Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740)

Judul: Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740)
Penulis: Zainul Milal Bizawie
Penerbit: SAMHA dan Yayasan KERiS, 2002
Tebal: 281 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 70.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312

Sejarah memukau ketika ia merupakan sebuah cerita konfrontasi. Buku yang ditulis Zainul Milal Bizawie ini, dalam arti tertentu sebuah catatan sejarah, mengundang kita untuk mengikutinya karena ia meneruskan sebuah tema yang sering muncul dalam telaah tentang Islam, sebuah tema yang, seperti dikatakannya sendiri dalam bab pertama, berkisar pada ‘perdebatan antara penganut mistik dan syari’ah’.

Milal meletakkan tokoh dalam telaahnya ini, Syekh Ahmad Mutamakkin, yang disebut sebagai seorang ‘neo-sufis’ yang hidup di tahun 1645-1740, dalam satu garis dengan cerita lain yang terkenal dari Jawa di awal perkembangan Islam: Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Sunan Panggung dan Amongraga. Mereka dikenal sebagai penganut tasawuf yang mengalami prosekusi dari yang berkuasa, bahkan ada yang dikisahkan sebagai dibakar hidup-hidup – barangkali gema dari cerita yang lebih mashur dan memikat dalam sejarah Islam di Timur Tengah, yakni cerita tentang Husain ibn al-Hallaj yang wafat di sekitar tahun 922.

Yang bagi saya membuat tema Milal penting ialah karena ia mau tak mau terkait dengan konfrontasi yang sekarang terjadi – yang di kalangan pemikir dan aktivis Islam kini sangat dikenal --antara kecenderungan skriptualis di satu pihak dan kecenderungan yang non-skriptualis (baik yang disebut ‘liberal’ ataupun ‘post-tradisional’) di lain pihak. Tema ini bisa bermanfaat buat dibahas, sebab bila kita meninjaunya secara lebih luas, ketegangan yang sama juga terjadi dalam pengalaman umat beragama yang lain, terutama di kalangan Kristen, dari mana pengertian ‘fundamentalisme’ lahir; ‘fundamentalisme’, dalam arti tertentu, adalah pandangan yang cenderung secara harfiah memberi tafsir atas Alkitab.

Dari satu segi, ketegangan itu juga adalah ketegangan antara apa yang saya sebut, untuk mudahnya, sebagai keharusan ‘kongregatif’ dalam agama dan dorongan ‘idyosinkratik’ dalam iman. Gellner pernah mengatakan bahwa agama bersifat ‘merayakan komunitas’, tapi agaknya – dengan hanya mengambil kecenderungan kongregatif dalam agama -- ia tak sepenuhnya benar. Apa yang oleh William James, dalam karyanya yang klasik hampir seratus tahun yang lalu, disebut sebagai ‘pengalaman religius’ (religious experience) pada dasarnya menunjuk ke sebuah fenomena yang unik, yang personal, yang tak bisa disama-ratakan begitu saja: agama, bagi James, adalah ‘sentuhan nasib pada diri individual’ (individual pinch of destiny). James tentu saja mencurahkan perhatiannya kepada individu-individu yang mengalami agama sebagai ‘demam yang akut’, dan bukan agama yang dijalani oleh kaum mukminin biasa, yang bagi James merupakan ‘kehidupan agama lungsuran’ (second-hand religious life). Agama, bagi James, adalah “rasa, laku dan pengalaman manusia individual dalam kesendirian mereka, sepanjang mereka menemukan diri mereka sendiri dalam berhubungan dengan apa yang mereka anggap ilahiah (divine)”’

Kategori James tentu saja juga sepihak: ia hanya berlaku bagi para nabi yang mendapatkan wahyu dan para sufi yang mencapai maqam. Memang, James tampak benar jika kita menerapkannya pada suasana dewasa ini, terutama di Amerika dan Eropa: agama, sebagai lembaga, mengalami krisis yang gawat. Ia banyak ditinggalkan orang. Orang umumnya tak mengalami lagi apa yang dulu dianggap, oleh Durkheim, sebagai jumbuhnya ‘yang sosial’ dan yang ‘religius’. Tapi toh dewasa ini bahkan di Amerika dan Eropa tak semua gereja menjadi kosong dan dijadikan tempat konser. Bahkan setelah skandal sex yang kini mengotori Gereja Katolik di Amerika pun orang umumnya masih tak akan menghapuskan kecenderungan, bahkan keharusan, kongregatif dalam hidup keagamaan mereka. Charles Taylor dalam sebuah bukunya yang baru terbit, Varieties of Relgion Today, William James Revisited (Cambridge, Mass., and London: Harvard University Press, 2002), seraya mengamati perilaku keagamaan masyarakat Amerika (dan Eropa) mengatakan bahwa bahkan dalam masa ‘pasca-Durkheim’ ini, tesis James sepenuhnya berlaku. ‘Dalam dunia pasca-Durkheim,’ tulis Taylor, ‘kesetiaan [kepada gereja] akan copot dari suatu masyarakat yang disucikan…atau sejenis identitas nasional…tapi ia akan maish merupakan hubungan kolektif’.

Pengalaman sejarah orang Islam tak dengan sendirinya menempuh dunia yang digambarkan Taylor. Kaum muslimin umumnya hidup di masyarakat yang belum mengalami sifat ‘menyebar’ yang terbawa oleh lingkungan pasca-industri; bahkan banyak yang tetap bergulat dalam sebuah perekonomian pra-industri. Tendensi kongregatif – seringkali kita dengar dalam ucapan tentang perlunya ‘ukhuwah Islamiyyah’ dan dalam ideologi tentang ‘ummat’ yang tunggal serta tak tersentuh sejarah – selamanya sangat kuat. Di dalam masa seperti sekarang, ketika politik identitas (terutama menghadapi ‘Barat’) bernyala-nyala, tendensi kongregatif menjadi alat konsolidasi dan mobilisasi, seakan-akan sebuah kunci bagi kemampuan Islam untuk bisa lanjut hidup. Dalam masa sebelumnya, ketika Islam masih mengkonsolidasikan diri sebagai kekuatan sosial dan politik di sebuah masyarakat yang baru saja di-Islam-kan, seperti Pulau Jawa di abad ke-16 dan 17, tendensi idyosinkratik bisa dianggap mengacaukan pemahaman umat atas ajaran. Itulah sebabnya prosekusi terhadap diri mereka yang dianggap ‘mengajarkan ilmu hakikat’ – Syekh Siti Jenar dalam legenda yang umum di Jawa, misalnya – terjadi.

Tapi samakah Siti Jenar dengan Mutamakkin? Sedikit sekali yang kita ketahui tentang Siti Jenar, tapi dalam memaparkan Mutamakkin sebagai tokoh ‘agama rakyat’ yang melakukan ‘perlawanan kultural’, Milal mengemukakan, bahwa ‘kecenderungan syari’ah’ adalah ‘elitis’, dan ‘gerakan Islam lebih memihak elite penguasa sepanjang penguasa itu memenuhi persyarakat syari’ah daripada keneptingan rakyat banyak dari kaum buruh dan petani’. Sebenarnya masih perlu studi sejarah lebih lanjut untuk melihat proses bertautnya kaum ulama Jawa yang berorientasi syari’ah (yang ‘skriptualis’) dengan kekuasaan politik (‘elite penguasa’) di abad ke-7 dan 18.

Sejarah sosial Jawa umumnya dikatakan sebagai sejarah desak mendesak antara ‘pesisir’ dan ‘pedalaman’, ‘santri’ dan ‘abangan’, ‘saudagar’ dan ‘priyayi’, dan kalau kita baca baik Wulangreh maupun Wedatama, kanon ‘ajaran’ Jawa yang terkenal, yang bersumber dari kalangan kraton, kita akan menemukan secara terisrat konfrontasi itu: ada sikap yang merendahkan kalangan ‘kaum’ (santri) dan mereka yang ‘anggubel sarengat’ (bertaut dengan syari’at). Milal sendiri mengutip Geertz dalam The Religion of Java, bahwa ‘mistisisme’ (‘kebatinan’) itu ‘pendukung gaya hidup priyayi’, yang tak lain adalah lapisan elite yang memerintah Jawa secara langsung bahkan di masa kolonial Belanda.

Memang, dalam Serat Cabolek tampak bagaimana ulama seperti Ketib Anom Kudus dan para pembesar kerajaan Mataram bersatu mengusut kepercayaan Mutamakin. Dalam telaah Subardi (The Book of Cabolek, The Hague: Martinus Nijhoff, 1975) tentang naskah ini disinggung bahwa naskah itu ditulis waktu posisi sosial politik Islam dari wilayah pesisir semakin kuat dan berpengaruh ke kalangan atas, tapi tak begitu jelas adakah dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Islam yang kongregatif, dengan menggunakan garis syari’ah sebagai pemersatu, sama dengan Islam yang membawa semangat ‘pemurnian’, yang bisa dikatakan ‘skriptualis’ dan menentang budaya lokal, yang pernah terjadi di Sumatera Barat di abad ke-19 dalam gerakan Padri dan terjadi di Jawa Tengah dengan ‘gerakan Rifangi’ dalam masa yang sama, yang pernah ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dalam buku terkenalnya Protest Movements in Rural Java. Tak begitu jelas bisakah Ketib Anom Kudus bisa disebut sebagai wakil ‘pemurnian’ yang ‘skriptualis’. Dalam Serat Cabolek, yang juga dikutip penuh oleh Milal, tampak bahwa Ketib Anom Kudus juga sangat piawai dalam membahas kisah Dewa Ruci, dengan menyebut, tanpa enggan, nama-nama dalam mitologi Jawa yang sarat dengan pengaruh Hindu: Narada, Sang Hyang Wenang, Wisnu…

Dengan demikian, masih menjadi persoalan benarkah jelas ada paralelisme dalam dikhotomi antara ‘mistik’ (yang mengasimilasikan budaya lokal seperti wayang dan skisah Dewa Ruci, yang punya kecenderungan idyosinkratik) dan ‘syari’ah’ (yang berpegang hanya kepada teks Qur’an dan Hadith, yang percaya dan ingin kembali kepada ‘kemurnian’ ajaran, yang menganggap budaya lokal sebagai bagian dari takhayul, bid’ah atau khurafat), dengan dikhotomi antara ‘rakyat’ dan ‘elite’. Dalam kasus Padri dan Haji Rifangi, misalnya, tampak bagaimana kekuasaan, dalam hal ini penguasa kolonial dan kaum adat setempat (di Sumatera Barat) dan kaum priyayi (di Jawa Tengah) – sama sekali tidak berpihak kepada mereka.

Mutamakkin dengan demikian tak dengan pasti bisa diletakkan dalam konfrontasi antara ‘rakyat’ dan ‘elite’, apalagi sementara kita tak tahu pasti seberapa jauh ia datang dari ‘bawah’. Kita tak tahu benarkah asal usulnya, wilayah Tuban dan Pati, merupakan ‘pinggiran’ dalam konstelasi Jawa di abad ke-17, meskipun oleh Milal disebut sebagai daerah yang ‘rawan pemberontakan’. Milal sendiri menyebut Mutamakkin sebagai ‘seorang ningrat, keturunan raja dari Pangeran Benawa’ dan seorang ulama yang bersekolah di Timur Tengah (‘yang kala itu mempunyai posisi tinggi’). Dengan kata lain, tokoh ini mempunyai ciri lengkap sebagai bagian dari kalangan elite. Menurut Milal ia ‘mendapat posisi di hati rakyat’, ‘didukung dengan garis keturunan serta kedalaman ilmunya’, tapi bagi saya belum jelas kenapa justru darah ningrat dan ‘kedalaman ilmu’ itu merupakan alasan dukungan rakyat kepadanya, dan bahwa ia dengan begitu mewakili apa yang disebut Milal sebagai perlawanan ‘agama rakyat’.

Sebab itu kiranya lebih menarik untuk menelaah apa sebenarnya yang hendak diutarakan Mutamakkin. Serat Cabolek memang merupakan teks yang ditulis untuk menggambarkan ulama dari desa Cabolek itu dalam wajah yang buruk secara fisik (‘Pun Mutamakin punika dapure kadya cumiris’) maupun intelektuil. Dalam kata-kata Milal, naskah itu merupakan contoh ‘hegemoni Agama Keraton’. Tetapi yang menarik ialah bahwa sebenarnya dalam teks itu ada ambivalensi. Mutamakiiin dianggap salah oleh para ulama lain karena ia, sebagaimana dikutip Milal, “mengajarkan ilmu hakikat kepada khalayak umum’. Para ulama, dengan inisiatif Ketib Anom Kudud, mengadukannya kepada raja agar ajaran Mutamakkin dilarang dan ia dihukum mati. Tapi seperti dikutip Milal pula, semula raja Pakubuawana tak mengabulkan keputusan yang dibuat Patih dan para ulama untuk menghukum mati ulama Cabolek itu. ‘Kegunaan ajaran kisah pengetahuan mistis al-Mutamakkin adalah untuk diri sendiri, dan dia tidak berusaha untuk mengubah pandangan Jawa secara menyeluruh’. Bagian dari Serat Cabolek yang mengulas Dewa Ruci bahkan mengesankan bagaimana penulis teks ini bukan saja sangat mahir, tapi juga sangat menyukai simbolisme Jawa dengan tradisi wayangnya – tapi pada bagian yang sama ada peringatan akan perlunya ketaatan akan hukum Islam berdasarkan yang bersumber Qur’an dan Hadith. Jika dibaca, terutama karena dalam bahasa Jawa, kita bisa mendapatkan kesan bahwa Serat Cabolek kurang meyakinkan untuk disebut sebagai lawan diametral dari apa yang oleh Milal dikemuakan sebagai ajaran Mutamakkin.

Tapi jelas, bahwa Serat Cabolek bersikap merendahkan ulama dari wilayah Tuban dan Pati itu, dan hanya terpana akan tokoh Ketib Anom Kudus yang wibawanya terasa bahkan dalam teks. Salah satu jasa dari penelaahan Milal ialah menunjukkan bahwa ada ‘textual politics’ dalam naskah itu –dan dengan cara yang sangat tepat: ia menunjukkan versi yang berbeda, dari pihak yang berlawanan, tentang cerita yang sama. Milal mengedepankan teks yang diperolehnya dari wilayah Kajen – sebuah usaha yang dihargai oleh sejarawan M.C. Ricklefs. Dari sini tampak bagaimana Mutakakkin sebenarnya lebih ulung ketimbang Ketib Anom Kudus, terutama dalam membaca dan menafsirkan Dewa Ruci. Bahkan. Menurut teks Kajen sebagaimana dikisahkan oleh Milal, sang raja pun akhirnya menyatakan diri sebagai pengikut Mutakamkkin.

Yang menarik di sini ialah bahwa pada akhirnya yang jadi ukuran keungguan adalah kemampuan interpretasi ulama Islam atas khasanah kebudayaan lokal yang sumberunya bukan Islam – sebuah interpretasi bukan untuk mematikan, malah untuk menghidupkannya lagi. Dan tak kalah penting ialah bahwa pada akhirnya yang jadi lambang utama bukanlah lambang kongregatif – misalnya barisan perang melawan kebatilan Kurawa -- melainkan sebuah pengalaman rohani yang sangat mungkin untuk memberi peluang bagi warna idyosinkratik dalam beriman: Bima melihat Dewa Ruci sebagai sosok lembut dari dirinya sendiri, dan memasuki telinga Dewa Ruci sendirian, untuk bersatu dengan yang Ilahiyah. Semua itu bukanlah sebuah pengalaman kolektif, bukan sebuah tafsir untuk mengukuhkan identitas. Abdul Karim Shaoroush pernah mengatakan, bahwa baginya ada dua macam Islam: ‘Islam identitas’ dan ‘Islam kebenaran’. Ia, mungkin seperti Mutamakkin dan seperti setiap orang yang sadar bahwa pada akhirnya orang akan menghadap Tuhan sendiri-sendiri, lebih memilih ‘Islam kebenaran’.