Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda

Judul: Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda
Penulis: Purnama Salura
Penerbit: Cipta Sastra Salura, 2008
Tebal: 111 halaman (art paper)
Kondisi: Cukup (bekas)
Harga: Rp. 60.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Apa pentingnya bagi kita untuk mempelajari arsitektur tradisional? itulah pertanyaan yang dihantamkan purnama salura -penulis buku ini- kepada kita. di tengah membanjirnya gaya arsitektur modern dan posmodern yang diterjemahkan di luar sana [atau di sini] sebagai arsitektur minimalis, arsitektur dengan tampilan telanjang, dengan permainan garis dan bidang beton sebagai aksentuasi, tidak bisa tidak, kita semua sedang tersesat.

Saya punya jawaban sederhana untuk pertanyaan purnama salura itu: ”ketika kita tersesat, pulang adalah pilihan terbaik.” ini bukan kutipan dari artis atau presiden atau tokoh terkenal lain, ini bisa-bisanya saya saja membuat jargon. tapi purnama salura tentu tidak sedang bermain-main ketika mengutip [charles] jencks yang mengatakan bahwa arsitektur posmodernisme yakin bahwa univalensi harus diganti dengan multivalensi [keberagaman], dengan ciri lokal yang justru harus dikembangkan dan mulai dijadikan landasan penciptaan.

Tadinya saya ingin memulai catatan ini dengan sedikit cerita tentang kabayan atau kang ibing. hanya itu yang saya tahu tentang sunda, selain -tentu saja- mojang priangan-nya yang terkenal geulis. tapi saya mengurungkan niat itu demi membaca buku ini lebih lanjut. buku ini dibuka dengan sedikit pengantar filsafat. mungkin agak membingungkan, tapi siapa dari kita yang benar-benar tahu konsep yang mendasari arsitektur modern? atau arsitektur posmodern? atau bahkan perbedaan antara arsitektur modern dengan arsitektur posmodern? aih, kita benar-benar sudah tersesat.

Selanjutnya, penulis buku ini mulai menceritakan tentang kabayan dan kang ibing, maksud saya, tentang orang [urang] sunda dan sunda itu sendiri. cerita ini semakin baik ketika penulisnya membawa kita ke tiga kampung tradisional sunda: tonggoh, cigenclang, dan palastra. di bagian ini, kita akan menemukan konsep-konsep yang mendasari kehidupan orang sunda. biasakanlah diri anda dengan istilah-istilah lemah-cai, luhur-handap, wadah-eusi, kaca-kaca, nadran, uga, pamali, dan sineger-tengah.

Sebenarnya, ada 4 [empat] kampung adat sunda: kampung pulo di leles, kampung naga di antara garut-tasikamalaya, kampung kuta di ciamis, dan kampung tonggoh di selatan garut. kampung tonggoh dipilih sebagai contoh karena, menurut penulis, kampung ini adalah kampung yang paling kuat memegang adat dan letaknya berada di pedalaman. sementara kampung cigenclang dipilih karena terletak di tengah perkebunan karet dan diasumsikan dipengaruhi oleh craftmanship belanda. lalu kampung palastra yang terletak di daerah pesisir juga dipilih karena diasumsikan terpengaruh oleh budaya cina dan jawa.

Dari ketiga kampung yang dijadikan contoh ini, kita bisa melihat bagaimana arsitektur tradisional tidak statis. di sini kita akan melihat bagaimana kondisi geografis juga bisa menggeser konsep-konsep dasar dari arsitektur tradisional suatu daerah. sebagai contohnya, konsep lemah-cai [tanah-air] di cigenclang didesak oleh penguasa perkebunan karet, sementara itu di palastra, konsep luhur-handap [tinggi-rendah] menjadi tidak bergema ketika berhadapan dengan lokasi yang cenderung datar. hal-hal yang tidak akan kita temui di tonggoh yang cenderung berada jauh di pedalaman.

Buku ini tampil cukup eksklusif dengan kertas glossy-nya dan kelengkapan grafisnya. kalau ada kekurangan, saya hanya menyesalkan sedikit kesalahan redaksional di bagian awal yang agak mengganggu pembacaan saya. selain itu, secara konseptual, saya tidak menemukan ketegangan antara arsitektur sunda dengan arsitektur kolonial [belanda?] atau cina atau jawa seperti yang dijanjikan purnama salura ketika memilih ketiga kampung tersebut sebagai contoh.

Selebihnya, buku ini menurut saya cukup baik sebagai pengantar untuk mengenal arsitektur tradisional sunda secara umum. jadi, kalau suatu waktu anda sempat berjalan-jalan ke bandung, selain memandangi mojang priangan yang geulis-geulis dan membeli peyeum sebagai oleh-oleh, sempatkanlah untuk membeli buku ini. tong hilap ya!