Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir

gambar
Rp.60.000,- Rp.45.000 Nett
Judul: Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir
Penulis: Tim Buku Tempo
Penerbit: KPG, 2016
Tebal: 174 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Segel)

“Yang sakit itu Soedirman, tapi Panglima Besar tidak pernah sakit.” Demikian kutipan di sampul belakang buku bertajuk Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir ini. Ujaran itu menyiratkan satu adegan dalam buku ini, ketika Panglima Besar Jenderal Soedirman bangkit dari pembaringannya dan memutuskan memimpin pasukan keluar dari ibukota negara, Yogyakarta: mengonsolidasikan tentara dan mempertahankan Republik dengan bergerilya.

Saat itu, Indonesia bak balita. Setelah kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia II, Belanda—dengan membonceng tentara Sekutu yang datang buat membebaskan tawanan perang—bermaksud menjajah Indonesia kembali. Dengan dikomandani Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, Belanda melancarkan serangan terhadap pos dan tangsi-tangsi militer di Jawa: menangkap Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir (hal. 31).

Buku ini adalah biografi Panglima Besar Jenderal Soedirman, sosok yang amat dihormati dan meletakkan fondasi kultur Tentara Nasional Indonesia (TNI). Keunikan buku yang secara khusus disusun para wartawan ini terletak pada format pengemasannya. Berbeda dengan biografi pada umumnya, riwayat hidup sang jenderal dibeberkan dengan langgam jurnalisme. Dan, bukan sembarang jurnalisme, melainkan jurnalisme sastra.

Simak saja paragraf berikut: “Desing pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap, suatu hari pada awal Januari 1949. Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Tengah, yang tengah berada di sawah, halaman, dan jalanan, itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke sebalik pohonan” (hal. 76). Sangat sastrawi dan puitis, bukan? Meski terasa seperti fiksi, jurnalisme sastra bukanlah fiksi, tetapi “sebuah bacaan yang amat langsung dengan realitas yang konkret, serta melibatkan emosi dan mutu penulisnya” (Gay Talese dalam Septiawan Santana Kurnia, 2002).

Ya, langgam berita-bercampur-sastra bertebaran di buku yang terbagi atas enam bab dan dua puluh lima sub-bab ini. Diceritakan, bagaimana seorang Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Banyumas berpangkat kolonel mengalahkan seorang Kepala Staf Umum TKR berpangkat letnan jenderal dalam pemilihan pemimpin tertinggi TKR, cikal bakal TNI. Oerip Soemohardjo yang waktu itu berusia 52 tahun mesti takluk oleh Soedirman yang berusia 29 tahun (hal. 8-10).

Tidak mengecewakan pemilihnya, Soedirman segera mengajak para panglima divisi menyusun siasat perang di Ambarawa, wilayah yang begitu strategis sebagai markas dan tempat latihan tentara. Dengan taktik Supit Udang, para pejuang berhasil memukul mundur pasukan Inggris ke Semarang. Perang Ambarawa, dikenal sebagai Palagan Ambarawa, dikenang sebagai salah satu kemenangan besar Soedirman (hal. 15).

Panglima Besar Jenderal Soedirman mengguratkan teladan bagi kita. Meski harus ditandu dan bernapas dengan separuh paru-paru, bekas guru Muhammadiyah itu bergerilya keluar-masuk hutan, menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia beserta tentaranya masih ada (hal. 49). Soedirman adalah citra militer yang patuh pada pemimpin sipil (hal. 26), kendati pada saat yang sama juga mesti cakap dalam soal politik (hal. 94-113).

Hubungan Soedirman dengan para pemimpin sipil, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Amir Sjarifoeddin, diulas dengan gamblang. Lantaran dikenal dekat dengan Tan Malaka, sosok yang kerap mengobarkan pemberontakan di masa awal kemerdekaan, Soedirman sempat dituduh merancang kudeta (hal. 88-93). Tapi, tentu saja, semua tuduhan tak terbukti. Sang panglima besar tercatat tanpa noda dalam lembar sejarah bangsa ini hingga wafatnya dalam usia muda, 34 tahun, pada 29 Januari 1950.

Inilah buku yang sepatutnya dibaca oleh segenap prajurit masa kini. Sebagaimana ditulis Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo dalam kolom di bagian akhir buku, “Sungguh TNI patut bersyukur mempunyai seorang panglima besar dalam diri Soedirman” (hal. 153).
Pesan Sekarang