Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Who Rules The World? (Noam Chomsky)

Judul: Who Rules The World?
Penulis: Noam Chomsky
Penerbit: Bentang Pustaka, 2017
Tebal: 412 halaman
Kondisi: Bagus (Baru)
Harga: Rp. 60.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


‘Siapa penguasa dunia?’ Pertanyaan sederhana itu menjadi sangat serius ketika yang melontarkannya adalah tokoh intelektual sekaliber Avram Noam Chomsky. Banyak orang yang lantas tergelitik untuk mengulik apa jawabannya.

Dalam buku terbarunya kali ini, Sang Bapak Linguistik Modern jebolan Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu kembali mengobrak-abrik berbagai fakta sejarah penuh intrik tentang jalan menuju hegemoni dunia; khususnya pascatragedi 9/11.

Sebagaimana banyak karya-karya kritisnya terdahulu, sentral buku ini masih berkutat seputar arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) yang menjadi bola panas penggeser peta perpolitikan global berikut segala intrik peliknya.

Seperti biasa, Chomsky—yang pernah dimasukkan ke dalam daftar musuh negara oleh Presiden AS ke-37 Richard Nixon—menguak berbagai analisis dan argumen kiri yang selama ini enggan dibeberkan media arus tengah AS ke hadapan publik.

Misalnya; bagaimana pria 88 tahun itu lantang menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap sistem imperialisme modern yang diterapkan pemerintah AS melalui keterlibatannya dalam berbagai perang skala besar yang menguras budget negara.

Diakui atau tidak, sesaat sejak akhir Perang Dunia (PD) II, Negeri Paman Sam berdiri jauh di barisan terdepan; nyaris tanpa kekuatan penyeimbang. Sebagian kalangan berpendapat ke-unipolar-an AS masih tetap demikian adanya sampai saat ini.

AS, menurut hemat Chomsky, adalah negara dalang di balik berbagai isu utama dunia saat ini. Bahkan, dia menulis satu bab khusus berjudul Tangan Gaib Kekuasaan yang menguak cerita intervensi AS dan aliansi Barat-nya di Asia Timur dan Timur Tengah. 

 “[AS] menentukan sebagian besar diskursus global; mulai urusan Israel-Palestina, Iran, Amerika Latin, agenda ‘perang melawan teror’, organisasi ekonomi internasional, hak dan keadilan, hingga persoalan utama seputar kelangsungan peradaban [perang nuklir dan kerusakan lingkungan],” tulisnya.

Salah satu bab yang menarik perhatian adalah Suatu Hari dalam Hidup Pembaca The New York Times. Bab ini khusus menganalisis bagaimana salah satu media paling berpengaruh di dunia itu menjadi alat membangun citra AS sebagai ‘negara yang sangat berbeda’.

Chomsky mengambil sampel edisi NYT pada 6 April 2015, dan mencermati sebuah artikel di halaman 7 dari Thomas Fuller tentang kegigihan seorang perempuan Laos untuk membersihkan jutaan bom sisa-sisa perang AS di Indochina.

Bom-bom tersebut adalah warisan 9 tahun serangan udara Amerika selama Perang Vietnam. Serangan beruntun itu membuat Laos menjadi salah satu tempat yang paling banyak dibom di muka bumi ini.

Artikel itu menyatakan, sebagai hasil lobi Khamvongsa, AS meningkatkan pengeluaran tahunan untuk pemindahan bom yang belum meledak senilai US$12 juta.  Menurut Chomsky, artikel itu dikemas dalam bahasa eufimisme, sehingga terjadi pembiasan fakta sejarah.

“Reporter Times memiliki sumber; yakni propaganda AS. Tentu hal itu cukup untuk menutupi fakta tentang salah satu kejahatan terbesar di era pasca-PD II. Kita yakin bahwa kebohongan besar dalam informasi publik ini tidak akan diulas panjang lebar dan mendapat kecaman luas. Hal ini tak sama dengan kelakuan memalukan oleh pers bebas, seperti plagiarisme dan kurangnya skeptisisme.”

 Secara keseluruhan, buku ini melanjutkan pemikiran Chomsky dalam menggugat kekuatan global yang mengendalikan pilihan masyarakat; serta menelisik berbagai kebijakan pemerintah, lembaga negara, dan media-media AS.

Meskipun telah memasuki usia kepala delapan, Chomsky sama sekali tidak mengendorkan ketajaman logika dan analisisnya. Namun, satu hal yang pasti, buku ini sesuai dijadikan pengantar bagi pembaca pemula yang belum familiar dengan pemikiran-pemikiran Chomsky.

Sebab, kali ini Chomsky membingkai gagasan-gagasannya dengan gaya bertutur yang lebih ‘jinak’ dan simpel. Berbeda dengan karya-karyanya terdahulu yang sarat akan bahasa-bahasa filosofis politik yang sangat teknis, argumentatif, dan kompleks.