Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Negeriku dan Rakyatku (Dalai Lama)

Judul: Negeriku dan Rakyatku
Penulis: Dalai Lama
Penerbit: Kadam Choeling, 2011
Tebal: 228 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1962, dan ditulis tak lama setelah Dalai Lama mengungsi ke India. Terlepas dari peristiwa-peristiwa politik yang direkam dengan amat apik, buku ini tampak lebih pas sebagai sebuah memoar. Dalam buku ini, Dalai Lama, pemimpin politik dan spiritual Tibet, berkisah tentang Tibet sebelum tahun 1959 (sebelum ‘proses pembebasan’ oleh Cina). Dalam masa-masa yang penuh ketegangan ini, Dalai Lama secara blak-blakan melihat dirinya sebagai sosok politisi yang tak terlalu cakap (lagipula, ke mana pun ia pergi, Dalai Lama memang lebih suka dirujuk sebagai ‘seorang biksu yang sederhana’).

Dalai Lama lahir pada 6 Juli 1935 di sebelah timur laut Tibet dari sebuah keluarga petani yang sederhana, dan dikenali sebagai reinkarnasi Dalai Lama ke-13 pada usia 2 tahun. Sebagai sosok Dalai Lama, ia dianggap sebagai titisan Buddha welas asih yang menitis ke dunia untuk menolong semua makhluk. Karena keyakinan ini, rakyat Tibet mencintai Dalai Lama dan rela mengorbankan nyawa mereka demi melindunginya dari marabahaya apapun. Namun, terlepas dari animo yang demikian, dalam buku ini kita melihat bahwa Dalai Lama, kecuali setelah masa-masa pengungsiannya di India, tak pernah terpikir untuk menyatakan kemerdekaan Tibet. Tampaknya ia memang tak melihat apa faedah dari upaya memerdekakan Tibet (wacana kemerdekaan baru muncul ketika Cina mulai mengadopsi pendekatan keras dalam menangani Tibet).

Tetapi, apakah pendekatan yang demikian adalah kebijakan khas Cina? Tampaknya tidak juga. Dari paparan sejarah, kita tahu bahwa para petinggi partai di Beijing, terutama Ketua Mao, lebih suka pendekatan yang halus dalam membujuk Tibet untuk bergabung dengan ‘ibu pertiwi’. Namun, seperti yang tertulis di dalam buku, pada suatu hari di bulan Maret 1959 yang tegang, jenderal Cina mengirim dua prajurit kelas rendah untuk meminta Dalai Lama menghadiri sebuah pertunjukan teater. Ketika kentara sekali bahwa militer adalah pemicu keresahan di sepanjang Maret tahun itu, bagaimana mungkin orang-orang terdekat Dalai Lama tak menafsirkan undangan ini sebagai upaya penculikan dan mendesak Dalai Lama untuk segera melarikan diri keluar dari Tibet? Lagipula, berhubung Cina yang komunis tampak tak begitu memperhatikan aspek agama dalam proyek pembangunan manusia mereka, pertikaian dengan Tibet yang agamis menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

Dalam pengungsiannya di India, Dalai Lama seolah-olah mengintip kembali ke nostalgia Tibet. Dalam buku ini, ia dengan jernih menggambarkan kehidupan dan budaya orang Tibet secara rinci – geografi, mata pencaharian, organisasi sosial, dan tentunya yang paling utama, agamanya. Dan semua ini dituturkan dengan gaya tuturan seorang anak muda yang sedang berapi-api memperjuangkan Tibet di kancah internasional (ingat bahwa Dalai Lama baru berumur 27 tahun ketika itu).

Kisah dimulai dengan narasi intim tentang hidup Dalai Lama, mulai dari kelahirannya dalam sebuah keluarga petani yang sederhana sampai ke perubahan statusnya sebagai salah satu pemimpin spiritual paling berpengaruh di dunia. Dalam kisah ini, kita menyaksikan seorang anak muda yang sedari kecil sudah disodori tanggung jawab yang tak terbayangkan bagi seseorang seusianya. Setelah dikenali sebagai reinkarnasi dari Dalai Lama ke-13 pada usia 2 tahun, ia pindah dari kampung halamannya yang udik di Taktser ke kota Lhasa yang modern. Di sini, ia menjalani latihan dan pendidikan yang keras untuk mengesahkan statusnya sebagai Dalai Lama. Ketika beranjak dewasa, ia mulai mengakrabi hubungan Tibet yang rumit dengan tetangganya yang digdaya, Cina, dan secara pribadi juga menjalin hubungan dengan pejabat-pejabat Cina yang ditugaskan di Tibet. Tak berhenti sampai di situ, Dalai Lama remaja juga terlibat dalam misi diplomatik, seperti ketika ia mengunjungi India dan Cina dan bertemu dengan tokoh dunia sekaliber Jawaharlal Nehru dan Ketua Mao.

Perjumpaan dengan Ketua Mao barangkali adalah beberapa halaman paling menarik dalam buku ini. Di sini, ketika mengunjungi Cina selama kira-kira setahun (Juli 1954-Juni 1955), Dalai Lama melukiskan kekagumannya pada sosok yang satu ini, dan tak malu-malu mengakui kalau aura pemimpin dan karisma yang dipancarkan oleh sang ketua sukses membuatnya terkesima. Bisa dikatakan bahwa perjumpaan dengan Ketua Mao inilah yang menjadi titik balik dari hidup Dalai Lama, dan mungkin juga bangsa Tibet. Meski sepanjang pertemuan yang berlangsung beberapa kali Ketua Mao terus membuat Dalai Lama terkagum-kagum dengan visinya tentang sebuah dunia yang adil dan makmur bagi setiap individu (sebelumnya, Dalai Lama sudah diajak berkeliling menyaksikan masifnya pembangunan di Cina), pertemuan terakhir pada akhirnya mengubah segalanya, ketika Ketua Mao, barangkali hanya sambil lalu (atau mungkin juga serius), berkata bahwa ‘agama adalah racun’ pada Dalai Lama, yang notabene adalah seorang agamawan (bahkan pemimpin agama).

Dari peristiwa ini, tampak jelas bahwa takdir yang sebentar lagi bakal menimpa Tibet takkan menjadi kisah yang indah. Dan benar saja, beberapa tahun berselang, tepatnya pada 1959, tekanan Cina yang semakin gencar akhirnya memaksa Dalai Lama untuk melarikan diri ke India. Dalam hal lepasnya Tibet dari tangan bangsa Tibet, hal menarik yang kita baca dalam buku ini adalah telunjuk Dalai Lama yang tak hanya menuding ke dunia Barat (yang menutup sebelah mata pada apa yang terjadi di Tibet), tapi juga ke diri sendiri, karena ia merasa bahwa kebijakan Tibet yang selama ini menutup diri dari dunia luar juga menjadi alasan bagi lemahnya posisi Tibet dalam percaturan politik internasional.

Jika kita ingin mengetahui bagaimana kehidupan dari seorang pemimpin spiritual yang juga kebetulan adalah pemimpin politik sebuah bangsa (sebuah kombinasi yang jarang ada di dunia ini), Negeriku dan Rakyatku – sebuah memoar yang penuh dengan kisah sejarah dan intrik politik yang berujung ke jatuhnya Tibet ke pelukan Cina – adalah buku yang tepat untuk dijadikan bacaan. Dengan pilihan kata dan alur cerita yang sederhana dan tak berbelit-belit, buku Negeriku dan Rakyatku adalah potret bersahaja tentang sejarah pelik bangsa Tibet.