat masa depan sejarah dunia (sic kapitalisme).
Dalam bab-bab terakhir, Giddens melakukan pengulangan beberapa gagasan yang dimunculkan dalam buku-buku sebelumnya. Misalnya, soal kapitalisme dan hubungannya dengan negara, civil society, militerisme, perusahan multinasional, dan globalisasi. Masalah yang menjadi serius adalah bagaimana hubungan antarstruktur sosial-ekonomi tersebut berjalan untuk tak menimbulkan jurang ketidaksetaraan, seperti didengang-dengungkan kelompok sosialisme dan marxisme.
Meski tak seketat Constitution of Society dalam menganalisis, dan tak pula sepuitik Consequences of Modernity (1989) atau Modernity and Self-Identity (1991), karya Giddens ini penting bagi kita untuk melihat peta pemikiran sosialisme kontemporer dan up-date data terakhir dari fenomena kapitalisme global. Sebagai satu negara, kita tak juga melakukan evaluasi yang mendalam tentang liberalisme ekonomi dan potensi pemberontakan sosial yang mungkin ditimbulkannya.
Teuku Kemal Fasya, Mahasiswa S-2 Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta