Jual Buku Intelegensia Muslim dan Kuasa (Genealogi Intelegensia)
Judul: Genealogi Intelegensia: Pengetahuan dan Kekuasaaan Intelegensi Muslim Indonesia Abad XX
Penulis: Yudi Latif
Penerbit: Prenada, 2013
Tebal: 688 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 175.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Penerbit: Prenada, 2013
Tebal: 688 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 175.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Setiap kali diminta menceritakan abstraksi disertasinya, Yudi Latif memilih mengangkat bahu dan menjawab: "Bacalah." Memang, karyanya di Australian National University, Canberra, 1999, itu terlalu berat dan panjang untuk dibahas dalam sebuah kesempatan obrolan di warung kopi. Tapi, untuk membacanya pun bukan urusan mudah, edisinya sangat terbatas.
Toh, kini publik bisa mengaksesnya. Karya sosiologi politik berjudul The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of Its Emergence in the 20th Century itu sudah diterjemahkan dan diterbitkan di bawah tajuk Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Meski sudah dipadatkan, buku itu masih setebal bantal. Tapi, berkat sentuhan bahasa novel ala Yudi, buku tebal itu terasa menggairahkan untuk dibaca. Hal-hal yang rumit menjadi jernih mengalir.
Yudi kreatif mencari istilah padanan. Kata-kata semacam "struggle for the real" diterjemahkan jadi pergulatan demi menyatakan diri. Istilah dan konsep teknis akademis tak dibiarkan mengganggu. Ia menjiwai arti geschichte sebagai sejarah sekaligus hikayat. Maka, audiens buku ini tak harus terbatas pada segelintir kaum akademika.
Di dalamnya, para peminat sastra akan menemukan bahwa literatur kita ini dibentuk dan membentuk pentas politik, seperti Poedjangga Baroe melahirkan suatu blok kesejarahan (halaman 269-70). Para penggiat politik akan dikejutkan oleh kesimpulan-kesimpulan unik, tentang bagaimana Bimbo mengartikulasikan respons keislaman terhadap Orde Baru (halaman 568-70). Era reformasi dimaknai sebagai kehadiran intelektual muslim di jajaran elite politik dan fungsional, "yang tak pernah terjadi dalam transisi politik mana pun dalam sejarah Indonesia" (halaman 647).
Para peminat filsafat bisa menyimak bagaimana teori Barthes, Gramsci, Foucault, atau Habermas diterjemahkan secara kritis dan intim dengan realita. Ide ruang publik Habermas, contohnya, dimodifikasikan untuk konteks Indonesia sehingga mengakomodasi politik identitas, derajat kebebasannya dan relasi kuasanya dalam masyarakat (halaman 60-4). Singkat kata, buku bisa untuk semua kalangan. Universal sekaligus plural.
Yudi Latif menyoroti lansekap yang luas dengan tidak melupakan detail partikular. Pendekatannya mirip dipakai secara terpisah oleh Sheldon Wolin (2004) dalam bukunya Politics and Vision, atau Jerrold Siegel (2005) dalam The Idea of the Self. Satu bentuk pendekatan baru yang diinspirasikan oleh konsep genealogi, baik dalam artian konvensional maupun Foucaultian.
Genealogi bermakna konvensional berfungsi untuk "memerhatikan gerak perkembangan diakronik dan rantai intelektual antar-generasi dari inteligensia Muslim Indonesia". Sedangkan genealogi ala pemikir Michel Foucault (Prancis) membantu "memerhatikan dinamika, transformasi, dan diskontinuitas dalam perkembangan historis" (halaman 7-8). Penerapan model genealogis ini dapat menempatkan perubahan sejarah pada saat tertentu (sinkronik) dalam kerangka waktu lama-sinambung (diakronik).
Melalui pendekatan ini, ditambah elemen pemikiran Bourdieu, Braudel, atau poskolonialisme, Yudi bisa meruntuhkan trikotomi Geertz tentang santri-abangan-priyayi yang gagal melihat konstruksi pandangan dunia priyayi pada masa lalu maupun masa depan. Bab III memperlihatkan tokoh-tokoh pergerakan era Hindia Belanda seperti Tjipto Mangunkusumo atau Djajadiningrat bersaudara adalah para priyayi yang berlatar belakang santri.
Lebih jauh, pendekatan genealogis Yudi ini menepiskan esensialisme. Melalui analisis berdasar empat ranah --pendidikan, praktek-praktek diskursif, ruang publik, dan permainan kuasa-- Yudi memperlihatkan bahwa identitas politik intelegensia muslim bukanlah suatu konstruk yang ajek dan stabil sepanjang masa. Mereka tak kebal perubahan dan tunduk pada proses historisasi yang dinamis, kadang radikal.
Contohnya, generasi intelektual muslim awal, seperti Agus Salim dan Tjokroaminoto, merumuskan identitas dan ideologi Islam di bawah panji sosialisme Islam. Pasalnya, ketika itu tekanan komunisme-sosialisme sebagai pihak lain yang signifikan (significant others) memunculkan identitas yang terpolitisasikan (politicised identity). Maka, meski pemikiran Abduh dan al-Afghani sangat populer, justru ''perkawinan" ide-ide sosialisme dan pemikiran Islam kaum muslim modernislah yang dijadikan artikulasi politik mereka (halaman 278-300).
Begitu pula di era Mohammad Natsir. Tantangan terbesar datang dari kelompok nasionalis sekuler. Lantas, inteligensia muslim kedua seperti Natsir, Moh. Roem, atau Singodimedjo menekankan rumusan Islam di bawah panji "Nasionalisme Islami dan Negara Islam" (halaman 315-318).
Bahkan bagi tokoh seperti Deliar Noer, modernisasi yang dicanangkan H.M. Soeharto sejalan dengan ajaran sosial Islam (halaman 501-8). Sedangkan bagi generasi keempatnya dengan tokoh-tokoh utama seperti Nurcholish Madjid atau Imaduddin Abdulrahim, Islam berhadapan dengan tantangan modernisasi dan rasa frustrasi politik akibat represi Orde Baru. Toh, generasi ini lebih percaya diri terjun dalam wacana tentang ''Islam dan modernisasi-sekularisasi". Respons inteligensia muslim itu beragam, mengikuti zamannya, bisa liberalisme, reaksionerisme (Islamis), dan moderasi (moderat-reaksioner) (halaman 508-19).
Demikian halnya pada generasi berikutnya. Wacana ''Islam alternatif dan pembangunan alternatif" mengemuka di masa generasi inteligensia kelima seperti Azyumardi Azra atau Masdar F. Mas'udi. Sedangkan di generasi keenam, "Islamisasi modernitas" dan "liberalisasi Islam" pun menjadi tema pemikiran mereka. Generasi ini terdiri dari anak-anak muda yang merupakan produk hibrid dari globalisasi dan posmodernitas, dan pada jalur kelanjutan perkembangan tradisi pemikiran intelektual generasi sebelumnya. Mereka tampil setelah 1980-an dalam beragam bentuk, mulai kaum liberal sampai radikal; di tarbiyah atau di forum kajian; berdebat di dalam gedung parlemen dan berdemo di depan pagarnya.
Sejarah Islam Indonesia tak pernah monolitik. Ia bernegosiasi dengan pengaruh-pengaruh internal maupun eksternal. Definisi dan perjuangan pergerakan Islam pun bersifat adaptif dan taktis. Solusi "sosialisme Islam" Agus Salim tentu berbeda dari "sekularisasi" ala Nurcholish Madjid dan tak bisa diterapkan di luar zamannya. Toh, dari perbedaan itu terlihat kesinambungan bahwa Islam adalah seperangkat sistem dan ruh normatif yang dinamis dan reformatif.
Di sinilah letak kekuatan karya Yudi Latif. Islam digambarkan sebagai hal yang terus-menerus bertajdid dan bertransformasi. Dalam banyak hal, konflik-konflik ideologis yang dikesankan timbul di antara Islam dan kaum Marxis atau nasionalis tidak melulu mengarah pada upaya saling menafikan. Dalam kerangka kebangsaan dan keindonesiaan, malah lebih sering terlihat usaha yang mengarah saling mendekatkan seperti terlihat dari kemunculan konsep "sosialisme Islam".
Identitas sosial kaum inteligensia pun tak melulu diartikan afiliasi keagamaannya, juga diwarnai relasi kelas, etnik, dan pendidikan. Dari irisan identitas ini terbentuklah apa yang disebut "suatu kesamaan identitas dalam perbedaan" (identity in difference) dan "keberagaman dalam kebersamaan identitas" (difference in identity). Lahirlah dari situ, "dalam persatuan ada ruang untuk berbeda" dan "dalam perbedaan, ada ruang untuk bersatu" (halaman 667).
Tak pelak lagi, menurut Yudi Latif, gerak fundamentalisme Islam akan terus dinetralkan oleh energi liberalisme Islam. Kebhinekaan internal Islam di Indonesia memang membawa mekanisme sendiri untuk mendorong moderasi. Dalam kondisi demikian, tak terelakkan kemungkinan adanya transendensi perbedaan religio-kultural. Berikutnya, ia memperlunak perbedaan itu dan membuatnya berada dalam batas toleransi yang kian beradab (halaman 646). Terbersit sebuah optimisme yang sewajarnya menjadi milik kita juga.
Buku Inteligensia Muslim dan Kuasa, bagi pemahaman Islam Indonesia, ibarat kamus Oxford bagi bahasa Inggris. Pujian para ahli Indonesia dari banyak negara merupakan saksi akan pentingnya buku ini. Dia bisa disandingkan dengan karya Albert Hourani atau Ira Lapidus yang setiap halamannya membutuhkan syarah, setiap lembarannya membuka ranah riset baru. Lebih dari itu, Yudi Latif bukan akademikus semata, ia seorang engaged intellectual yang mengangankan ''terciptanya rekonsiliasi dan rekonstruksi nasional" seraya mengajak semua kelompok bangsa bersatu memenuhi "panggilan sejarah bersama: untuk melayani dan menyelamatkan bangsa ini" (halaman 680).
Walhasil, Yudi Latif memberikan pada kita lebih dari sekadar pencerahan pemikiran, juga keberpihakan nurani.
Oleh: Edwin Arifin, Pengamat Sosial Budaya