Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah

Judul: Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah
Editor: Ihsan Ali-Fauzi & Saiful Mujani
Penerbit: Nalar, 2009
Tebal: 188 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 30.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312


Pemberlakukan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkat berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan di segala bidang. Beralihnya pengelolaan di segala lini dari yang tadinya bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Namun dalam praktinya, penerapan kebijakan desentralistik dengan lahirnya perda-perda syari’ah misalnya, ditengarahi memiliki banyak kelemahan yang harus ditangani secara seksama oleh stakeholder yang terkait serta dibutuhkannya kajian ulang atas itu semua.

Proses demokratisasi di negara berkembang seperti Indonesia memang bukan pekerjaan mudah. Merawat, menjaga dan mengontrol kebebasan sipil dari regulasi-regulasi agama yang dihasilkan oleh pemerintah terpilih baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah membutuhkan hati nurani yang cukup berani dan harus adil. Mengingat gelombang demokrasi sepanjang satu dasawarsa belakangan di tanah air memungkinkan semua elemen masyarakat, tak terkecuali kelompok Islam garis keras, berani menyuarakan tuntutan mereka secara terbuka dan vulgar. Diantara tuntutan paling kuat yang disuarakan sebagian kalangan Islam adalah membawa syari’ah ke ruang publik.

Sebagai contoh, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten Pandeglang yang mewajibkan para pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintahan daerahnya untuk mengenakan pakaian muslimah (jilbab). Di tempat lain, Kab. Bulukumba mengeluarkan perda kewajiban bisa membaca Al-Qur’an bagi para calon pengantin dan mereka yang ingin mengurus kenaikan pangkat bagi PNS. Dan masih banyak lagi kini ditemukan perda-perda syari’ah yang secara langsung maupun tidak dikhawatirkan dapat mencederai kebebasan sipil (HAM).

Hingga kini telah tercatat lebih dari 50 kabupaten dan kota yang mempunyai perda syari’ah. Meski publik Muslim yang mendukung penerapan syari’ah cukup signifikan secara kuantitatif, namun banyak pihak masih mempersoalkan legitimasinya sebagai kebijakan publik. Selain rendahnya keterlibatan masyarakat dalam proses penetapannya, sejumlah aturan yang dikandungnya cenderung mengancam hak-hak sipil (HAM). Apalagi dalam praktiknya, warga Indonesia dipaksakan untuk tunduk pada kebijakan publik yang secara eksklusif bersumber dari nilai-nilai Islam.

Buku yang berjudul “Gerakan Kebebasan Sipil (Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah) merupakan bentuk refleksi ulang akan keberadaan perda-perda bernuansa Islami (syari’ah) yang kian menjamur di negeri ini. Sebuah potret atas proses pendalaman demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi yang disinyalir tengah dalam cengkeraman perda-perda syari’ah yang banyak muncul akhir-akhir ini. Dimana perda-perda syari’ah yang ada saat ini dianggap mengancam kebebasan sipil diulas dalam buku ini secara seksama. Sebuah buku yang bersumber dari hasil diskusi kritis bersama berbagai kelompok masyarakat sipil dari berbagai latar belakang.

Pembicaraan mengenai Islam (perda-perda Syari’ah), kebebasan sipil dan HAM sangat menarik untuk diperdebatkan. Buku ini dimulai dari adanya pertanyaan-pertanyaan seputar apakah benar bahwa kebebasan sipil dan HAM dalam sebuah negara yang notabene Islami itu tidak ada? Apakah penerapan hukum Islam dalam sebuah negara itu akan memasung kebebasan sipil? Bagaimana dengan kasus negara-negara Timur Tengah yang nota bene Islami tersebut juga tidak memberikan kebebasan terhadap hak-hak sipil (civil right)?

Juga secara gamblang, buku ini mencoba menjawab keresahan-kerasahan atas pertanyaan-pertanyaan bagaimana dengan kasus otonomi daerah di Indonesia yang sebagaian daerah memberlakukan syari’at Islam? Apakah dalam prakteknya tetap memegang teguh prinsip kebebasan sipil (civil right)? Bagaimana kita memahami ancaman terhadap kebebasan sipil dari perda-perda syari’ah tersebut? Gerakan model apa yang dibutuhkan untuk mengatasinya?

Secara legal-formal, perda-perda syari’ah di era otonomi daerah memang memiliki kekuatan hukum atau politis yang jelas. Meski Undang-Undang tentang otonomi daerah tidak memberi wewenang secara rinci pada tiap-tiap daerah, tetapi dalam praktiknya, perda-perda itu secara sengaja maupun tidak telah menyentuh persoalan agama. Karenanya, keberadaan perda-perda syari’ah itu perlu terus dikaji untuk menguji, apakah peraturan-peraturan daerah tersebut bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi atau tidak. Apalagi dalam pelaksanaannya di lapangan banyak perda-perda syari’ah tidak jarang malah menimbulkan kontroversi serta memicu perdebatan dalam masyarakat, baik dari kalangan kelompok yang mendukung keberadaan perda-perda tersebut dan kelompok yang menolaknya.

Walaupun buku ini sekedar laporan ringkas dari refleksi atas keberadaan perda-perda syari’ah, namun ada banyak pelajaran yang dapat dipetik dalam proses pengembangan studi dan advokasi kebebasan sipil lebih lanjut di negeri ini. Selain menyinggung masalah kebebasan sipil dan beragama, buku ini juga menyoroti lebih tajam sejauh mana kebebasan bergama dijamin dalam konstitusi, perundang-undangan dan pertaturan pemerintah di Indonesia. Sebagai upaya penguatan kebebasan sipil, buku ini diperkuat oleh survei opini elit politik daerah, wawancara radio, lokakarya dengan para elit politik daerah dan lain sebagainya.

Tulisan-tulisan dalam buku ini mencoba meluruskan kembali adanya perda-perda syari’ah jika dihadapkan pada kebabasan sipil dan HAM. Para penulisnya yang dieditori oleh Ihsan Ali-Fauzi dan Saiful Mujani ini menawarkan alternatif-alternatif atas pemecahan masalah yang secara sengaja maupun tidak timbul dari adanya perda-perda syari’ah di tanah air akhir-akhir ini. Dapat dijadikan contoh agar kita dapat menyelesaikan perbedaan pendapat, bahkan konflik kepentingan, secara damai, bermartabat dan berada meskipun bukan merupakan tujuan utama dari studi dalam buku ini.

Buku ini layak dibaca dan dikaji secara bersama, terutama mereka yang konsen atas penegakan HAM dan demokrasi serta syari’ah Islam secara sekaligus. Mengingat para penulis dalam buku ini juga memiliki komitmen yang tinggi terhadap kebebasan sipil di tanah air. Walaupun berasal dari berbagai kalangan yang berbeda-beda, wujudnya keadilan di mana martabat semua manusia setara dan sederajat menjadikan mereka seirama dan senada. Setidaknya para penulis mengajak merumuskan kembali atas penegakan hak-hak sipil di negeri tercinta ini.