Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Anak-Anak Ibrahim: Dialog Terbuka mengenai Isu-Isu yang Memisahkan dan Menyatukan Muslim-Yahudi

Judul: Anak-Anak Ibrahim: Dialog Terbuka mengenai Isu-Isu yang Memisahkan dan Menyatukan Muslim-Yahudi
Penulis: Imam Shamsi Ali & Rabi Marc Scheiner
Penerbit: Mizan, 2014
Tebal: 328 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 30.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Seorang anak bernama Utteng dari Tana Toa (Tanah Tua), mengisahkan mozaik hidupnya yang mengagumkan. Kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, diyakini penduduknya sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Islam adalah agama satusatunya di sini. Tapi tak satu pun mereka mengenal apalagi melaksanakan syariat Islam. Sebaliknya, warga kampung lebih takut pada batu tua keramat yang berada di tengah hutan, tinimbang pada tuhan penguasa alam. Kepercayaan mereka pada Islam sebagai agama, murni keturunan dan warisan belaka. Selebihnya, hampa. Kondisi serba paradoks itulah yang membawa Utteng si anak bengal beranjak menemukan pencerahan melalui seorang guru mengaji al-Quran, Puang Tambang.

Guru Puang mendidik Utteng yang pembangkang dengan cinta kasihnya, hingga bocah kampung yang ajaib ini belajar di sebuah pesantren pimpinan Kiai Abdul Djabbar di tepian kota Ujung Pandang. Utteng yang udik, terbuka matanya melihat gemerlap kota, riuh-rendah warganya, dan segala pencapaian moderen yang sama sekali belum ia temukan di Tana Toa. Lagilagi, al-Quran dengan gramatika Bahasa Arabnya adalah pemantik gairah belajar Utteng hingga kemudian ia tumbuh jadi santri kritis di kampungnya dan menolak dengan sengit praktik paganisme.

Kiai Abdul Djabbar lantas mengganti nama bocah ini menjadi Syamsi Ali. Secara harfiah berarti, matahari tertinggi. Ya, matahari ini kelak berkelana ke Pakistan demi melanjutkan studinya ke Universitas Islam Islamabad. Bagai mengendarai kereta waktu, anak kampung ini pun menjelma jadi warga internasional, berbekal pesan bijak dari sang kiai, “Kamu sudah dipersenjatai semua alat yang bisa saya berikan: kesabaran, kearifan, latihan. Kamu tahu bagaimana cara menggunakan hati nuranimu ketika menilai sesuatu, bukan hanya dengan intelektualitasmu. Kamu tidak saja telah memelajari pengetahuan, tetapi juga kehidupan.” (h. 16). Kelak, setelah menjadi warganegara dunia, Syamsi mentransliterasikan namanya menjadi Shamsi Ali.

Nun jauh di New York City, Amerika Serikat, seorang bocah lain juga sedang melakoni jalan hidupnya mewarisi tradisi keluarga rabi selama tujuh belas generasi. Saat berumur dua tahun, ia gemar berdiri di atas meja dan berpurapura sedang berbicara, atau berkhutbah, persis seperti ayahnya, Rabi Arthur Schneier. Bocah ini juga memiliki simpati begitu besar pada sinagoge dan kepada para pemeluk Yahudi. Waktunya lebih banyak dihabiskan di sinagoge tinimbang di rumah. Di sinagoge itulah—yang lebih mirip rumah para lansia, bocah yang bernama Marc Schneier itu, pelahan tumbuh menjadi rabi, mengikuti jejak ayah dan leluhurnya.

Menara Kembar Komunitas Global
Baik Shamsi Ali maupun Marc Schneier, adalah pelanjut sejarah dari beban dan dosa masa lalu dua agama samawi yang kerap bertikai nyaris selama dua alaf. Marc memegang kukuh keyakinan bahwa Yahudi adalah bangsa terpilih dan setiap Muslim adalah antisemit, sementara Shamsi percaya bahwa setiap Yahudi ingin menghancurkan Islam dan memercayai sepenuhnya doktrin khairu ummah berdasar keterangan al-Quran dan, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS Âli ‘Imran [3]: 110).

Lantas bagaimana keduanya malah memilih bersahabat setelah umat memercayakan tampuk kepemimpinan pada mereka? Shamsi jadi pemimpin spiritual Pusat Muslim Jamaika dan Imam Besar Masjid New York; menjabat sebagai dewan antara lain di Pusat Tanenbaum, Federasi untuk Perdamaian Timur Tengah, Federasi Muslim Asean Amerika Utara, dan Yayasan Muslim Amerika. Sementara Marc mendirikan sekaligus menjabat Presiden Yayasan Pemahaman Etis; rabi pembina di Sinagoge Hampton di Pantai Westhampton, New York; serta diberi kehormatan oleh Kongres AS dan Israel sebagai juru bicara hak asasi manusia dan hak sipil, serta toleransi agama dan etnis.

Jawaban dari hubungan aneh tapi istimewa di antara keduanya adalah, rekonsiliasi. Upaya saling memaafkan kesalahan dan luka masa lalu demi masa kini yang lebih baik. Dua petinggi umat ini rela bertungkus lumus menelaah kitab sucinya masingmasing, untuk kemudian saling menguliti, mengoreksi, dan menemukan kalimatun sawa’ (benang merah) dari misi monoteistik bapak para nabi samawi, Ibrahim a.s.

Posisi yang berseberangan dan saling tidak percaya itu, ternyata membawa keduanya pada kejujuran mengupas isuisu yang memisahkan sekaligus menyatukan Muslim-Yahudi. Melampaui segala prasangka buruk, keduanya secara bersama menghadapi ancaman semitisme dan islamofobia, demi dialog yang didasari sikap saling menghormati. Upaya nyeleneh ini mereka retas dari jantung dunia, New York, terus merambah ke Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Mereka bergaul dengan banyak petinggi keagamaan dunia dan pemimpin negara. Langkah brilyan ini kemudian berdampak besar di kemudian hari—terutama ketika Menara Kembar WTC rontok oleh aksi brutal terorisme pada 11 September 2001.

Buku ini menyajikan dengan cukup baik data-fakta sejarah dua agama besar anak manusia sejak kali pertama diturunkan dari Langit. Siapa pun Anda yang tertarik menemukan titik temu Yahudi-Islam, bisa mencari simpulnya pada etika Yudeo-Kristen-Islam yang mereka tawarkan (h. 89). Kedudukan otoritatif yang mereka emban, jadi jaminan utama niat baik keduanya menjalin perdamaian semesta di bawah panji mengesakan tuhan. Kita bisa belajar langsung dari pengalaman berdarah mereka membina umat selama puluhan tahun. Sebuah misi sarat konflik tajam yang menyebabkan nyawa jadi taruhan.

Keberanian dan kegagahan mereka membela dan menyatukan umat, laik digugu dan ditiru. Karena mereka sama meyakini bahwa, keterpilihan sebuah umat menjadi unggul bagi yang lain, semata karena amanah sakral dari Yang Maha Menggentarkan, “kabarkan pada semua anak manusia hanya ada Aku yang menjadi Tuhan di semesta ini.” Satusatunya kekurangan buku ini (sekadar menjadikannya sebagai kritik membangun), tidak dilibatkannya seorang petinggi Kristen—mungkin Jorge Mario Bergoglio yang lazim dikenal sebagai Paus Francis, ke dalam diskusi. Sehingga pembaca bisa mengetahui bagaimana tanggapan para pewaris Isa a.s terhadap saudara tua (Yahudi) dan saudara mudanya (Islam).