Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004

Judul: Sejarah Indonesia Modern 1200-2004
Penulis: M.C. Ricklefs
Penerbit: Serambi, 2005
Tebal: 783 halaman (hard cover)
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 235.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Bagi para Indonesianis, buku sejarah ini memiliki arti yang sedemikian penting, mengingat kedalaman datanya. Dalam bahasannya mengenai sejarah Indonesia, profesor kehormatan dari Monash University ini memulainya dengan melihat bahwa zaman modern nusantara itu berlangsung seiring kedatangan Islam dan bangsa kolonial dari Eropa.

Rumusan itu sekaligus melahirkan sekian tanda tanya bagi saya. Kenapa Ricklefs merumuskan hal demikian? Bukankah masuknya tradisi Hindu-Budha yang menjadi basis kebudayaan kerajaan-kerajaan pra Islam juga datang dari luar. Tapi kenapa hal itu tidak dikategorikan sebagai modernisme awal negara-negara di nusantara ini. Sebagai sebuah perbandingan saja, ada sebuah disertai yang ditulis oleh Andrik Purwasito dengan judul L’Image de L’Indie dans le discourse des nationalistes Indonesiens, yang memiliki pandangan berbeda dengan buku ini.

Ia menyebutkan bahwa kontruksi kebudayaan Indonesia yang dirumuskan oleh kaum nasionalis awal dikarenakan imajinasi mereka tentang kerajaan-kerajaan nusantara pada masa lampau, terutama Majapahit dan Sriwijaya. Sementara kedua kerajaan itu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang hampir sama, yang berkembang di India. Bukankah hal itu menyiratkan tesis tersendiri bahwa awal modernisasi kerajaan-kerajaan nusantara ketika mereka melakukan banyak pergulatan kebudayaan yang datang dari luar. Dan permulaan itu menurut Andrik, sejak masa Hindu-Budha yang berpusat di India.

Memang harus diakui bahwa kedatangan Islam dan bangsa Eropa membawa genre kebudayaan tersendiri di kerajaan-kerajaan nusantara, bahkan hingga kini pengaruhnya. Prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh Ricklefs dalam memberikan  tanggungjawab akademik telah melahirkan keragaman sumber-sumber sejarah. Misalnya saja ketika ia mengungkapkan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Hal ini terlihat dalam bagian pertama buku ini. Ia tidak begitu saja mempercayai teks-teks akademik yang bersumber dari Eropa, seperti yang ditulis oleh Tome Pires, tetapi juga sumber-sumber lokal, seperti prasasti maupun batu-batu nisan yang menyiratkan tentang sejarah Islam Indonesia.

Fenomena menarik yang diungkapkan oleh Ricklefs adalah ketika ia membangun tesis lagi bahwa peperangan antara daerah pesisir (Islam) dan daerah pedalaman (Hindu-Budha) tidak dilihatnya sebagai peperangan agama dan budaya. Peperangan itu terjadi akibat perebutan sumber-sumber ekonomi dan politik (hal 33-34). Jika melihat karya Robert Hefner tentu saja ungkapan Ricklefs tadi dianggapnya agak problematik.

Dalam bukunya The Political Economy of Mountain Java An Intepretatif History (1990), Hefner mengemukakan bahwa memang disebagian besar tempat di Jawa, Islamisasi berjalan melalui proses asimilasi dengan budaya lokal, namun sebagian yang lain melarikan diri kedaerah-daerah yang belum terjangkau oleh Islam secara politik, seperti Bali ataupun Tengger. Kenyataan ini membuktikan bahwa orientasi keagamaan juga memberikan andil bagi peperangan bagi kerajaan-kerajaan diatas. Studi Hefner ini agaknya mendapatkan persamaann dengan De Graaf dan Pigeaud (1974). Mereka berpandangan bahwa Majapahit telah diserang oleh Demak yang digerakkan oleh orang-orang Islam, dan meneguhkan supremasinya kepada lainnya untuk mengakui kekuasaan Alloh SWT.

Zaman Ontran-Ontran
Gelombang kedua modernisasi nusantara adalah dengan masuknya bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda. Pengaruh mendasar dari kolonialisasi Portugis adalah kacaunya jaringan perdagangan sebagai akibat ditaklukannya Malaka, serta penanaman Agama Katolik, terutama di Indonesia timur (hal: 69). Kebrutalan kaum kolonial kian menjadi-jadi ketika korporsi-korporasi Belanda melakukan persaingan keras untuk memperebutkan rempah-rempah. Ricklefs menyebutnya pelayaran “liar” (wilde vaart) (hal:71).

Untuk mengatasi kekacauan dan kontestasi kasar itu, maka dibentuklah Perserikatan Maskapai Hindia Timur atau VOC. Meskipun VOC organisasi Belanda, namun sebagian besar personelnya bukanlah orang Belanda. Para petualang, gelandangan, penjahat, dan orang-orang bernasib jelek dari seluruh Eropa yang bersumpah setia. (hal:72). Sugguh tragis memang, jika sekian abad yang lalu, wilayah yang sedemikian kaya itu dikelola dan dikuasai oleh para bandit Eropa yang duduk di VOC. Berbarengan dengan masa awal pendudukan bangsa Eropa, di nusantara muncul kerajaan-kerajaan baru. Oleh Ricklefs hal ini dilihat sebagai kebangkitan kekuatan lokal yang diasporik tetapi memiliki perangai penakluk, seperti Aceh, Demak, Mataram, Gelgel (Bali) dan Bugis (Sulawesi).

Akibat kebangkitan kekuatan-kekuatan lokal itu, maka tumbuh kebudayaan ‘baru’. Kebudayaan yang berbasiskan Islam namun memiliki akar sejarah pra Islam. Bahasa yang mereka gunakan Bahasa Melayu. Bahasa itu sebagai lingua franca, terutama pada saat melakukan perniagaan laut (hal: 116). Walau tumbuh sebagai kekuatan baru, namun bangsa-bangsa Eropa terutama Belanda mulai menancapkan hegemoninya di kerajaan-kerajaan nusantara melalui kebijakan militer dan perniagaan laut. Kekuasaan Belanda membentang dari Indonesia bagian timur (Kepulauan Maluku) hingga ke barat di selat Malaka.

Pada ruang waktu, utamanya pada era tahun 1600 – 1800 terjadi pelawanan militer secara habis-habisan dari kerajaan-kerajaan nusantara dengan Belanda. Masa pertempuran dua abad ini sangat diwarnai kompleksitas konfigurasi politik, intrik-intrik politik dan persekongkolan di lingkungan istana, sehingga kekuatan nusantara tidak sepenuhnya cukup kokoh untuk segera mengusir kolonial. Bukannya kemenangan politik dan kebudayaan, justru dalam perjalanan waktu dua abad (17-18), VOC telah benar-benar mampu membangun kekuatan despotik yang mampu sepenuhnya menundukkan negara-negara nusantara. Fenomena ini disajikan secara utuh oleh Ricklefs pada bab 6-10.

Pada perkembangan awal abad 19, Ricklefs menandai proses pembentukan negara-negara jajahan oleh kaum kolonial, sebab pada proses dua abad sebelumnya adalah proses hegemoni. Model negara jajahan yang diformulasikan oleh VOC adalah dengan sistem residensial, yakni VOC mendelegasikan kekuasaan lokal kepada residen dan bupati. Dengan sistem ini kekuasaan VOC cukup efektif, sebab dengan keterbatasan pasukan dan defisit anggaran, VOC dapat tetap berkuasa.

Untuk menutup kekurangan finansial, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan program tanam paksa (cultuurstelsel). Melalui program cultuurstelsel inilah Belanda meraih keuntungan yang besar. Sejak tahun 1831 anggaran belanja Kolonial Belanda sudah berimbang, dan hutang lama VOC telah terlunaskan. Lebih dari itu, Gubernur Jenderal Belanda mampu mengirimkan uang ke negeri Belanda 832 florins (1831-1877). Akibat surplus yang diperoleh dari Jawa inilah Kolonial Belanda membiayai penaklukan daerah-daerah diluar Jawa. (266-267).

Nalar Eropa
Waktu terus bergulir, angka tahun menunjukkan 1900-an. Pada awal abad 20 ini Ricklefs menyebutnya sebagai era awal munculnya konsepsi tentang Indonesia. Pemerintah Belanda mulai menerapkan kebijakan yang dikenal dengan politik etis. Hal ini terjadi karena di Eropa sendiri sedang dilanda gagasan liberalimse, yakni semangat pembebasan. Novel Max Havelaar yang mengkritik habis kekejaman Hindia Belanda, kini mulai menjadi preferensi penting bagi pegawai kolonial. Fakta lain juga dapat kita temui dalam artikel yang ditulis oleh van Deventer (1899) yang menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia. Realisasi dari politik etis adalah dibukanya pendidikan, utamanya dari golongan bawah oleh Gubernur Jenderal van Heutsz (1904-1909).

Dampak dari politik etis ini memang melahirkan model perjuangan tersendiri tentang kemerdekaan dari Belanda. Yakni format perjuangan yang lebih modern, misalnya saja melalui gaya parlementarian (Volksraad), maupun kampanye gagasan dan ideologi diberbagai surat kabar yang diterbitkan sendiri oleh para tokoh nasionalis, serta pembentukan serikat-serikat organisasi sosial-politik.Takashi Shiraishi (lihat: An Age Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926; 1990) menyebut era ini adalah zaman modern seiring dengan gemuruhnya slogan-slogan opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan opvoeding (pendidikan). Dengan menggunakan cara ini, setengah abad dilampaui oleh pejuang nasionalis untuk mendapatkan kemerdekaan. Sampai pada akhirnya waktu yang ditunggu itu tiba, yakni sebuah pernyataan kemerdekaan.

Lima tahun awal sejak kemerdekaan Indonesia, Ricklefs menyebutnya sebagai zaman revolusi. Sebab seluruh potensi kekuatan nasional ‘dipaksa’ untuk menghadapi kekuatan asing yang masih tetap melancarkan agresi. Ada realitas menarik yang disampaikan oleh Ricklefs mengenai masa-masa revolusi ini. Yakni munculnya sebuah ketegangan di Sumatera dan Jawa. Atas nama kedaulatan rakyat dan persatuan nasional, kelompok-kelompok revolusioner muda mengintimidasi, menculik, dan kadangkala membunuh para pejabat pemerintahan, kepala desa, anggota polisi, yang disangsikan kesetiannya, tuduhan korupsi, dan penindasan selama masa pendudukan Jepang (hal:440).

Pada masa lima tahun kedua sejak kemerdekaan, saatnya Indonesia memasuki fase percobaan demokrasi. Namun panggung politik nasional diwarnai dengan pertikaian politik dan militer. Namun pada sisi lain, Indonesia mulai diperhitungkan dalam kancah politik internasional dengan menggalang kekuatan politik Asia-Afrika, sebuah daerah yang setidaknya memiliki kesamaan nasib, yakni sama-sama sebagai bangsa yang pernah dijajah. Hasil nyata dari konsolidasi ini oleh Soekarno populer disebutnya Nefo (New Emergencing Force). Namun kekuatan politik Soekarnopun lambat laun mulai redup, puncaknya saat tragedi G 30 S 65 meletus.

Namun sayang pengungkapan Ricklefs tentang sejarah tragedi G 30 S 65 sangat umum, bahkan tak ada bedanya dengan sejarah yang selama ini diajarkan oleh orde baru, dimana PKI merupakan aktor yang dianggap paling bertanggungjawab atas tregdi tersebut. Padahal kita tahu antara kelompok Cornell Paper (Ben Anderson), Harold Crouch (lihat: The Army and Politics in Indonesia, 1978), Wertheim (lihat Soeharto and the Untung Coup-the Missing Link, 1970), Anthony Dake (lihat: In the Spirit of the Red Banteng; Indonesian Communists between Moscow and Peking 1959-1965, 1973) dan Nugroho Notosusanto (lihat; The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia, 1967) memiliki pandangannya masing masing yang sangat berbeda  mengenai tragedi itu. Ini belum termasuk buku-buku mutakhir tentang tragedi 65. Ini belum termasuk buku-buku terbaru yang juga ikut berbicara mengenai tragedi tersebut.

Episode berikutnya, orde baru dibawah kepemimpinan militer tampil sebagai kekuatan korporatis. Orde baru memang berhasil melambungkan pertumbuhan ekonomi nasional, sampai-sampai gelar Bapak Pembangunan dilekatkan ke Presiden Soeharto waku itu. Karena stabilitas yang menjadi prinsipnya, maka seluruh potensi politik yang kritis segera dihabisi oleh orde baru. Klimaknya, orde baru jatuh atas otoritarinisme yang dijalankan selama 35 tahun. Gelombang demokrasi kedua mulai tumbuh. Orang populer menyebutkannya dengan zaman reformasi, namun kalangan akar rumput sering menyebutnya dengan ‘repot nasi’. Hal ini terjadi karena depresi ekonomi yang sedang melanda kawasan asia.

Ketika perjalanan reformasi mencapai dua kali pemilu, Indonesia sebagaimana yang digambarkan oleh Ricklefs telah melampaui empat kali kepemimpinan nasional. Pada saat yang sama dibarengi sekian persoalan, mulai merajalelanya korupsi, ancaman sparatisme, tingginya angka kemiskinan, bahkan intrik-intrik politik yang mencederai kedewasaan berdemokrasi.