Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Zen dan Psikoanalisis

Judul: Zen dan Psikoanalisis
Penulis: Erich Fromm, D.T. Suzuki, Richard de Martino
Penerbit: Suwung, 2004
Tebal: 330 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Harga: Rp. 70.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312


Diskusi kita sejauh ini telah membahas titik-titik singgung kemiripan atau pertalian antara Buddhisme Zen dan Psikoanalisis. Tetapi tak ada perbandingan semacam itu yang bisa memuaskan kecuali tepat membahas issue utama dari Zen, yakni pencerahan, dan issue utama psikoanalisis yakni penanggulangan keadaan ketertekanan, transformasi bawah-sadar ke dalam kesadaran.

Mari kita ringkas apa yang telah dikatakan tentang problem ini sejauh
menyangkut psikoanalisis. Tujuan psikoanalisis adalah membuat yang
bawah-sadar menjadi sadar. Akan tetapi, bicara tentang “yang” sadar dan
“yang” bawah-sadar berarti menganggap kata-kata sebagai realitas. Kita
harus berpegang pada fakta bahwa sadar dan bawah-sadar itu mengacu pada
fungsi, bukan tempat atau isi. Maka, sebenarnya kita hanya bisa bicara
tentang keadaan dan berbagai derajat ketertekanan, yakni, suatu keadaan
dimana hanya pengalaman-pengalaman yang dapat menembus filter sosial
bahasa, logika, dan isi yang diijinkan untuk mencapai kesadaran. Sampai
tingkat mana saya bisa melepaskan diri dari filter ini dan dapat
mengalami diri saya-sendiri sebagai manusia universal; maksudnya, sampai
derajat mana ketertekanan menyusut, saya terhubung dengan sumber-sumber
terdalam di dalam diri saya sendiri, dan itu berarti ialah dengan
seluruh umat manusia. Bilamana semua ketertekanan telah disingkirkan,
tiada lagi pertentangan antara bawah-sadar dan sadar; yang ada adalah
pengalaman langsung, seketika; karena saya bukan lagi orang asing bagi
diri saya sendiri, tiada seorangpun dan apapun yang asing bagi saya.
Lebih jauh, sampai derajat mana bagian dari saya teralienasi dari diri
saya sendiri, dan “bawah sadar” saya terpisah dari kesadaran saya
(maksudnya: aku, sang manusia utuh, terpisah dari sang Aku, sang manusia
sosial), penangkapan saya tentang dunia telah terpalsukan dengan
beberapa cara . Pertama, dengan jalan distorsi parataksis
(transferensi), saya mengalami si orang lain itu bukan dengan diri total
saya, tetapi dengan diri yang kekanak-kanakan dan terbelah — dan
karenanya seseorang lain di- alami sebagai sosok signifikan dari masa
kanak-kanak saya, dan bukan sebagai sosok person tersebut yang sesungguhnya.

Kedua, manusia dalam keadaan ketertekanan mengalami dunia dengan suatu
kesadaran palsu. Ia tidak melihat apa yang ada, tetapi ia menaruh
gambaran pemikirannya pada benda-benda, dan melihatnya dari gambaran
pemikiran dan fantasi-fantasinya, bukannya dan realitas-nya. Gambaran
pemikiran atau selubung pendistorsi inilah yang menciptakan segala
hasrat-nafsunya, kecemasan-kecemasannya.

Pada akhirnya, manusia yang tertekan tersebut, bukannya [sungguh]
mengalami beragam benda dan orang, tetapi [cuma] mengalami dengan
serebrasi. Ia berilusi berhubungan dengan dunia, padahal ia hanya
berhubungan dengan kata-kata. Distorsi parataksis, kesadaran palsu, dan
serebrasi bukanlah jalur ketak-nyataan yang terpisah sama sekali; se
baliknya, ketiganya adalah aspek yang berbeda namun tumpang-tindih dari
fenomena ketaknyataan yang sama yang eksis selama sang manusia universal
terpisahkan dari sang manusia sosial. Kita hanya mendeskripsikan
fenomena ketaknyataan yang sama tersebut dengan cara yang berbeda dengan
mengatakan bahwa orang yang tinggal dalam keadaan ketertekanan tersebut
adalah orang yang teralienasi. Ia memproyeksikan perasaan-perasaan serta
gagasannya sendiri pada obyek-obyek, dan kemudian justru tidak mengalami
sendiri sebagai subyek dari perasaan-perasaannya, tetapi diatur oleh
obyek-obyek yang dimuati perasaan-perasaannya.

Kebalikan dari pengalaman yang teralienasi, [terdistorsi, parataksis,
palsu, serebrasian] adalah penangkapan seketika, langsung, total
terhadap dunia yang kita jumpai pada bayi dan anak sebelum pendidikan
mengubah bentuk pengalaman ini. Bagi bayi yang baru lahir belum ada
pemisahan antara aku dan bukan-aku. Pemisahan ini terjadi secara
berangsur, dan pencapaian finalnya terekspresikan oleh fakta bahwa sang
anak dapat mengucapkan “Aku.” Tetapi tetap saja penangkapan sang anak
terhadap dunia masih relatif seketika dan langsung. Ketika sang anak ber
main bola, ia sungguh-sungguh melihat bolanya bergerak, ia berada
sepenuhnya di dalam pengalaman ini, dan itulah sebabnya ini merupakan
pengalaman yang bisa diulang tanpa akhir, dan dengan keriangan yang tak
pernah berhenti.

Orang dewasa juga percaya bahwa ia melihat bola bergulir. Ini tentu saja
benar, lantaran ia melihat bahwa sang bola-obyek bergulir di
lantai-obyek. Tetapi ia tidak benar benar melihat guliran. Ia cuma
memikirkan bola yang bergulir di permukaan. Ketika ia mengatakan “bola
itu bergulir”, ia sesungguhnya hanya menegaskan (a) pengetahuannya bahwa
obyek bundar di sana itu dinamakan bola dan (b) pengetahuannya bahwa
obyek bundar akan bergulir di atas suatu permukaan yang rata bila diberi
dorongan. Matanya beroperasi cuma dengan tujuan membuktikan
pengetahuannya, dan sehingga membuatnya merasa aman di dunia.

Keadaan ketak-tertekanan adalah keadaan dimana: orang mendapatkan
kembali penangkapannya yang langsung, tak-terdistorsi tentang realita,
kesederhanaan dan kespontanan anak-anak; namun, setelah menjalani proses
alienasi, proses perkembangan akalnya, ketak-tertekanan adalah kembali
ke kepolosan pada level yang lebih tinggi; kembali ke kepolosan ini
mungkin dicapai hanya setelah orang pernah kehilangan kepolosannya.