Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Hak-hak Perempuan dalam Islam

Judul: Hak-hak Perempuan dalam Islam
Penulis: Asghar Ali Engineer
Penerbit: LSPPA Yayasan Prakarsa, 1994
Tebal: 282 halaman
Kondisi: Cukup (Bekas)
Stok kosong


Tema tentang perempuan dalam Islam selalu menarik untuk didiskusikan. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, Islam sebagai agama yang mempunyai misi rahmatan li al-‘‘alamin (rahmat bagi semesta alam) tidak mungkin mengandung ajaran yang bersifat diskriminatif. Kedua, dalam kenyataannya ajaran Islam oleh beberapa kalangan “dituduh” mendiskriditkan perempuan. Misalnya beberapa ajaran yang mempunyai landasan tekstual dari al-Qur’an berikut ini:

    poligami: Islam membolehkan laki-laki beristri sampai empat (an-Nisa: 4/3).
    waris: perempuan mendapatkan separo dari bagian waris yang diperoleh laki-laki (an-Nisa/4:11)
    kesaksian: nilai kesaksian perempuan adalah separo dari laki-laki (al-Baqarah/2:282)
    kepemimpinan: perempuan dilarang menjadi pemimpin (an-Nisa/4:34)
    memukul istri: ketika istri nusyuz (membangkang), suami diperbolehkan memukulnya (an-Nisa: 4/34).

Ayat-ayat di atas banyak dipakai para orientalis sebagai bukti ketidakadilan Islam terhadap perempuan. Pada saat yang sama ayat-ayat tersebut juga sering membawa perempuan muslim dalam sebuah dilema antara meyakini secara apologetik bahwasanya ayat-ayat tersebut adalah bagian dari keadilan al-Qur’an atau mengakui secara jujur bahwa ayat-ayat tersebut memang mengusik rasa keadilannya.

Menurut Asghar Ali Engineer, dilema ini muncul akibat pembacaan yang tidak fair terhadap pesan-pesan al-Qur’an, yakni mengambil pesan al-Qur’an dengan mengabaikan spirit yang mendasari munculnya pesan tersebut. Untuk menghindarinya, pria kelahiran India ini menawarkan pedoman metodologis yang sangat penting.

Ketika berhadapan dengan al-Qur’an, pembaca mesti membedakan antara ayat normatif dan ayat kontekstual. Ayat normatif adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan normatif atau mengandung nilai universal, yakni apa yang seharusnya terjadi dan apa yang terbaik sepanjang masa, sedangkan ayat kontekstual adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pernyataan kontekstual atau sangat terkait dengan konteks masyarakat pada saat turunnya, yakni ayat-ayat tersebut menjelaskan apa yang terjadi atau apa yang terbaik pada saat itu. Metode ini jelas membutuhkan analisis sejarah yang tajam dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an. Metode dan pendekatan inilah yang dipakai Asghar dalam menganalisa beberapa persoalan krusial tentang perempuan dalam Islam.

Seluruh ayat-ayat “tertuduh” di atas adalah contoh ayat-ayat kontekstual yang harus dipahami tanpa mengabaikan konteks masyarakat Arab pada saat turunnya dan status perempuan kala itu. Jika tidak, maka ayat-ayat tersebut “dijamin” menuntun pembaca pada kesimpulan yang justru bertentangan dengan pesan yang mendasarinya.

Ayat tentang poligami dijelaskan cukup panjang lebar dalam buku ini. Pada bab Status Perempuan pada Masa Jahiliyah, Asghar mengatakan bahwa ayat tersebut terkait dengan budaya kala itu di mana masyarakat Arab tidak mempunyai batasan jumlah perempuan yang boleh diperistri. Mengutip ath-Thabari dalam tafsirnya, ia menyebutkan bahwa anggota suku Quraisy pada umumnya mempunyai 10 orang isteri. Oleh karena itu izin untuk mengawini perempuan lebih dari seorang sampai dengan empat merupakan pembatasan yang mengurangi secara drastis jumlah perempuan yang boleh diperistri. Ayat ke-3 surat an-Nisa adalah satu-satunya ayat yang mungkin dipakai untuk membenarkan poligami dalam Islam. Namun demikian harus diingat bahwa pembenaran ini bersifat kontekstual, bukan pembenaran normatif sehingga pemberlakukannya harus dilihat untuk waktu itu, bukan selamanya (hal 29-30).

Dalam bab Hukum Personal Islam, Asghar kembali membicarakan poligami. Kali ini ia mengatakan bahwa ayat poligami tidak bisa dilepaskan dari peperangan berkelanjutan pada masa Rasulullah SAW yang menyebabkan banyaknya janda dan anak yatim dalam komunitas muslim. Mengutip pendapat Maulana Muhammad Ali, Asghar mengatakan bahwa penekanan utama dalam ayat poligami adalah berbuat adil terhadap perempuan, terutama janda dan anak yatim. Pembolehan poligami harus dilihat secara ketat dalam konteks keadaan-keadaan yang berlaku sehingga sekalipun kondisi membolehkan poligami, lelaki tetap dituntut untuk monogami jika tidak mampu berbuat adil. Lebih lanjut ia menyimpulkan bahwa al-Qur’an mengajarkan monogami sebagai ajaran normatif, sedangkan poligami adalah ajaran al-Qur’an yang bersifat kontekstual. Sayang sekali, masih menurut Asghar, pembolehan yang sifatnya sangat terbatas ini banyak dipahami sebagai pembolehan yang bersifat umum dan dapat dilakukan dalam situasi apapun (hal 221-223).

Analisa ini sejalan dengan pemikiran Mohammad Shahrour, intelektual muslim asal Syiria, yang mengatakan bahwa ayat yang membolehkan laki-laki beristri sampai dengan empat mempunyai spirit pembatasan, bukan pelonggaran sebagaimana umum dipahami, sehingga masuk dalam kategori hadd al-a’la atau batas maksimal. Sebaliknya, ayat tentang bagian waris perempuan mempunyai gerakan sebaliknya sehingga separo dari bagian waris lelaki merupakan hadd al- adna atau batas minimal.

Pada masa jahiliyyah, kebanyakan perempuan diperlakukan seperi komoditas yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi baik kekayaan ayah, suami maupun kerabatnya yang lain. Sebaliknya, dirinya sendiri adalah bagian dari harta yang diwariskan. Pada masa pra-Islam, secara umum dipahami bahwa warisan tidak diberikan pada perempuan dan anak-anak kecil. Ayat yang menjelaskan bahwa perempuan bisa memperoleh warisan adalah sebuah gerakan revolusioner di mana al-Qur’an mengakui bahwa perempuan berhak memiliki sesuatu sehingga jika semula perempuan diwariskan, maka kini mereka berhak memperoleh warisan, bahkan ayat lain menjelaskan bahwa perempuan dapat pula mewariskan!!.

Bagaimana dengan kesaksian, kepemimpinan dan bolehnya memukul perempuan? Jika kita mempunyai keingintahuan yang besar tentang hal tersebut, maka membaca buku ini menjadi semakin menggairahkan karena Asghar mampu menganalisa secara berani dan argumentatif. Buku ini tidak hanya memberikan hasil pemikiran yang mencerahkan tetapi juga memberikan alat analisis penting yang bisa dipakai untuk membaca selain ayat-ayat tentang perempuan yang kerap menjadi “tertuduh” juga.

Tantangan cukup serius terhadap metode maupun hasil pemikiran Asghar Ali Engineer adalah adanya paradigma mayoritas muslim yang memandang al-Qur’an sebagai sesuatu yang normatif secara keseluruhan, sehingga tidak mengakui adanya perbedaan antara jenis kelamin (perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang merupakan kodrat dari Allah) dan gender (perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat). Padahal perbedaan ini merupakan sebuah paradigma fundamental dalam wacana gender. Namun demikian, pandangan bahwa seluruh ayat al-Qur’an bersifat normatif sesungguhnya hanya sebatas kesadaran karena dalam prakteknya rumusan ajaran-ajaran Islam banyak berangkat dari konsep naskh, yakni memprioritaskan sebagian ayat-ayat Makiyyah atas ayat-ayat Madaniyyah. Artinya, alam kondisi tertentu ayat al-Qur’an secara keseluruhan tidak diberlakukan secara serempak. Asghar Ali Engineer juga melakukan hal yang sama. Bedanya, ia memprioritaskan ayat normatif daripada ayat kontekstual.

Melalui metode dan pemikirannya dalam buku ini, Asghar Ali Engineer telah mencontohkan pembacaan al-Qur’an tanpa mengorbankan spirit pemberdayaan perempuan demi terpenuhinya maksud literal ayat. Ia sendiri adalah contoh sosok lelaki yang mempunyai perspektif keadilan gender sangat baik; sesuatu yang masih jarang dimiliki oleh seorang muslim, bahkan yang berjenis kelamin perempuan. Sayang sekali! Wallahu a’lam bi ash-shawab.