Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Saya Berbelanja, Maka Saya Ada

Judul: Saya Berbelanja, Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris
Penulis: Haryanto Soedjatmiko
Penerbit: Jalasutra, 2008
Tebal: 132 halaman
Kondisi: Bagus (Stok lama)
Stok kosong


Salah satu aktivitas paling penting yang membedakan manusia modern dengan pendahulunya yang primitif adalah belanja. Diakui atau tidak, pada masa ini, berbelanja tidak lagi merupakan aktivitas ekonomi demi pemenuhan kebutuhan saja. Berbelanja telah menjadi laku kultural yang memiliki kontribusi penting dalam pembentukan identitas kita sebagai makhluk sosial. Manusia kontemporer, suka atau tidak, adalah “manusia belanja”.

Jean Baudrillard pernah memaklumatkan hadirnya sebuah “masyarakat baru” yang ditandai dengan makin pentingnya makna konsumsi dalam kehidupan sosial. Alih-alih hanya merupakan tindak memenuhi kebutuhan, konsumsi adalah proses yang menandai diferensiasi dalam masyarakat. Baudrillard menyebut, di dalam sebuah “masyarakat konsumer”, konsumsi berperan sebagai sebuah “sistem diferensiasi” yang membeda-bedakan masyarakat ke dalam kategori-kategori tertentu.

Buku karya Haryanto Soedjatmiko ini merupakan studi tentang laku konsumsi dalam kebudayaan kontemporer. Studi Haryanto diawali dengan telaah tentang perkembangan proses konsumsi yang dikaitkan dengan tindak pemenuhan kebutuhan manusia sampai kemunculan konsumerisme sebagai cara hidup (a way of life).

Sejak awal abad 18 di Inggris, mulai tampak sebuah masyarakat yang lebih berorientasi pada kepemilikan benda-benda yang up to date daripada materi-materi yang tahan lama. Gejala ini dilihat Haryanto sebagai asal mula sebuah fenomena yang sering disebut sebagai “konsumerisme”. Peningkatan kapasitas konsumsi masyarakat Inggris pada 1880-1980-an juga menjadi titik penting yang menandai penyemaian “budaya belanja” dalam masyarakat.

Setelah tahun-tahun itu, berbarengan dengan peningkatan teknologi dan pertumbuhan penduduk yang cenderung berkonsentrasi di daerah-daerah urban, daya belanja masyarakat terus bertambah. Secara khusus, setelah Perang Dunia II, sebuah pasar massa barang-barang konsumsi telah terbentuk. Sejak tahun 1980-an, seperti disampaikan Martyn J. Lee di dalam Consumer Culture Reborn (1993), telah terjadi perubahan global yang berakibat terbentuknya “budaya konsumsi”.

Sejumlah perubahan global yang disebut Martyn J. Lee menyebabkan maraknya perbincangan mengenai wacana konsumsi antara lain: (1) pertumbuhan teknologi komputer; (2) internasionalisasi perdagangan yang membuka pasar bebas antar negara; (3) kemajuan teknologi produksi imaji atau citra yang berpegang pada estetika bentuk; (4) perkembangan dalam sistem produksi yang membawa tambahan kemakmuran bagi kelas pekerja; dan (5) munculnya wacana posmodern dalam bidang seni dan akademik.

Pada perkembangan yang lebih lanjut, budaya konsumsi masuk ke dalam berbagai ranah sosial dalam masyarakat. Dalam buku ini, Haryanto menunjuk sejumlah ranah yang telah dimasuki oleh budaya konsumsi, seperti teknologi informasi, musik, dan olahraga. Perkembangan lebih jauh juga menunjukkan bahwa laku konsumsi atau belanja menjadi makin penting dalam relasi sosial manusia.

Mike Featherstone menyatakan, pada akhirnya konsumsi secara alamiah akan membentuk identitas bagi tiap individu dalam masyarakat. Pada masa sekarang, perbedaan dalam aktivitas berbelanja memang bisa mengakibatkan diferensiasi identitas antarindividu. Mereka yang membeli produk mewah tentu akan memiliki identitas berbeda dengan orang yang hanya mampu mengonsumsi produk kelas bawah. Seperti judul buku ini, berbelanja memang menjadi sebuah aktivitas yang bisa menegaskan eksistensi kita sebagai manusia. Kita berbelanja maka kita ada!

Paradoks
Salah satu yang paling menarik dari buku ini adalah telaah mengenai paradoks yang terkandung dalam konsep konsumerisme. Pada mulanya, konsumerisme berkaitan dengan sebuah upaya untuk ikut menyertakan pandangan para konsumen terhadap proses produksi barang. Dalam The Concise Oxford Dictionary, term konsumerisme diartikan sebagai “perlindungan kepada minat para konsumen terhadap produsen”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti nomor satu konsumerisme adalah “gerakan/kebijakan melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan”.

Dilihat dari sisi ini, konsumerisme menawarkan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk yang mereka sukai sekaligus memberikan pendapat pada produsen tentang barang yang mereka inginkan. Namun dalam praktiknya, wacana kebebasan yang disuarakan oleh konsumerisme tahap awal ini hanyalah sebuah retorika. Secara substansial, kebebasan konsumen tak pernah benar-benar ada. Haryanto mengatakan, para konsumen lebih sering digiring kepada sebuah tujuan yang telah ditetapkan oleh para produsen.

Alih-alih memenuhi keinginan para konsumen tentang produk yang mereka inginkan, para produsen lebih sering melakukan “pendiktean” terhadap konsumen tentang produk apa yang seharusnya mereka beli. Salah satu aspek penting dari upaya “pendiktean” ini adalah dengan melakukan pembaharuan terus-menerus dalam hal desain produk. Haryanto menyebut, perkembangan teknologi desain produk menjadi salah satu faktor kunci perkembangan konsumerisme.

Sebagai sebuah pengantar, buku ini bisa membawa kita menjelajahi sejumlah tema berkait dengan konsumsi dan konsumerisme. Meski masih belum bisa disebut komprehensif, paling tidak karya ini membuat kita sadar bahwa aktivitas berbelanja pada masa ini ternyata memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehidupan kita. Berbelanja bisa menjadi sebuah aktivitas penegasan identitas dan eksistensi. Kita berbelanja maka kita ada!