Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Derita Cinta tak Terbalas

Judul: Derita Cinta tak Terbalas
Penulis: Stephanie Iriana
Penerbit: Jalasutra, 2006
Tebal: 164 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 30.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


“Bukan cinta itu sendiri yang dapat membawa pada pemenuhan, melainkan timbal-baliknya cinta (yang membawa pada kebahagiaan)... Cinta hanya diinginkan jika ia mendapat balasan.”
(R.F. Baumeister)

Derita Cinta tak Terbalas, judul semacam ini terasa “murahan” untuk sebuah novel, cerpen atau puisi, sungguh tak ada menariknya. Tapi bila itu judul sebuah skripsi yang kemudian dibukukan, rasanya perlu menjilat ludah sendiri, aduh jorok sekali. Harus diakui, pemilihan judul yang seksi menambah ketertarikan pembaca pada karya ini. Pantas saja Fuad Hassan, Guru Besar Universitas Indonesia yang masyhur itu, sudi menulis kata pengantar untuk karya mahasiswi “nakal” bernama Stephanie Iriana. Pantas juga bagi Penerbit Jalasutra yang berkenan membantu mendakwahkan tulisan tersebut kepada khalayak luas. Tentu saja, amor vincit omnia (cinta memenangkan segalanya), bersyukurlah Stephanie yang dimenangkan oleh karyanya ihwal derita cinta.

Berkaitan dengan derita cinta, bagian pertama buku ini menyoal nasib dan takdir manusia. Orang sering bilang ada nasib baik dan nasib buruk, tapi jarang yang mengatakan takdir itu baik atau buruk. Tentu ini menyiratkan perbedaan di antara keduanya. Nasib dapat diarahkan atau dibentuk, namun bila pada situasi tertentu manusia tak mampu melakukan itu, mau tak mau ia tetap harus menjalani apapun nasibnya. Stephanie mengutip definisi takdir dari Webster Ninth News Collegiate Dictionary dalam pembedaan nasib-takdir. Takdir adalah suatu jalan yang telah ditentukan sebelumnya, yang seringkali diyakini sebagai suatu kekuatan atau aktivitas yang tidak dapat dihalangi. Di bagian pertama ini, Stephanie belum sedikit pun menyinggung cinta.

Bagian kedua memetakan kerangka berpikir Stephanie dalam pengerjaan Derita Cinta tak Terbalas. Dalam psikologi, setidaknya ada tiga aliran besar, yakni psikoanalisis, psikologi perilaku, dan psikologi humanistik. Aliran yang disebut terakhirlah yang dipilih oleh Stephanie. Psikologi humanistik mendasarkan pemikirannya pada harkat dan martabat manusia serta kemampuannya untuk mengaktualisasikan diri. Di dalam aliran itu terdapat logoterapi, sebentuk terapi yang berorientasi pada makna yang mengakui dimensi spiritual di samping dimensi somatik dan mental. Ada tiga tiang utama yang mendasari logoterapi, yakni freedom of will, will to meaning, dan meaning of life. Dari pemilihan paradigma, jelas mengarah ke eksistensialisme fenomenologis. Menariknya, nama Jean-Paul Sartre tak sekali pun disebut, Stephanie lebih merujuk Karl Jaspers dan secara keseluruhan, Victor Frankl.

Bagian ketiga, Stephanie mulai menyentuh daerah yang akan dieksplorasi olehnya, cinta dan derita. Pertama, ia merujuk Stanberg dan Grajek, kemudian Rubin, Plutchik, dan tentu saja, Erich Fromm. Kendati demikian, tampaknya definisi cinta ala Fromm sedikit dipakai di sini, paling banyak adalah pemikiran Baumeister. Dikarenakan buku ini menyoal pecinta yang mendamba balas, sedangkan bagi Fromm cinta adalah memberi, bukan menerima apalagi meminta. Menurutnya, ada empat faktor yang harus ada dalam proses pembentukan cinta, yakni care, responsibility, respect, dan knowledge. Derita, dalam kaitannya dengan cinta, lahir dari harapan akan balasan. Baumeister sangsi bahwa cinta membawa derita, yang sesungguhnya menyiksa adalah keinginan untuk dibalas cintanya. Seperti kata Buddha, harapan adalah akar penderitaan.

Bagian berikutnya agak (atau memang) bertele-tele. Perhatikan saja judul bagian keempat sampai keenam; Makna Hidup, Derita Cinta tak Terbalas, dan Memahami Penemuan Makna Hidup melalui Derita Cinta tak Terbalas. Alangkah bijak bila dijadikan satu, kemudian dinobatkan sebagai bagian inti dari karya seksi ini. Ketiga bagian tersebut mengisahkan pengalaman Stephanie sebagai psikiater yang menangani kasus Andi dan Theo, dua orang muda yang tak terbalas cintanya. Kemudian di bagian terakhir, bagian ketujuh, Stephanie membandingkan proses penemuan makna hidup dari kedua pasiennya, Andi dan Theo. Bagaimana pun, derita (terutama karena cinta) berpeluang menjerumuskan manusia ke lembah depresi atau bahkan ke lumpur skizofrenia. Namun bila disikapi dengan bijak, derita mengantarkan manusia pada makna, dan membuatnya lebih arif dalam menjalani hari-hari berikutnya. Mari berterima kasih pada mereka yang membawa derita berbalut cinta.