Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Orang Indonesia dan Tanahnya

Judul: Orang Indonesia dan Tanahnya
Penulis: Cornelis van Vollenhoven
Penerbit: STPN Press, 2013
Tebal: 214 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
 

“Akhirnya didalam penjelasan atas rencana undang-undang itu, dapat dilihat dengan jelas adanya sifat hendak menjauhkan diri dari hukum yang hidup dikalangan rakyat Indonesia: ia tidaklah menjelaskan persoalannya dengan sungguh-sungguh, tetapi dengan sengaja hendak membawa parlemen kearah jalan yang sesat.” -Van Vollenhoven-

Sejarah yang penuh ironi. Begitulah sejarah bangsa Indonesia. Kesengsaraan bangsa yang dibelenggu oleh rezim kolonial Belanda membuat bangsa mengalami keterpurukan  mendalam. Bentuk-bentuk penindasan yang berbeda mulai dari sistem sewa tanah, tanam paksa, dan kerja paksa menjadi memori sejarah yang menyakitkan. Hak-hak bangsa ditelanjangi dengan berbagai cara. Baik dengan cara kekerasan maupun berupa peraturan hukum yang merugikan.

Konstitusi Hindia Belanda yang lahir pada 1854 (Regeringsreglement 1854) merupakan hukum yang pertama kali mencantumkan perlindungan hukum bagi rakyat pribumi. Namun di balik itu, hukum ini malah membawa dampak buruk terhadap rakyat pribumi dengan melindungi usaha-usaha swasta di tanah mereka.

Tekanan berat semakin terasa pada tahun 1917-1919 ketika RUU (Rancangan Undang-Undang)  mengenai amandemen pasal 62 Konstitusi Hindia Belanda 1845 dilancarkan. RUU itu berisi usulan Pasal 62 yang berisi tentang perlindungan hah-hak atas tanah masyarakat pribumi untuk segera dihapuskan.

Di situasi inilah buku ini hadir untuk menentang upaya penghapusan perlindungan hak-hak tanah masyarakat pribumi. Van Vollenhoven dengan tegas mengkritik upaya tersebut dengan memaparkan secara logis segala pelanggaran-pelanggaran hak dan praktek ketidakadilan yang telah dilakukan rezim kolonial Belanda di masa lalu sekaligus di masa itu.

Pada awal bab buku ini, Van Vollenhoven menunjukkan perbedaan hak-hak atas tanah orang pribumi dengan orang Eropa. Orang-orang pribumi memiliki hukum tersendiri terkait tanahnya, yakni hak ulayat yang tidak terdapat di Burgeliyjk Wetbook (Undang-Undang Perdata masa kolonial). Salah satu sifat dari hak ulayat ialah, “Bahwa hanya masyarakat hukum itu sendiri beserta anggota anggotanya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah yang tidak dibudidayakan yang berada dalam wilayah kekuasaannya (beschikkingskring), misalnya membuka tanah, mendirikan perumahan, mengumpulkan/ memungut hasil-hasil, berburu, menggembala ternak, dan sebagainya.” (hlm 9).

Kemudian menguak kekejaman Pemerintah Belanda di masa lalu seperti pengambilan sawah secara sewenang wenang, sistem pajak tanah, tanam paksa dan kerja paksa. Lalu, memamparkan tuntutan-tuntutan yang harus dilakukan serta peraturan peraturan yang menjamin kehidupan yang baik bagi rakyat pribumi terkait tanah-tanah pertanian.

Pada bab pertengahan, Van Vollenhoven mengorek tentang Pernyataan Domein pada tahun 1870 (Jawa) dan 1875 (luar Jawa) yang secara jelas melanggar hak rakyat pribumi. Setiap orang yang tidak bisa membuktikan suatu tanah itu adalah miliknya, maka negara bisa seenaknya mengambil tanah tersebut. Dan yang menjadi masalah besar ialah kriteria bukti diatur oleh pemerintah sendiri berdasarkan peraturan barat. Maka jika bukti-buktinya tidak sesuai dengan peraturan barat, maka hak tanah tersebut tidak diakui oleh pemerintah. Sangat kejam.

Masih di bab pertengahan, buku ini menjelaskan pelanggaran pemerintah terhadap hak-hak atas tanah yang tidak dibudidayakan rakyat pribumi. Padahal tanah yang tidak dibudidayakan itu merupakan hak dari rakyat pribumi yang sudah diatur dalam hak ulayat. Namun pemerintah selalu memiliki berbagai alasan yang memuakkan. Lalu dia juga memaparkan tuntutan-tuntutan yang harus dilakukan serta peraturan-peraturan yang menjamin kehidupan yang baik bagi rakyat pribumi terkait tanah yang tidak dibudidayakan.

Di dalam bab terakhir, Van Vollenhoven menyampaikan tuntutannya kembali kepada pemerintah untuk menghentikan sesegera mungkin maksud  penghapusan Pasal 62 Regeringsreglement 1854. Lalu menganjurkan penggantian beberapa redaksi kalimat yang lebih baik untuk kepentingan rakyat pribumi.

“Tetapi jika rencana undang-undang tersebut benar-benar menjadi undang-undang, maka hanya sebuah kesimpulan yang dapat kami tarik: sebuah kesimpulan yang tidak saja mengubur kehormatan kita dipandang dari sudut akal, tetapi juga mengubur kehormatan kita dipandang dari sudut budi.” (hlm 153).

Selain menjadi senjata penjegal upaya pengamendeman Pasal 62 Regeringsreglement 1854, buku ini memberikan pengetahuan yang berarti bagi para pembacanya. Konsep hukum adat dan hak ulayat rakyat pribumi dipaparkan dengan jelas.

Buku ini tentu masih relevan hingga hari ini. Kondisi sekarang yang masih marak dengan konflik agraria seperti perampasan tanah yang dilakukan oleh korporasi-korporasi terhadap tanah masyarakat adat menjadi bukti bahwa pemahaman tentang pertanahan dan pertanian sangat dibutuhkan. Konsep-konsep dasar di dalam buku ini seperti bezitrecht (hak milik), Communaal Bezit (Hak milik komunal), Communal Grondbezit (Tanah milik yang bersifat komunal), Cultuurgronden (Tanah milik yang bersifat komunal) perlu untuk diketahui.

Perjuangan tentu membutuhkan pengetahuan. Menurut hemat saya, buku ini layak menjadi salah satu perwakilan dari sekian banyak buku untuk membantu perjuangan masyarakat adat di bumi Indonesia.