Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Novel O (Eka Kurniawan)

Judul: O
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia, 2016
Tebal: 480 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 130.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
 

O – bukankah judulnya terlalu sederhana dengan cover seekor monyet? Dan banyak orang yang mengenal karya Eka Kurniawan mengatakan bahwa novel O adalah novel yang bercerita tentang seekor monyet yang ingin menjadi manusia. Ini begitu lucu dan sederhana? Tapi, bukankah menggelitik? Apalagi jika sudah mengenal Eka Kurniawan melalui karya-karyanya yang sebelumnya. Bagaimana dia mengemas isi ceritanya kali ini?

TENTANG SEEKOR MONYET YANG INGIN MENIKAH DENGAN KAISAR DANGDUT

“A master novelist not to be missed.” Oprah.com (Cover belakang)

Tidak hanya judulnya saja yang terlalu sederhana. Pun demikian dengan sinopsisnya. Meski dikemas begitu sederhana, namun cukup lucu, menggelitik, dan penasaran.

Sudah ada dua hal yang didapatkan sebelum menikmati novel ini lebih jauh, seekor monyet ingin menjadi manusia dan seekor monyet ingin menikah dengan kaisar dangdut. Dua-duanya sederhana namun lucu, menggelitik, serta bikin penasaran. Kok bisa? Apa gara-gara monyet bisa menirukan tingkah manusia (topeng monyet) sehingga Eka memiliki gagasan membuat cerita yang mengangkat tema ini? Entahlah, kenapa tidak kita nikmati saja sajian dari Eka Kurniawan kali ini?

Well, isi novel ini tak sesederhana judul dan sinopsisnya. Eka kembali mampu mengajak pembaca untuk berpesta dan bersulang dengan sajian karyanya yang tidak bisa dibilang begitu-begitu saja. Jika pada sampulnya kita diperkenalkan dengan karya yang berbusana sederhana namun cantik. Justru, there is an inner beauty in the book.

“ENGGAK GAMPANG JADI MANUSIA,” pikir O,… (hal. 1)

Novel ini dimulai dengan seekor monyet bernama O mengenang sebuah keributan yang dilakukan kekasihnya, Entang Kosasih, monyet urakan dengan mimpinya yang setinggi langit dan tidak masuk akal. Dia berkeinginan menjadi manusia, mengikuti Armo Gundul, monyet terdahulu yang kisahnya yang menjadi salah satu monyet yang benar-benar berubah menjadi manusia dan kisahnya diceritakan turun temurun oleh monyet-monyet yang ada di Rawa Kalong.

“Impian? Apa yang kamu inginkan?”

“Aku ingin menjadi manusia.” (hal. 48)

Sempurna. Semua monyet menganggap Entang Kosasih sudah gila dengan mimpinya, namun hanya O, kekasihnya yang menerima kegilaannya serta masih menganggapnya waras. Namun, bukan berarti O tidak menentang keinginan Entang Kosasih. Beberapa kali O berharap Entang Kosasih berhenti memimpikan keinginannya dan menikahinya di bulan ke sepuluh.

Eka Kurniawan tidak menceritakan O sebagai tokoh fable, tetapi sebagai tokoh semi fable. Karena secara keseluruhan cerita ini tidak hanya mengenai binatang, O. Namun, ada banyak karakter dengan kisahnya masing-masing yang berkaitan dengan O. Seperti tentang revolver, Sobar dan Joni Simbolon si polisi, Tomi Bagong, Kirik, Betalumur, dan masih banyak lagi. Dia menceritakan mereka dengan ciri khasnya yang seolah memberikan pembacanya puzzle yang harus diselesaikan. Dengan alur non-linear, dia mengajak pembaca untuk mendapatkan twists dari potongan-potongan puzzle hingga mencapai klimaksnya.

Pada awalnya, aku sempat merasa bosan—ingin berhenti membaca—dan tidak menemukan sesuatu yang sangat menarik selain menemukan banyak potongan puzzle yang sama sekali tidak aku ketahui bagaimana menyusunnya. Katakanlah potongan-potangan itu terlalu acak dan rumit, sehingga rasanya “kok loncat sana-sini enggak karuan ya?” Bahkan, setiap puzzle rasanya tidak bisa disusun. Lalu, sampai pada bagaimana Entang Kosasih berhasil menggunakan revolver milik Joni. Bukan masalah bagaimana dia bisa membunuh pemilik revolver dengan revolver tersebut, melainkan dari sana potongan-potongan yang awalnya tidak bisa disusun mulai bisa menemukan susunannya.

Bagaimanapun juga, Eka mampu membuat seseorang terpesona begitu yang melihatnya menemukan apa yang dia sembunyikan di balik bajunya. Karyanya tidak lepas dari berbagai karakter-karakter yang diciptakan secara unik bersama konflik-konflik mereka yang tentunya membuat pembaca menemukan berbagai penafsiran dengan mengatakan oh ini nih yang dimau penulisnya.

Cinta. Eka mencoba mengajak kita merenungkan arti cinta dari berbagai sudut pandang. Mulai dari bagaimana mencintai sesama makhluk. Cinta itu membuat bahagia, tapi cinta bukan satu-satunya hal yang membuat bahagia atau perlukah ada pengorbanan dalam mencintai sesama? Dan tentang kesetiaan pada cinta yang diuji. Hingga cinta yang lebih rumit, yakni kepada Tuhan. Dengan latar kehidupan orang-orang menengah ke bawah, karya ini menyampaikan apa itu agama dan bagaimana menyerukan kebaikan untuk menjadi lebih dekat dengan Tuhan melalui karakter syekh, kyai, bahkan burung kakaktua yang paling menyebalkan.

Selain cinta, O memberikan kisah di mana Entang Kosasih, kekasih O, yang dengan gagah berani membahayakan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan seorang bocah dari ular Sanca yang hampir setengah memakan bocah tersebut. Selanjutnya bahkan dia berusaha mencelakai salah satu monyet dan manusia ketika dia berhasil membawa kabur revolver.

Tidak hanya itu. O juga memasukkan kisah binatang (peliharaan) dan manusia (pemilik binatang) memiliki hubungan yang dekat seperti pada kehidupan nyata. Banyak kejadian-kejadian menyentuh di antara mereka seperti O dengan Betalumur (pawing topeng monyet), Kirik dengan Rini Juwita, burung Kakaktua dengan Syekh, dan masih banyak lagi.

Dengan berbekal cerita yang rumit dan terasa berat, Eka berhasil merajut kisah O dengan ringan namun tetap berbobot. Bahkan, beberapa kali aku sempat tertawa dengan humor-humor yang secara sederhana diselipkan sehingga jauh lebih terasa ringannya. Namun, dengan gaya penuturan Eka yang lincah, membuatku menyadari bahwa ia tengah menyindir secara halus perilaku manusia—yang kadang manusia itu sendiri lebih menyerupai binatang.

“Huh, manusia. Dari sampah kembali ke sampah.” (hal. 470)