Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Teologi Negatif Abu Nuwas Hasan Ibn Hani

Judul: Teologi Negatif Abu Nuwas Hasan Ibn Hani
Penulis: Moh. Hanif Anwari
Penerbit: LKiS, 2005
Tebal: 171 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Abu Nawas adalah sosok yang unik, cerdik, sekaligus kontroversial, ia sedang mengabaikan shalat dan ibadah haji, gemar minim khamr, suka merayu perempuan, dan menyukai sesama jenis. Namun demikian dari pribadi yang secara lahirlah banyak melanggar aturan agama inilah muncul sebagai Teologi Negatif, sebuah pemikiran teologis yang berusaha mengungkapkan unsur-unsur substansial dari ajaran agama yang telah direduksi oleh para penguasa Islam dalam bentuk-bentuk eksistensial demi kepentingan mereka sendiri.

Nama lengkap tokoh ini sebenarnya adalah Hasan bin Hani’ ‘Abd al Awwal bin as-Sabah. Ia dilahirkan di daerah Ahwaz salah satu bagian kota Kazakstan di Iran pada tahun 145 H./762 M. Ia hidup di lingkungan istana Abbasiyah di Baghdad sebagai pujangga istana. Meski tinggal di lingkungan istana, ia tak sungkan dan tak takut mengkritik penguasa istana dan juga penguasa agama. Sebagai seniman, kehidupannya sangat eksentrik. Kegemaran utamanya adalah minum khamar (tuak), karena itu ia disebut juga sebagai ‘penyair khamriyyat.’ Ia digambarkan memang sering melanggar ajaran agama (syariat), mengolok-olok haji dan meremehkan shalat. Disamping itu, ia juga mencintai perempuan di satu sisi dan di sisi lain ia juga mencintai laki-laki.

Tingkahnya boleh jadi merupakan kritik terhadap zamannya. Saat itu, ortodoksi keagamaan dan primordialisme menguat. Padahal Abbasiyah yang demikian luas wilayahnya sangat plural, bukan saja dalam konteks lingkungan internal Islam sendiri, tapi komunitas-komunitas non-muslim juga tersebar dan bertumbuhan. Abu Nuwas menentang diskriminasi terhadap komunitas non-muslim dan non-Arab. Tetapi beberapa mereka yang dianggap ‘kritis’ terhadap hegemoni ajaran resmi ini kemudian dituduh zindik sebuah penghukuman teologis yang statusnya hampir setara dengan ‘kafir,’ diadili, dan bahkan sebagiannya ada yang dihukum gantung.  

Karena pengabaiannya terhadap ajaran agama, ia juga sempat dituduh para agamawan sebagai zindik. Menariknya, Abu Nuwas selalu lolos dari pengadilan ini. Mengapa? Salah satu sebabnya mungkin karena ia tetap setia sebagai seorang muslim monoteistis. Alasan lain, ia mengungkapkan kritiknya melalui lelucon, anekdot, dan olok-olok yang mengundang tawa. Tingkahnya, dalam banyak hal, boleh dibilang konyol. Para agamawan menganggapnya sebagai ‘pelawak’ saja. Memang awalnya gelar zindik lebih bersifat budaya saja dan dialamatkan ke mereka yang senang main-main, berkelakar, dan pesta-pesta yang menjadi ciri kosmopolitanisme dan hibriditas kehidupan Abbasiyyah zaman itu. Tetapi belakangan zindik dibawa ke level agama. Aliran-aliran kepercayaan, sekte-sekte Majusi, bahkan penganut Zoroaster dan Budha, serta yang lebih mencolok mereka yang mengkritik ajaran resmi juga dituduh zindik.

Abu Nawas melakukan perlawanan terhadap pemerintahan dan para kaum agamawan. Perlawanan tersebut dilakukan baik tentang budaya, agama, pahaman, maupun sistem pemerintahan. Perlawanan ini disampaikan lewat puisi-puisi, lelulon, atau melalui perbuatannya (perilaku) sendiri yang dianggap sesuatu hal yang aneh dan terkadang melanggar aturan-aturan yang berlaku pada zaman itu.

Di Indonesia, yang sampai kepada kita adalah citra Abu Nuwas sebagai pelawak. Tidak aneh, kalau ada seseorang yang lucu, penuh anekdot, humoris, dan juga eksentrik seperti sosok di kampung-kampung digelari dan dihubung-hubungkan sebagai ‘Abu Nuwas.’ Bahkan, kejenakaan Abu Nawas terbawa hingga matinya.

Abu Nuwas memang terlanjur dianggap dan menjadi gambaran orang yang tak serius, main-main, dan penuh lelucon. Sisi lain sosok ini, sebagai pemikir dan teolog, hampir-hampir terabaikan. Padahal kritik-kritiknya terhadap ortodoksi keagamaan, telah membentuk apa yang disebut sebagai ‘teologi negatif,’ demikian ungkap Moh. Hanif Anwari dalam Teologi Negatif, yang merupakan kajian pemikiran tokoh ini. Teologi negatif mengajarkan bahwa manusia hanya mengetahui Tuhan dengan mengetahui siapa-siapa dan apa-apa yang bukan-Tuhan.

Salah satu syair Abu Nawas tentang Tuhan yang baginya merupakan Dzat yang ramah, Maha mengampuni, Maha mengasihi. Syairnya berbunyi sebabagai berikut:  
Hai Abu Nawas, jadilah orang terhormat, baik, sabar.
Waktu telah merusakmu dengan harta dan dengan keinginan yang lebih banyak menyenangkanmu.
Hai pendosa besar, ampunan Allah itu lebih besar daripada dosamu.
Sebesar-besarnya sesuatu itu masih lebih kecil dibandingkan dengan ampunan  Allah yang paling kecil.

Abu Nawas mempunyai patung yang berdiri tegak hingga sekarang kota di Baghdad dan di akhir hidupnya Abu Nawas banyak menulis puisi zuhud, tampak demikian akrab dan bahkan seperti terkesan bercanda saja dengan Tuhan.