Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Zaman Edan: Indonesia Di Ambang Kekacauan

Judul: Zaman Edan: Indonesia Di Ambang Kekacauan
Penulis: Richard Lloyd Parry
Penerbit: Serambi, 2008
Tebal: 451 halaman
Kondisi: Cukup (bekas)
Stok kosong

“Buku ini membahas tentang kekerasan dan tentang rasa takut” (hal 25). Demikian yang diungkapkan oleh Richard Lyyod Parry, jurnalis Times – London dalam kata pengantarnya di buku ini. Apa yang dikatakannya memang tak mengada-ngada. Buku yang ditulis berdasarkan hasil reportasenya ketika bertugas di Indonesia pada 1997-2001 memang secara umum memaparkan kekerasan yang pernah terjadi di beberapa bagian di wilayah Indonesia pada kurun waktu tersebut.

Dalam buku yang diberinya judul “In The Time of Madness, Indonesia on the Edge of Chaos” (2005) dan diterjemahkan oleh Penerbit Serambi menjadi “Zaman Edan, Indonesia Diambang Kehancuran” (2008), Richard Llyod Parry menyuguhkan tiga buah peristiwa mencekam yang dialaminya ketika sedang bertugas di Kalimantan (1997–1999), kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, dan kejahatan kemanusiaan di Timor Timur (1998–1999)?

Dimulai dengan bab Musibah yang Mendekati Aib : Kalimantan (1997-1999). Parry menyuguhkan kisahnya saat masuk ke daerah konflik perang antar etnik Dayak dengan suku Madura di pedalaman Kalimantan. Bagi yang tak tahan dengan kisah-kisah berdarah, bersiap-siaplah untuk mual ketika membaca bab ini.

Seperti halnya pemicu-pemicu kerusuhan di berbagai tempat di Indonesia, pemicu perang tersebut sebenarnya hanyalah hal yang sepele. Saat digelar panggung dangdut di Sanggauledo, Kalimantan (perbatasan dengan Sarawak Malaysia), dua orang gadis Dayak diganggu oleh pemuda Madura. Perkelahianpun pecah dan seorang pemuda Dayak, putra kepala desa setempat tertikam.

Peristiwa tersebut bagaikan menyulut api dalam sekam, ketegangan diantara kedua ras yang telah terbangun selama bertahun-tahun menyebabkan peristiwa sepele ini berubah menjadi sangat serius dan memicu serangan-serangan balas dendam yang berujung pada peperangan antar etnik.

Berdasarkan adat dan tradisi Suku Dayak saat berperang, mereka memanggil roh peperangan Kamang Tairu untuk menghadapi orang Madura. Imbalannya Kamang Tairu perlu diberi makan dengan darah, karenanya orang Dayak memenggal kepala orang Madura, membawa kepala-kepala itu sebagai trofi, kemudian membelah bagian punggung mayat-mayat itu untuk mengambil jantung yang akan mereka makan selagi masih segar.

Dengan mata kepala sendiri sendiri, Parry melihat bagaimana mayat-mayat berserakan tanpa kepala dengan lubang menganga di punggungnya. Puluhan kepala-kepala terpenggal dipajang diatas drum, dan disisi lain sekelompok orang sedang membakar sate daging manusia untuk dimakan, bahkan dirinyapun tak luput dari ajakan orang-orang Dayak untuk ikut memakan sate manusia!

Apa yang mendasari orang-orang Dayak untuk berbuat demikian keji? Dalam penutup bab ini, Perry mengutip pendapat seorang guru Dayak atas apa yang telah mereka lakukan terhadap mereka yang melanggar adat Dayak.

“Di mata orang Dayak,” ujar seorang guru Dayak, “Ketika orang tidak menghormati adat kami, mereka menjadi musuh, dan kami tidak memandang musuh kami sebagai manusia lagi. Mereka menjadi binatang di mata kami. Dan orang Dayak memakan binatang.” (hal 129)

Di bab berikutnya, Perry menuturkan kisahnya ketika ia meliput suasana pemilu 1997 situasi ketika terjadi demonstrasi di kampus Trisakti, kerusuhan massal di Jakarta 1998, dan peristiwa lengsernya Soeharto. Selain itu di bagian ini ia juga menungkapkan mengenai sosok Soeharto, dikatakan bahwa masa kecil Soeharto sangat menderita dan tidak bahagia. Setelah kelahirannya, ibunya menghilang. Beberapa hari kemudian dia ditemukan di dalam ruangan gelap sebuah rumah kosong dalam keadaan mirip kesurupan. Sejak itu ia dititipkan secara bergilir diantara paman, bibi, dan sahabat keluarganya. Tiga kali ia diculik oleh salah satu orang tuanya dan pindah rumah sembilan kali sebelum menamatkan sekolahnya.

Lalu disinggung pula soal gaya hidup Soeharto, rumahnya di jalan Cendana termasuk kategori rumah yang sederhana dan biasa yang mungkin jika tak diberitahu orang tak akan menyangka kalau itu adalah rumah seorang presiden. Rumahnya dipenuhi bukan oleh harta benda melainkan cindera mata dan hiasan murahan. Bahkan mantan menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja mengungkapkan bahwa “Banyak artefak tak bermakna di seputar rumah itu, warna-warninya tidak selaras, ukurannya tidak sepadan-rasanya seperti memasuki toko souvenir.” (hal 175)

Sedangkan di Bagian ketiga buku ini, yang merupakan bagian yang paling panjang dan palin mengugngkap sisi emosional Parry atasketakutan yang dialaminya adalah mengenai Timor Timur. Di bagian ini Parry mengisahkan petualangannya menembus belantara Timor untuk bergabung dengan Falintil, tentara gerilyawan pendukung kemerdekaan.

Melalui investigasinya dengan orang-orang yang ditemuinya, akan terungkap berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara-tenara Indonesia ketika memburu para gerilyawan.

“Tak terhitung jumlah penududuk desa Timor yang dibakar, dibom, ditembak atau dibiarkan kelaparan hingga mati.” : Pada waktu lain, sekitar seratus orang, banyak diantara mereka perempuan, anak-anak, dan lanjut usia, yang berlindung di sebuah gua selama pengeboman dari udara, terkubur hidup-hidup ketika sebuah bom berkekuatan besar diledakkan di luar dan menutup mulut gua sepenuhnya. Setelah dua minggu, erangan mereka tidak lagi terdengar.” ( hal 288)

Kisah petualangan Perry di bagian ini terus berlanjut hingga rakyat Timor Timur melakukan referedum untuk menentukan masa depan meraka dan bagaimana situasi Timor Timur paska referendum yang begitu mencekam karena kelompok milisi indonesia tampaknya tak rela jika mereka dikalahkan begitu saja lewat jejak pendapat yang hasilnya mengecewakan mereka. Selain itu terungkap pula situasi ketika dirinya dan beberapa wartawan asing berlindung dalam markas PBB di Timor Timur untuk menunggu evakuasi.

Dari ketiga bab yang terangkum dalam buku ini, tampaknya hanya bab : Cahaya Terang Jawa : 1998 yang tak banyak mengungkap hal-hal yang baru bagi pembacanya, seperti kita tahu peristiwa 98 telah banyak diulas baik dibuku-buku memoar para tokoh politik maupun media-media cetak lainnya. Namun bab ini masih menarik dicermati pada bagian mengenai kehidupan Soeharto yang digambarkan sebagai Raja Jawa atau “Paku Bumi”.

Bagian yang mengungkap berbagai fakta baru dan mengejutkan adalah bab Musibah yang mendekati Aib: Kalimantan 1997-1999, dan Kandang Hiu : Timor Timur 1998-1999. Bagi masyarakat awam, kedua peristiwa ini mungkin tak banyak diketahui. Berita-berita mengenai kerusuhan di Kalimantan hanya beredar dari mulut kemulut dan hanya terungkap sekilas di media-media cetak. Sedangkan berita mengenai situasi di Timor Timur yang begitu mencekam sebelum dan setelah jejak pendapat hanya kita peroleh dari sumber resmi koran-koran nasional yang tentunya bersikap hati-hati dalam mengungkap fakta yang ada.

Karenanya buku ini tampaknya bisa membuka wawasan kita dalam melihat ketiga perstiwa kerusuhan dari sudut pandang dan kacamata seorang jurnalis asing yang dikenal piawai dalam menulis situasi di daerah-daerah konflik di dunia. Walau demikian, tentunya unsur-unsur subyektif penulisnya tak lepas dari apa yang ditulisnya, terlebih dalam tulisannya mengenai Timor Timur yang tampak condong ke pro kemerdekaan Timor. Karenanya kitapun tetap harus bersikap kritis terhadap apa yang ditulisnya dan membandingkannya dengan buku-buku lain yang membahas mengenai kejadian tersebut.

Dalam buku ini, tampaknya Parry melakukan sedikit kesalahan data, antara lain ketika menyebutkan partai politik peserta pemilu 1997 di halaman 34, dimana partai banteng merah (PDI) nomor urutnya tertukar dengan Beringin Kuning (Golkar). Entah mengapa kesalahan ini dibiarkan saja oleh penerjemahnya, jika di buku aslinya memang dibiarkan demikian mungkin ada baiknya penerjemah memberikan catatan kaki mengenai kesalahan ini.

Sedangkan untuk cover buku terjemahannya, tampaknya penerbit Serambi tak melakukan banyak perubahan, sesuai edisi aslinya, buku ini didominasi oleh warna merah gelap dengan ilustrasi wayang. Namun Serambi mengganti tokoh wayangnya, jika edisi aslinya menampilkan tokoh wayang Arjuna, maka di edisi terjemahannya yang tampak adalah tokoh wayang Batara Kala si pembawa petaka. Dalam hal ini tampaknya cover edisi terjemahannya lebih sesuai dengan tema buku ini.

Akhir kata, membaca buku Zaman Edan ini memang menarik, berbagai fakta mengejutkan yang mengiringi kekerasan dan kekacauan terjalin dengan kalimat-kalimat yang lentur, lincah, renyah dan dan enak dibaca. Inilah jurnalisme sastrawi yang sesungguhnya. Hasil reportase Parry tidak sekedar mengungkapkan fakta, tempat, dan waktu, namun juga menghadirkan emosi dan dsekripsi-deskrpisi mendetail sehingga membaca buku ini seolah membaca novel horor yang diangkat dari sebuah kisah nyata.

Semuanya ini tersaji dengan begitu hidup sehingga pembacanya seolah-olah berada bersama dengan Parry berpetualang ke daerah-daerah konflik.

Buku ini telah melaporkan peristiwa kerusuhan di tiga tempat, Jakarta, Kalimantan, dan Timor Timur dengan begitu menarik. Masih ada Ambon, Papua, dan Aceh, dll yang mungkin suatu saat perlu ditulis seperti buku ini. Semoga para jurnalis Indonesia bisa mengikuti jejak Richard Lyyod Parry, melaporkan apa yang dilihat dan dialaminya di daerah-daerah konflik di Indonesia dalam balutan jurnalisme sastrawi secara obyektif dan enak dibaca tanpa harus dibatasi oleh jumlah karakter atau sensor oleh dewan redaksi dimana biasa mereka mempublikasikan tulisan-tulisannya.