Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta

Judul: Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta
Penulis: Julianto Ibrahim
Penerbit: Bina Citra Pustaka, 2004
Tebal: 336 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong

Di zaman revolusi, Indonesia mengalami keadaan yang sangat kritis dan rentan terhadap kriminalitas. Ada istilah jagoan yang dihadapkan antara pilihan, apakah mau menjadi seorang kriminal atau seorang revolusioner. Revolusioner yang patriotis dengan mempunyai sikap seorang jiwa pahlawan dianggap agung. Berbeda dengan seorang kriminal yang mempunyai kepentingan pribadi dianggap penjahat. Seorang kriminal melihat masa revolusi ini sebagai peluang untuk melakukan aksi kejahatan. Pemimpin bandit berusaha melegalisasikan untuk revolusi dengan mengimitasi status kelembagaan melewati penguasa. Dengan gerakan revolusioner atau badan-badan perjuangan dijadikan alat teror untuk kekuasaannya.

Membentuk suatu organisasi yang sistematis dengan membalikkan nilai-nilai norma merupakan esensi dari kegiatan perbanditan. Bandit adalah penentang hukum secara individual maupun kelompok. Menurut Hobsawm bandit adalah seseorang dari anggota kelompok yang menyerang dan merampok dengan kekerasan. Bandit dibedakan menjadi empat, yaitu:
- Perampok berkawan
- Seorang yang mencuri, membunuh dengan secara kejam dan tanpa rasa malu (gangster)
- Seorang yang mendapat keuntungan dengan tidak wajar
- Musuh

Para bandit memanfaatkan situasi kacau untuk kepentingannya di zaman Revolusi Indonesia, terutama di Surakarta dengan menggedor, menjarah, dan mencuri harta orang laian. Targetnya adalah pamongpraja, pribumi kaya dan orang-orang Cina kaya. Aksi ini dilakukan sebagai protes sosial atas eksploitasi terhadap swapraja Surakarta dengan mengambil paksa harta kraton. Penggedoran adalah bentuk kegiatan yang dilakukan sekelompok irang bersenjata untuk mengambil sesuatu milik orang lain dengan kekerasan. Istilah benggol dipakai untuk pemimpin gedor yang disegani anak buahnya yang mempunyai otoritas wibawa, yakni kharisma yang dimilikinya.

Benggol ini mempunyai kesaktian tinggi, dan dapat merekrut pengikutnya berdasarkan loyalitasnya terhadap pemimpin. Dengan kelebihan lebih dari pengikutnya, dalam hal apapun layaknya seorang pendata yang memberi wejangan dan tempat bertanya terhadap masalah di pedesaan, secara fisik maupun spiritual. Seorang benggol sering bersikap ramah terhadap masyarakat dengan memberi pertolongan untuk mendapatkan simpati, seperti pengobatan penyakit dengan ilmu tradisional. Seorang bandit bukan sembarang orang, karena untuk mendapatkan ilmu yang tinggi ada sebuah metode tersendiri dengan berpuasa dan berziarah di makam keramat.

Semakin lama dan semakin sering hal itu dilakukan, maka semakin tinggi pula ilmu yang diraihnya. Oleh karena itu bandit yang ingin menjadi benggol disegani pengikutnya dan musuhnya serta mendapatkan simpati dan kepercayaan. Loyalitas sudah tidak diragukan lagi, tugas benggol dalam aksi kejahatannya dibantu oleh seorang wukul sebagai pembantu utamanya. Dengan wilayah kekuasaan yang luas, maka wukul akan diangkat menjadi seorang lurah untuk menjalankan roda pemerintahannya. Dalam hal ini terjadi persaingan antara wukul di wilayah lainnya, terutama dalam hal kekuasaan dan perebutan wanita.
          
Hal yang mendukung berkembangnya seorang benggol disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Tingginya ilmu
- Luas wilayah kekuasaan
- Besarnya jumlah pengikut
- Keroyalan penggunaan uang
- Banyaknya wanita simpanan

Di Surakarta pada masa revolusi banyak benggol yang terkenal, salah satunya Suradi Bledeg. Suradi dilahirkan pada tahun 1921 di Musuk, Boyolalisejak kecil ia tertarik mempelajari berbagai ilmu kesaktian yang dilihatnya di beberapa tempat ziarah di daerah sekitar tempat tinggalnya. Bahkan sampai berkelana ke Madiun, Kediri dan Gunung Kidul untuk memperdalam kesaktiannya. Setiap makam yang dianggap keramat ias selalu berkunjung dan bertapa agar mendapatkan kekuatan gaib. Suradi yang mempunyai perawakan tinggi besar dan suaranya yang lantan dijuluki bledeg yang berarti suara petir.

Kemudian nama bledeg dipakai dalam dirinya sebagai nama belakang, yakni menjadi Suradi Bledeg. Dengan dukungan badan besar dan suara lantang, ia cakap dalam berpidato dan dipercayalah sebagai benggol. Ketika Suradi bergabung dengan organisasi yang bernama Merapi Merbabu Complex (MMC), ia menjadi pusat perhatian dan mendapatkan kepercayaan memimpin gerakan ini. Dengan masuknya Suradi ke MMC adalah mencari legitimasi terhadap aksi perbanditan dan termotivasinya atas kekecewaan terhadap program rasionalisasi oleh Hatta. Hal itu dikarenakan Suradi pernah menjadi laskar rakyat yang kemudian ia menganggur setelah dilaksanakannya program rasionalisasi.
          
Atas kekecewaannya, Suradi memimpin gerakan-gerakan kriminal di lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Sebagian besar yang dahulu pernah menjadi laskar rakyat bergabung dalam anggota MMC. Adapun pejuang Korban Rasionalisasi yang merupakan program pemerintah Hatta yang menghendaki adanya sistem organisasi angkatan perang yang professional. Peristiwa ini terjadi di masa Revolusi, di mana sistem keuangan belum begitu jelas dan stabil, maka program ini dilaksanakan dengan cara meminimalisir jumlah tentara, peleburan divisi dan penyesuaian pangkat dalam ketentaraan. Banyak tentara yang dipecat yang bercasal dari lascar pejuang yang tidak disiplin.

Hal tersebut meninggalkan luka dalam tubuh angkatan perang, terbukti dengan adanya perlawanan dengan cara korupsi dan timbulnya persitiwa-peristiwa yang meresahakan warga. Beberapa pasukan yang terkena imbasnya dari program rasionalisasi baik yang berlatar belakang tidak disiplin ternyata pasukan-pasukan dari sayap kiri ataupun alasan lainnya merasa frustasi dan tertekan, mereke merasa belum siap kembali ke desa. Atas hal tersebut maka muncul aksi kriminalitas di desa maupun di kota dengan memanfaatkan revolusi sosial. Kejahatan yang timbul menuju terhadap kraton, pamongpraja, orang kaya dan orang Cina.

Orang-orang yang terkena imbas rata-rata bergabung dengan organisasi MMC. Bukan hanya kekecewaan terhadap program rasionalisasi, akan tetapi juga karena terhadap pembersihan orang-orang komunis dalam peristiwa Madiun. Dalam organisasi MMC kebanyakan pejuang-pejuang berideologi komunis dan juga organisasi luar MMC rata-rata pejuang komunis. Selain MMC dan para pejuang yang lainnya yang terkena imbas rasionalisasi pun ikut serta melakukan aksi kriminalitas untuk memanfaatkan status mereka sebagai pejuang untuk menguntungkan keuntungan pribadi.

Di masa revolusi, khususnya di daerah Surakarta banyak sekali terjadi aksi-aksi kriminalitas, aksi ini terbagi menjadi 3 nama, yakni:
- Penggedroran
- Koyok
- Grayak

Pergerakan aksi-aksi kriminalitas ini terjadi karena krisis kepemimpinan yang menimbulkan kekosongan kekuasaan yang kemudian dimanfaatkan untuk mengontrol wilayah desa oleh benggol, kebanyakan di pedesaan karena di perkotaan dikuasai kekuatan lain yaitu badan-badan perjuangan. Aksi-aksi kriminalitas ini mempunyai target, yaitu orang pribumi kaya, orang Cina dan pegawai pemerintah kraton.